Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Senja untuk Arjuna

13 Agustus 2019   11:35 Diperbarui: 13 Agustus 2019   13:55 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutitipkan kisah ini diujung senja

Menapaki kenangan lalu yang tak bisa kubuang begitu saja

Tentang dirimu, tentang sebuah cinta

Arjuna....

===

Langkah-langkah kecil yang kini tengah berlarian dengan tawa cerianya membuat banyak orang di taman menoleh ke arah lelaki cilik itu. Parasnya yang menggemaskan dan ganteng membuat mata semua orang tertuju ke arahnya. Seakan saling berbisik mereka menyebutkan sebuah nama. Nama yang tidak asing bagiku. Nama yang hingga saat ini masih menorehkan luka di hatiku.

"Bun..." tegur satu suara membuyarkan lamunanku. Kulihat suamiku mulai kerepotan dengan kedua balita kami.

"Iya Yah" kataku lalu meninggalkan pemandangan lelaki cilik itu. 

"Bunda gak apa-apa?" tanya suamiku, "Paras Bunda pucat"

"Aku nggak apa-apa sayang" kataku menatap mata suamiku.

"Kalau capek Bunda istirahat saja" 

"Iya"

Kuelus perutku yang mulai membuncit karena mengandung anak ketiga kami. Usia pernikahan kami baru menginjak tujuh tahun tapi Tuhan sangat berbaik hati pada kami berdua. Tuhan menitipkan dua malaikat kecil yang kini tengah berlarian berkejaran, dan satu janin yang aktif luar biasa di rahimku.

Ujung-ujungnya kembali suamiku yang mengawasi kedua balita kami, dan meninggalkanku berdiri sendirian disini.

Suamiku adalah orang yang sangat menyayangiku, perhatiannya mampu meluluhkan hatiku. Aku bangga memiliki pasangan hidup yang sholeh seperti dia. Aku bersyukur Tuhan mengirimkan orang sebaik dia dalam kehidupanku.

"Ganes..." kudengar suara memanggilku, sebuah suara yang sangat kukenal. Suara yang dulu selalu kurindukan, suara yang dulu selalu kunantikan.. Aku menoleh ke arah lelaki itu. Tak ada yang berubah dengannya. Parasnya masih seganteng saat bertemu dengannya sepuluh tahun yang lalu. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Terakhir bertemu dengannya adalah saat Family Gathering lima tahun yang lalu. Waktu itu anak pertamaku berusia lima bulan dan lelaki itu masih belum menikah.

"Apa kabarnya Mas?" tanyaku basa basi. Tentu saja detak jantungku sering tak beraturan ketika berhadapan dengannya.

"Baik. Kamu gimana?" tanyanya.

"Ya, begini" kataku memaksakan senyum.

"Kamu hamil?" tanyanya.

Aku meringis.

"Wah..." kulihat sekelebat kekesalan di matanya, lalu dia menutupinya dengan senyumnya.

"Yang di tengah taman tadi anakmu?" tanyaku.

"Iya"

"Ganteng kayak bapaknya" kataku.

Pipinya memerah. Warna yang sangat kentara untuk kulitnya yang putih bersih.

"Anakmu juga manis seperti ibunya" katanya.

"Bilang saja kalau kulitnya coklat tua...." kataku sembari tertawa kecil

"Ah, warna kulit coklat tidak mengurangi kecantikanmu di mataku"

"Gombal"

Lelaki itu tertawa kecil, "Kamu sepertinya tidak pernah percaya padaku. Pantas saja akhirnya kamu menerima pinangan dari Mas Adhitama, suamimu saat ini"

"Ehhh...." lidahku seakan kelu. Ingin sekali kukatakan bahwa saat itu aku mengharapkan dia datang. Mengharapkan dia melamarku dan menikahku. Namun kenyataannya lelaki itu tak kunjung datang. Lelaki itu hanya menatapku, tanpa suara, hanya tatapan yang sulit kuartikan. Hingga akhirnya Mas Adhitama dengan segala kepedeaannya melamarku. Mas Adhitama yang seringkali kutolak , tanpa menyerah untuk mendapatkanku.

"Mungkin memang Mas Adhitama lebih pantas untukmu. Dia lelaki alim, bukan sepertiku" katanya.

"Eh istrimu dimana?" kataku mengalihkan perhatian. Aku tak ingin suamiku tahu perihal kami berdua. Suamiku yang juga rekan kerjanya, mereka bersahabat baik di kantor. Di tempat kerja, suamiku adalah senior dari lelaki di hadapanku ini.

"Ganes, kalau kamu berpikir perasaanku padamu berubah. Kamu salah. Aku masih tetap menyukaimu. Dan bagiku kau adalah perempuan teristimewa dalam kehidupanku" rupanya lelaki itu tak mau menjawab pertanyaanku.

Hatiku mencelos. Andai saja dia mengatakannya tujuh tahun yang lalu. Pastinya dialah yang akan kupilih sebagai imamku. Pastilah dia yang kupilih untuk menjadi pendampingku. Tidak ada keraguan di acara pernikahanku, karena akupun juga sangat menyukainya. Namun takdir seolah menertawakan cinta kami yang larut dalam pusaran waktu. Membuat diriku dan dirinya memendam rasa cemburu yang kian membuncah saatmasing-masing dari kami berada di samping pasangan hidup kami.

"Cinta ini salah Mas" kataku.

"Bukan cinta yang salah. Tapi akulah yang salah. Berulang kali kau memberiku tanda bahwa kau mengharapkanku. Hatiku bahagia tapi aku tak bisa berbuat banyak. Aku yang saat itu belum mapan, membuatku ragu apakah aku bisa membahagiakanmu"

Aku menatapnya, ada raut kejujuran tersirat di matanya. Rasa pedih yang kini dia rasakan pun bisa kurasakan pula.

"Bagaimanapun jalan kita sudah berbeda Mas"

"Ya, aku tahu itu. Kita tak boleh menyakiti hati pasangan hidup kita"

"Lalu apa tujuan Mas mengatakan ini semua padaku"

"Aku hanya ingin kau tahu, aku masih mencintaimu"

"Aku sudah menyerahkan cintaku pada suamiku, maaf Mas" kataku

"Kamu tidak salah Ganes, akulah yang salah"

"Tapi..."
Entah mengapa kata-kataku seakan menggantung. Aku sadar betul dialah Arjuna, lelaki yang selalu kuinginkan. Dialah Arjuna lelaki yang telah menyelamatkan hidupku. Dialah Arjuna cintaku di masalalu yang masih membekas hingga saat ini.

Arjuna tersenyum, "Aku masih bisa merasakan perasaanmu Ganes"

"Ini adalah perasaan yang salah" kataku.

"Ya, kuharap setelah ini perasaanku padamu juga memudar walaupun itu adalah hal yang sulit" katanya.

Airmataku yang sedari tadi kutahan akhirnya tumpah juga. Aku tak percaya pertemuan kami yang indah harus diakhiri dengan perpisahan yang menyakitkan hati.

"Maaf membuatmu menangis" katanya.

Di langit sana, tampak senja begitu ranum bermanja. Terbayang kembali kenangan saat aku dan Arjuna masih bersama, menanti senja datang lalu bersiap  berangkat ke masjid untuk sholat magrib. Aku dan Arjuna tidak pernah berpacaran. Kami bersahabat. Tapi memang sejak awal bertemu aku sudah menyukainya. Menyukai lelaki yang rutin puasa sunah Senin Kamis, lelaki yang tidak pernah absen sholat di masjid, lelaki yang tidak pernah meninggalkan sholat dhuha, lelaki yang seringkali melantunkan ayat-ayat Tuhan setiap selesai sholat wajib. Ah, Arjuna selalu memikat hati.Bahkan hingga kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun