Mohon tunggu...
Eka Pranata Putra Zai
Eka Pranata Putra Zai Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sanata Dharma University

write when you are anxious about the world your journey will become history someday

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Apakah Sistem "Presidential Threshold" Penting untuk Indonesia?

27 Oktober 2023   16:26 Diperbarui: 27 Oktober 2023   16:30 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan presiden pada 2024 tinggal menghitung hari saja. Riak-riak politik semakin kelihatan arahnya.

 Para wayang sedang memainkan lakonnya agar masyarakat tertarik untuk mendukung partai dan calon 

yang diusungnya.

Manifestasi politik Indonesia dewasa ini semakin mempertontonkan momok kemunduran demokrasi.   

Bagaimana tidak, sistem pemilihan presiden merupakan potret nyata dari lakon para oligarki. Seharusnya 

patron politik meritokrasi adalah tujuan utama dalam negara yang di percaya menganut sistem demokrasi ini.

Sistem pemilihan di Indonesia memang berdasarkan pilihan rakyat, akan tetapi proses pencalonan seorang 

presiden harus melalui partai pengusung dan atau koalisi. Dewasa ini, kita mengenalnya dengan istilah Presidential 

Threshold (ambang batas presidensial) yang diartikan sebagai suatu persyaratan yang harus dipenuhi oleh

seorang calon presiden dan partai politik dalam pemilihan presiden supaya dapat mencalonkan diri dan 

mengusung kandidat presiden. Pada dasarnya, aturan ini dibuat untuk memastikan bahwa setiap calon presiden 

dan partai politik memiliki massa pendukung yang kuat dan jelas, sehingga fragmentasi suara yang berlebih 

tidak terjadi.

Konsep presidential threshold telah berkembang secara evolusioner di berbagai konteks politik di seluruh dunia. 

Sistem pemilihan presiden di Amerika Serikat merupakan contoh nyata dari pengimplikasian suatu bentuk 

“threshold” dalam proses electoral votes (suara elektoral). Sistem elektoral ini telah menjadi bagian dari konstitusi 

US sejak pendiriannya. 

Demikian halnya di Indonesia, sistem ini telah digunakan sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. 

Sistem pemilihan presiden pada 2004 telah diatur dalam UU nomor 23 tahun 2003 dalam UU Pemilihan Umum 

Presiden dan Wakil Presiden.

“Pasangan calon presiden dan wakil presiden, hanya dapat diusulkan oleh partai politik, yang memperoleh 

sekurang-kurangnya 15 persen jumalh kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu 

anggota DPR, “bunyi Pasal 5 Ayat (4) UU Nomor 23 tahun 2003.

Aturan ini kemudian mengalami perubahan pada pemilu 2009 yang merujuk UU Nomor 42 Tahun 2008, yang 

berbunyi:

“Pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik 

yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam pemilu Legislatif”.

Perubahan UU ini tetap digunakan pada pemilihan presiden pada tahun 2014.  Setelah itu, pada pilpres tahun 2019, 

aturan mengenai pemilihan presiden kembali diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.  Salah satu faktor pendorongnya 

adalah karena pemilihan umum, baik itu pemilihan presiden dan pemilihan legislatif dilaksanakan serentak pada April 2019.

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 5 ayat (1) UU ini 

menyebutkan bahwa calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik 

atau perseorangan yang memenuhi syarat minimal 20 persen kursi di DPR dan 25 persen suara sah nasional dalam 

pemilihan legislatif. 

Pada dasarnya, sistem presidential threshold memiliki dampak positif dalam dunia perpolitikan, seperti 

memperkuat legitimasi presiden terpilih sehingga mencegah terjadinya konflik saling mengklaim hasil pemilu. 

Kemudian, membatasi calon presiden dan partai politik berdasarkan kemampuan dan track record dari calon 

presiden yang di usung. Tujuannya adalah supaya membatasi calon yang tidak kompeten serta membatasi partai-

partai yang tidak terlalu kuat basisnya. Selain itu, penyederhanaan sistem pemilu ini juga bertujuan untuk 

memangkas ongkos pemilu yang terlalu besar, serta estimasi pemilu yang lama jika partai dan seseorang bebas 

mencalonkan diri.

Sistem ini mendorong setiap partai untuk berkoalisi sehingga konflik politik antar partai.

Dilain sisi, sistem ini merupakan distorsi dari makna demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya reduksi partisipasi 

oleh peserta politik dan partai politik, sebab untuk bisa mencalonkan diri harus memenuhi syarat minimal pencalonan 

yang di atur dalam UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, Peran regional terabaikan karena 

calon dari daerah dan partai minoritas sulit untuk bersaing. Terakhir, calon yang populis dan partai besar akan 

mendominasi, hal ini dikarenakan elektabilitas dan popularisme seseorang akan mempengaruhi perolehan suara. 

Kemudian, partai besar akan terus memperkokoh legitimasinya dalam percaturan politik di Indonesia.

Sebagai contoh eksplisitnya, pada pemilihan presiden  2024, hanya Parta Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 

yang bisa mengusung calon presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai lain. Meskipun pada praktiknya, PDIP 

tetap melakukan koalisi dengan partai lain. Akan tetapi dalam penetapan siapa yang menjadi calon presiden 

merupakan hak dari partai banteng ini.

Hal ini merupakan ironi dalam dunia politik karena proporsi dan hak yang tidak egaliter antar partai. Menguatnya 

PDIP disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu Basis Massa yang Kuat dan Besar serta Keberhasilan Elctoral Votes 

pada pemilihan umum legislatif dan dan presiden pada tahun 2019. Menjadi partai pemenang pemilu dan petahana 

tentu memberikan dampak besar dalam menguatnya partai banteng tersebut. Terlebih lagi, pengaruh dari Presiden 

Jokowi Widodo yang memiliki tingkat kepuasan publik 82 persen telah membawa dampak positif bagi PDIP sebagai 

partai pengusung.

Penerapan sistem politik harus dilakukan secara hati-hati dan mempertimbangkan seluruh kepentingan masyarakat. 

Proses ini juga harus mencerminkan nilai-nilai demokratis dan adil untuk memastikan setiap warga negara memiliki 

kesempatan yang sama dan adil untuk berpartisipasi dalam proses politik kedepan.

Oleh karena itu, perlu adanya regulasi baru yang melibatkan stakeholder baik itu partai politik, ahli terkait, dan 

masyarakat dalam membahas kebijakan ini sehingga lebih adil dan akomodatif. Kemudian, perlu adanya peninjauan 

ulang atas relevansi kebijakan sebelumnya dengan dinamika politik saat ini. Proses pemilihan presiden dan kriteria 

ambang batas harus dilakukan dengan jujur, transparan, dan akuntabel. Jika, telah menerapkan faktor-faktor diatas 

maka sistem presidential threshold sangat penting dalam memodernis sistem pemilu agar lebih simpel, namun tetap 

menjunjung nilai-nilai demokratis dan keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun