“Syukurlah kalau begitu.”
“Untung saja waktu itu ada adik dan sepupu kamu yang menolong Rani, Bim. Mas Pram tidak bisa membayangkan keadaan Rani kalau tidak ada mereka.”
“Kenapa harus si sableng itu yang menjadi pahlawannya?” pikir Bimo.
Pram kemudian bercerita bagaimana Khaerani yang tidak memperhatikan kesehatannya. “Kamu pasti tahu sendiri bagaimana sifatnya. Kalian kan sudah berteman sejak kecil!”
Bimo tersenyum, mengingat bagaimana kebersamaan antara dirinya dengan Khaerani sejak kecil, main di sawah, di sungai, di sekolah, di bukit, di jalan. “Rani sangat keras kepala,” kata Bimo.
“Yah, seperti itulah. Sifat jelek yang susah berubah dari dia!” kata Pram sambil tersenyum. Kakak Khaerani itu sangat tahu betul kedekatan antara adiknya dengan anak laki-laki satu-satunya dari Pak Said tersebut. Sesaat terjadi keheningan antara keduanya.
“Apa kamu sedang libur? Tumben ada disini?” tanya Pram kemudian. Bimo kemudian menjelaskan keberadaannya didesa yang berhubungan dengan pekerjaannya. “Waaah, hebat kamu Bim, sebentar lagi pasti kamu jadi direktur,” kata Pram setelah mendengar cerita Bimo.
Bimo tersenyum. “Mas Pram bisa saja.”
“Jadi kamu bekerja di perusahaan alat dan mesin pertanian?” tanya Pram. Bimo mengangguk. “Semua serba mesin ya? Lama-lama tenaga manusia tidak terpakai kalau begitu?”
Bimo tersenyum.”Tapi mesin juga harus dikendalikan manusia, Mas. Jadi tenaga manusia tetap terpakai.”
“Yah, itu kalau mereka yang berpendidikan. Nah, misalnya mereka tidak berpendidikan, yang kerjanya sebagai buruh tani, bagaimana?”