Aku terdiam tatkala terbangun. Memikirkan kalimatmu. Selama masa pertemuan kita, kamu tak pernah protes dengan penampilanku yang memang nyaman mengenakan celana panjang. Terkesan tomboi namun tak mengurangi sisi lembutku sebagai perempuan yang manja.Â
Kemunculanmu dalam mimpiku akhirnya membawaku menelusuri jejak digital dirimu di sosial media. Membangkitkan kembali ingatan kala menghabiskan hari-hari bersamamu --yang seharusnya terlupakan.Â
Ada banyak pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu lewat pesan pribadi di sosial mediamu namun membeku dalam pikiran; pernahkah aku menyisakan kesan yang berarti di hatimu selama kita bersama?Â
Oh Tidak. Maksudku pernahkah kamu merindukanku selama sembilan tahun ini?
Bibirku kelu tatkala membaca balasan darimu. Cara kamu menulis pesan masih saja meninggalkan kesan yang sama. Kamu memperhatikan penempatan huruf penggunaan kapital dan imbuhan dengan baik.Â
Kesan yang sama namun tidak sehangat dulu membuatku ragu untuk bersiap membanjirkanmu dengan ungkapan kerinduan menghabiskan waktu bersamamu. Menyampaikan keinginan untuk melangkah bersama kembali, namun logikaku kembali menahan.Â
"Jangan dulu!"
***
Kamu pernah mengajakku bersama mempelajari bahasa asing yang kuabaikan begitu saja. Kala itu masa dimana aku memutuskan benar-benar tak ingin terlibat dalam duniamu ketika menyadari bahwa tak ada aku dalam prioritasmu. Merasakan cinta sepihak sungguh tidak mengenakan.Â
Membaca tulisan di blog-mu usai pertemuan kita di Taman Ismail Marzuki (TIM), kamu bercerita mengenai perempuan lain. Itu sudah cukup bagiku untuk pergi sejauh mungkin dari duniamu. Aku tak ingin terluka terlalu dalam jika suatu waktu kamu berbicara tentang perempuan lain dari mulut mungilmu.
Barangkali aku yang belum siap melewati fase perasaan mengebu-ngebu tentang cinta kala itu. Terjerat pada romantisme yang manis yang diagungkan banyak orang.Â