“Kamu ngomong apa sih, Gas!”
“Haduuuuh, untung saja bapak sama ibu sedang keluar. Kenapa Mas Bagas jadi emosi begitu sih! Benar-benar ada perang dingin di rumah ini!” pikir Mutiara yang masih berdiri di depan pintu kamar Bagas.
“Apa sebenarnya yang kamu takutkan Bim! Ketakutan yang tidak beralasan, ketakutan yang membuat kamu seolah-oleh tidak berdaya, ketakutan yang mengorbankan perasaan kamu! Kamu laki-laki dewasa Bim, sudah mapan, tidak ada yang perlu kamu takutkan dan kuatirkan. Lakukan apa kata hatimu, kalau dibilang resiko, semua hal didunia ini ada resikonya! Jangan terus berada dibawah ketiak ibumu!”
“Bagas!” suara Bimo meninggi dan ada nada kemarahan didalamnya.
“Bukannya aku mengajarkan kamu untuk menjadi anak durhaka Bim! Tapi supaya kamu tahu, jangan jadi laki-laki penakut, berani ambil keputusan dan resiko, yang kamu anggap baik dan benar dan tidak merugikan pihak mana pun!”
“Aku bukan laki-laki penakut seperti yang kamu katakan itu!” Bagas bangkit dari duduknya.
“Buktikan!”
“Untuk apa dan siapa?”
Bagas tertawa, “untuk siapa lagi? Ya, untuk diri kamu sendiri!”
Bimo berjalan ke pintu.
“Perlu kamu tahu Bim, aku mulai menyukainya!” kata Bagas tiba-tiba. Bimo menghentikan langkahnya dan berbalik memandang Bagas dengan tajam. “Aku tidak bisa membohongi diri aku sendiri, Bim.” Bimo kembali berbalik dan berjalan keluar kamar Bagas. Mutiara langsung berlari menuju kamarnya sebelum pintu kamar Bagas terbuka.