Taufan menggelengkan kepalanya. “Aku hanya sedikit batuk. Oh iya, bagaimana kamu tahu aku ada di sini?”
Wulan tersenyum, sambil memainkan pasir pantai dengan kakinya, mengatakan kalau dia melihatnya berjalan kaki menuju pantai.
“Mana sepeda motormu?”
“Di rumah. Aku sedang tidak ingin naik sepeda motor.”
“Cuaca buruk. Orang-orang biasanya menghindari pantai, tapi kamu malah menghampirinya. Kamu tidak sedang berniat bunuh diri kan?” Taufan terbatuk, kemudian tertawa dan mengatakan kalau dia tidak mempunyai pikiran seperti itu. “Lalu, untuk apa kamu ke sini?”
“Aku rindu laut dan ingin kembali ke laut.” Wulan terdiam. “Maafkan Papaku, Lan. Dia tidak seharusnya mengatakan hal seperti itu pada kamu.”
Wulan tersenyum. “Aku sudah melupakannya. Aku kira wajar kalau papamu berkata seperti itu, apalagi ada calon menantu kesayangannya!” Taufan terdiam. Wulan kemudian bertanya tentang bagaimana pengalaman dan perasaan Taufan selama bekerja di kantor papanya. Taufan menceritakan pengalaman dan juga perasaanya.
“Jadi, kamu sudah berhenti jadi pelukis? Dan sekarang menjadi pekerja kantoran?” ledek Wulan.
“Aku tidak akan pernah berhenti menjadi seorang pelukis!”
Keduanya kemudian terdiam.
“Lan ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, sebelum terlambat.”