Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah untuk Hatimu (2)

31 Oktober 2018   14:15 Diperbarui: 3 Desember 2018   09:38 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alangkah bahagianya cinta yang bersambut

Laksana munculnya pelangi setelah hujan deras

Sungguh suatu penantian yang tidak sia-sia

Kini menuai manisnya kecupanmu, cinta

===

Pullman Paris Tour Eiffel Hotel.

Rachmad Pradana membuka matanya, terasa tidurnya lebih nyenyak dari hari-hari sebelumnya. Perasaannya bahagia bercampur haru ketika melihat di sebelahnya ada wanita yang sangat dia cintai. Dilihatnya lebih dekat paras istrinya yang masih tertidur pulas. Sungguh, adalah seorang wanita istimewa yang Tuhan anugerahkan padanya. Melewati segala kisah yang berliku. Di mana Farida Rahmawati, nama wanita itu, sebelumnya pernah menikah dengan seorang Hamzah. Kepergian suaminya dan duka yang mendalam sempat membuat wanita itu trauma untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Meskipun kedua malaikat kecil nan cantik selalu membuatnya antusias untuk kembali menjalani rutinitasnya sebagai seorang ibu.

Adakah hal terindah selain mencintai dan dicintai? Itulah yang dirasakan Rachmad Pradana saat ini. Serasa berabad-abad menunggu saat-saat seperti ini hadir dalam kehidupannya. Menjadi lelaki seutuhnya yang mengemban amanah sebagai seorang suami. Dan jika Tuhan mengijinkan, dirinya ingin sekali menjadi seorang Ayah. Walaupun statusnya kini adalah Ayah bagi kedua putri tirinya. Namun akan terasa berbeda jika memiliki anak yang berasal dari darahnya sendiri.

Semalam, usai berdansa dengan istrinya. Entah terbawa suasana, ataukah memang hati Farida telah mulai terbuka menerimanya, hingga mereka akhirnya bergumul dalam kemesraan yang sunyi. Hanya suara angin malam yang menjadi saksi bersatunya cinta mereka. Hanya sang bintang yang tersenyum manis melihat tatapan cinta kedua insan itu. Hanya sang bulan yang akhirnya pasrah menelan cemburu akan cinta tulus seorang Rachmad Pradana.

Ingin rasanya Rachmad kembali mengulang keindahan yang dirasakannya semalam. Setelah lebih dari dua bulan menunggu istrinya siap untuk menerima kehadirannya di hatinya. Namun alarm sholat subuh di handphone nya sudah berbunyi.

"Adinda..." Rachmad mengusap rambut panjang istrinya, "Waktunya sholat subuh"

Farida menatap suaminya. Entah apa yang berkelebat di pikirannya. Tetiba seraut wajah pias terpancar dari wajahnya.

"Maafkan aku Adinda, maaf kalau ternyata Adinda belum siap dengan ini semua" Rachmad menatap iba istrinya. Kebahagiaan yang dirasakan saat terbangun dari tidur tadi tetiba menguap begitu saja.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan Mas. Aku ke kamar mandi duluan" ucap Farida meninggalkan suaminya yang masih menatapnya, entah dengan perasaan seperti apa.

"Apakah yang harus aku lakukan untuk membuatmu bahagia istriku?" gumam Rachmad.

Hatinya tetiba merasa kecut. Memang awalnya dirinya sengaja mengajak istrinya menemani dinas di kota Paris agar istrinya mampu membuka hatinya dan mau menerimanya sebagai suami. Bukan sebagai bayangan seorang Hamzah. Jika ternyata usahanya kali ini masih gagal, lalu apakah artinya kemesraan mereka berdua semalam. Apakah Farida masih belum bisa merasakan tulusnya kasih seorang Rachmad.

===

Pagi ini adalah hari ketiga Rachmad Pradana dan keluarga kecilnya berada di kota Paris, Negara Perancis. Terlihat dari kaca hotel menara Eiffel yang berdiri tegak. Menara tersebut berjarak sekitar empat ratus meter dari hotel tempatnya menginap. Entah mengapa banyak yang berpikir bahwa menara itu merupakan lambang cinta. Dan mengatakan bahwa kota Paris ini merupakan kota yang romantis. Apalah artinya perkataan orang-orang tersebut jika Rachmad tidak bisa merasakan hal yang sama.

Setelah menelpon office boy hotel agar sarapannya diantarkan saja ke kamar, Rachmad kembali membuka laptopnya. Konsentrasinya terhenti tatkala dirinya mencium wewangian yang tak biasa.

Farida menyajikan secangkir teh hangat untuk suaminya, sebelum akhirnya suaminya berangkat untuk melakukan presentasi di tempat tugasnya. Sejenak Farida mencium pipi kanan suaminya. Antara terkejut dan senang merayap di hati Rachmad.

"Adinda memakai parfum?" tanya Rachmad.

"Kalau memakai parfum agar menarik buat suami kan bukan hal yang dosa" kilah Farida.

Rachmad memegang tangan istrinya, menciumi punggung tangannya.

"Adinda, sudikah Adinda menjadi istriku dan..." perkataan Rachmad terpotong begitu saja.

"Dan?" Farida menunggu kelanjutan perkataan suaminya dengan jantung yang berdetak tak tentu. Aneh, berada dekat dengan Rachmad Pradana selalu membuatnya seperti itu. Dirinya tak pernah merasakan debaran tertentu ketika berada dekat dengan lelaki lain. Pun dengan Hamzah, suami pertamanya, yang meninggalkannya untuk selama-lamanya. Semoga Tuhan menerima semua amal kebaikan suami pertamanya. Sesungguhnya Hamzah merupakan sosok yang sholih, suami yang sabar, dan ayah yang bertanggung jawab.

"Dan menjadi ibu dari anak-anakku" Rachmad mengatakan hal tersebut seraya tersipu malu.

"Bukankah Mas Rachmad sudah mengikrarkannya di hadapan Tuhan dua bulan yang lalu?"

"Maksud Adinda dalam ijab kabul pernikahan kita?"

Farida mengangguk, kini giliran Farida yang tampak merona di pipinya.

Rachmad menggigit bibir bawahnya pelan, "Sekali lagi. Adinda sudikah Adinda menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku?"

Farida mengangguk mantap.

Rachmad memeluk erat istrinya, "Terimakasih Adinda. Terimakasih telah menerima lamaranku. Terimakasih telah sudi menikah denganku. Terimakasih telah menghadirkan kebahagiaan di hatiku"

"Terimakasih Mas Rachmad mau menjadi rumah untuk hatiku" balas Farida.

"Eh...si sulung dan si bungsu yang cantik masih belum bangun dari tidurnya?" Rachmad melepas pelukannya dan menatap kedua putri tirinya yang masih anteng di tempat tidur.

===

Sebelas tahun yang lalu.

"Telat lagi" tegur Rachmad Pradana pada juniornya.

"Maaf" ucap Farida Rahmawati sambil menyerahkan tugas yang ada di tangannya.

"Nilainya dikurangi ya?" tawar Rachmad, "Kan kamu selalu telat mengumpulkan tugas"

Farida memasang tampang menyerah. Bukan suatu hal yang mudah menjalani kuliah sambil bekerja. Tapi bagaimana lagi, daripada keluarganya tidak bisa makan. Lagipula siapa lagi yang bisa membantu ibunya bekerja selain dirinya. Adiknya masih SMP dan masih butuh banyak belajar di sekolahnya. Sungguh bukanlah hal yang wajar jika anak seusia SMP sudah disibukkan dengan pekerjaan yang menghasilkan uang.

Sebenarnya adiknya Farida juga sudah banyak membantu perekonomian keluarga. Membawa beberapa puluh dagangan gorengan untuk dititipkan di kantin sekolah. Terkadang membawa dagangan es lilin dengan berbagai rasa. Ah, memang sulit menjadi orang dengan tingkat ekonomi di bawah rata-rata. Semua hal sudah dilakukan, tapi penghasilannya hanya cukup buat makan dan uang transport ke tempat kuliah dan ke sekolah. Untuk urusan pembayaran uang sekolah dan uang kuliah masih bergantung pada beasiswa.

"Bagaimana kabar ibumu?" tanya Rachmad.

Farida mengernyitkan dahi. Apalah hubungannya dengan pengumpulan tugas yang telat dengan ibunya, "Ibuku baik, kenapa Mas?"

"Alhamdulillah kalau baik, sampaikanlah salamku padanya"

"Salam apa?"

"Salam kenal juga boleh" kata Rachmad lalu berlalu begitu saja dari hadapan Farida.

"Raden Rachmad Pradana memang orang yang aneh" gumam Farida seraya menenangkan hatinya yang selalu berdebar saat bertemu dengan seniornya itu. Mungkin karena Rachmad selalu berbaik hati padanya. Selalu mau menjelaskan materi yang tertinggal saat Farida harus bekerja di luar kampus.

"Oh ya jangan lupa minggu depan ada Quiz terkait bab Mekanika Dinamika. Jangan lupa dipelajari materi momen gaya, momen kopel dan momen puntir. Jangan sampai nilai quiz nya jelek" suara Rachmad mengagetkan Farida dari lamunannya.

"Siap Raden Rachmad Pradana" celoteh Farida.

Rachmad tersenyum melihat kelakuan juniornya yang selisih tiga tahun darinya. Sejak ada Farida, memang kehidupan Rachmad tidak lagi membosankan seperti dulu.

Cerita sebelumnya

1. Rumah Untuk Hatimu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun