Mohon tunggu...
Eka D. Nuranggraini
Eka D. Nuranggraini Mohon Tunggu... -

membaca hidup

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Laut Semakin Sunyi (Bagian 28)

1 Agustus 2016   13:32 Diperbarui: 1 Agustus 2016   13:36 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            “Pa! Aku tidak tahu kalau Taufan…” Badai tidak melanjutkan kata-katanya.

            “Adikmu memang benar-benar bodoh! Kenapa dia tidak tahu kalau punya penyakit seperti itu!”

            “Papa yang tidak mau tahu! Papa tidak pernah memperhatikan dia!” tukas Badai. Papa menoleh dan menatapnya dengan tajam. “Papa hanya mau tahu keinginan-keinginan dan ambisi Papa yang harus tercapai!”

            “Kamu menyalahkan Papa atas kepergian Taufan!” Badai terdiam. “Jika saja kamu tidak pergi dengan membawa cita-citamu! Mungkin dia tidak akan menjadi seorang pemberontak yang berakhir seperti ini!” Mata Papa berkaca-kaca.

            “Dan jika saja Papa tidak memaksakan kehendaknya pada anak-anak Papa!”

            “Kalau tidak kalian, siapa yang akan meneruskan usaha yang telah Papa kerjakan dari nol hingga menjadi besar seperti sekarang ini!”

            “Masih ada Bayu dan Om Burhan, adik Papa! Mereka orang-orang baik dan pintar! Mereka lebih cocok meneruskan dan menjalankan usaha Papa daripada aku atau Taufan! Apa sampai sekarang Papa menganggap mereka sebagai orang lain?!” Papa terdiam. “Kenapa Papa tidak membiarkan kami berjalan di jalan kami? Toh selama ini, tanpa ada kami, usaha Papa berjalan dengan lancar bahkan maju. Hal yang mungkin tidak bisa kami lakukan.”

            Papa menghela nafasnya. “Papa tidak tahu apa yang sebenarnya dalam otak kalian. Anak-anak lain begitu senangnya dapat meneruskan segala cita dan usaha orang tuanya. Tidak kah kalian pernah berpikir kalau kalian juga bisa seberuntung mereka. Hidup senang dengan segala fasilitas yang ada. Lulus kuliah sudah dapat langsung bekerja dengan posisi yang strategis, tanpa harus melamar pekerjaan kesana kemari, yang terkadang tidak jelas? Jalan kalian sudah tersedia. Begitu dengan jodoh. Kalian tidak perlu mencari jodoh yang terbaik, karena mereka sudah ada,” nada suara Papa menurun.

            “Karena kami adalah anak-anak Papa! Papa yang mengajarkan pada kami untuk berjuang dalam hidup! Papa yang mengajarkan kami untuk membuat bahagia orang lain! Papa yang mengajarkan kami untuk mandiri! Papa yang mengajarkan kami untuk meraih apa yang kami cita-citakan! Papa yang mengajarkan kami untuk menuruti hati!” Papa terdiam, kemudian terdengar isaknya, air mata jatuh di kedua pipinya.

Badai melangkah dan berlutut di depan Papa. “Kami menyayangi Papa!”

Papa menangis. “Taufan mengatakan hal yang sama. Saat dia sadar dia mengatakan kalau dia menyayangi Papa dan Mama dan meminta maaf untuk segalanya,” ujar Papa diantara tangisnya. Badai memeluk Papa. “Papa hanya ingin melihat anak-anak Papa bahagia, tidak menderita seperti Papa dan saudara-saudara Papa!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun