“Sayang sekali. Mereka sudah meninggal.”
“Waaaaah!” Jawaban serempak terdengar dari anak-anak SMA itu. Terdengar bisik-bisik diantara mereka. Salah seorang anak lainnya bertanya apa Kosim mengenal kedua orang dalam lukisan tersebut dan bagaimana wujud aslinya. Kosim pun dengan senang hati menggambarkan tentang Taufan dan Baruna. Setelah puas mereka melanjutkan melihat-lihat lukisan yang lainnya. Badai yang datang dalam pameran dan melihatnya hanya tersenyum melihat kelakuan anak-anak SMA tersebut. Dia menghampiri Kosim. Laki-laki setengah baya itu mengatakan kalau beberapa lukisan Taufan sudah ada yang menawar.
“Kepada siapa aku harus menyerahkan hasil penjualannya?” tanya Kosim.
“Ambil saja Mas.”
Kosim terkejut. “Bagaimana mungkin, itu adalah hak Taufan.”
Badai tersenyum. “Karena itu adalah hak Taufan. Maka aku berikan sama Mas Kosim. Buat modal membuat sanggar yang lebih besar lagi.”
“Tapi ...”
“Tidak ada tapi-tapian, kalau Taufan masih hidup pun, dia pasti akan melakukan hal yang sama.”
“Bagaimana dengan papa dan mamamu?”
“Mereka sudah menyetujui.”
“Aku tidak tahu harus berkata apa kepada kalian.” Mata Kosim berkaca-kaca. “Aku akan mewujudkan keinginan Taufan!” Badai tersenyum, keduanya saling berpelukan. Sementara itu seorang laki-laki sedang memperhatikan lukisan bergambar Baruna dengan seksama. Dia adalah Ramadhan, om Baruna. Matanya nampak berkaca-kaca.