"Yang di tengah taman tadi anakmu?" tanyaku.
"Iya"
"Ganteng kayak bapaknya" kataku.
Pipinya memerah. Warna yang sangat kentara untuk kulitnya yang putih bersih.
"Anakmu juga manis seperti ibunya" katanya.
"Bilang saja kalau kulitnya coklat tua...." kataku sembari tertawa kecil
"Ah, warna kulit coklat tidak mengurangi kecantikanmu di mataku"
"Gombal"
Lelaki itu tertawa kecil, "Kamu sepertinya tidak pernah percaya padaku. Pantas saja akhirnya kamu menerima pinangan dari Mas Adhitama, suamimu saat ini"
"Ehhh...." lidahku seakan kelu. Ingin sekali kukatakan bahwa saat itu aku mengharapkan dia datang. Mengharapkan dia melamarku dan menikahku. Namun kenyataannya lelaki itu tak kunjung datang. Lelaki itu hanya menatapku, tanpa suara, hanya tatapan yang sulit kuartikan. Hingga akhirnya Mas Adhitama dengan segala kepedeaannya melamarku. Mas Adhitama yang seringkali kutolak , tanpa menyerah untuk mendapatkanku.
"Mungkin memang Mas Adhitama lebih pantas untukmu. Dia lelaki alim, bukan sepertiku" katanya.