“Menurut kamu?”
Bimo menghela nafas, “aku tidak yakin, Rani yang menceritakannya. Pasti Mutiara!” Bimo memandang Bagas dengan tajam.
“Jangan salahkan Mutiara. Adikmu itu hanya merasa kecewa sama kamu, Bim!”
“Kecewa? Kecewa kenapa?”
“Karena kamu terlalu penakut! Tidak punya nyali!”
“Apa maksudnya!”
“Kamu tidak punya keberanian untuk mengatakan dan melakukan apa yang sebenarnya menjadi keinginan kamu Bim! Kamu terlalu kuatir, tidak berani mengambil resiko!” Bimo terdiam, urat-urat diwajahnya mengeras. “Betul begitu Bim?”
“Kesimpulan darimana itu!” Bimo mencoba membela diri.
“Tanya pada diri kamu sendiri!”
Mutiara berdiri di depan pintu kamar Bagas, mendengarkan percakapan antara kakak dan sepupunya. “Aduuuh, kenapa Mas Bagas ngomong seperti itu?” benaknya.
“Kamu menyukai Rani kan, Bim? Iya kan?” Bimo terdiam. Bagas tiba-tiba tertawa, “Lihat! Untuk menjawab pertanyaan mudah pun, yang kamu sudah tahu jawabannya, kamu tidak berani mengungkapkannya!” Bimo masih terdiam, tapi telinganya sudah mulai panas. “Kamu takut dan kuatir, ibumu tahu?” suara Bagas agak dipelankan. Bimo melotot kearah Bagas. “Apa yang kamu takut dan kuatirkan? Dicoret sebagai ahli waris, tidak diaku sebagai anak lagi, atau takut dicap sebagai anak durhaka?”