Mohon tunggu...
Eka D. Nuranggraini
Eka D. Nuranggraini Mohon Tunggu... -

membaca hidup

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Laut Semakin Sunyi (Bagian 28)

1 Agustus 2016   13:32 Diperbarui: 1 Agustus 2016   13:36 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

28. Semakin sepi

Sesampainya di kampung nelayan, Wulan langsung duduk di bangku kaya di bawah pohon kelapa depan rumah Kakek. Raut sedih terlihat di wajahnya, matanya berkaca-kaca. Dia teringat, bagaimana tangisan Mama dan Lintang pecah saat dokter yang menangani Taufan keluar dari pintu ruang UGD dan meminta maaf kalau mereka sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong Taufan, namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Sekar nampak berusaha menguasai diri, namun ternyata tidak sanggup, tangisnya pun pecah. Terdengar gadis cantik itu menyebutkan kata cinta kepada Taufan. Wulan yang juga tak sanggup menahan tangisnya merangkul Sekar yang nampak limbung.

“Siapa yang namanya Baruna?” Dokter tersebut bertanya. “Dia sempat menyebutkan nama itu.”

Wulan yang sedang merangkul Sekar terkejut, lalu mengatakan kalau Baruna adalah teman Taufan yang sudah meninggal.

 “Baruna?” gumamnya, kemudian teringat cerita mimpi-mimpi Taufan tentang Baruna. “Jadi, akhirnya kamu ikut pergi dengan Baruna, Fan?”

“Bagaimana keadaan Taufan?” Suara Syamsul membuyarkan lamunan Wulan. Dilihatnya, ayahnya berdiri disampingnya bersama dengan Kakek. Tanpa berkata-kata Wulan langsung memeluk ayahnya, tangisnya pecah.  “Taufan Yah. Taufan Kek!” Dengan sikap Wulan tersebut, Syamsul dan Kakek langsung mengerti apa yang telah terjadi dengan Taufan. “Dia memang anak bodoh! Sakitnya dibiarkan saja!” Wulan berkata dalam tangisnya. “Kenapa aku harus bertemu dan berteman dengan mereka Pak! Berteman dengan dua orang bodoh!” Syamsul membelai rambut putrinya, sedangkan Kakek membelai punggungnya.

“Itu sudah rencana Tuhan. Kamu bertemu dan berteman dengan mereka.”

“Bodoh! Bodoh! Bodoh!”

***

            Hari menjelang malam, kesedihan menyelimuti kediaman Taufan, tak terkecuali Asri, Pak Dirman,  tetangga dan teman-teman Taufan. Seorang laki-laki dengan membawa ransel nampak bingung ketika melihat keramaian di depan rumah. Lalu dengan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah tersebut. Orang-orang memperhatikannya. Laki-laki itu menghentikan langkahnya didepan jenazah Taufan yang terbujur kaku di ruang tengah. Wajahnya menegang dan menatap tidak percaya wajah laki-laki yang terbaring diam di depannya. “Taufan!” Teriaknya, menjatuhkan ranselnya lalu bersimpuh dan memeluk Taufan. “Kenapa harus seperti ini Fan!” Dia pun menangis.

            “Badai!” Mama yang baru keluar kamar berteriak ketika melihat laki-laki itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun