Mohon tunggu...
Ilana Rue
Ilana Rue Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Saya menyukai fiksi sedari kecil, namun butuh waktu lama untuk akhirnya bisa menulis. Saya mulai menulis pada tahun 2021 di akun wattpad. Awalnya saya menulis hanya sebagai media untuk healing dari rasa stres dan depresi yang saya rasakan. Di awal Juli 2023, nama saya tercantum pada penulis terpilih yang karyanya dibukukan di sebuah antologi cerpen. Sejak saat itu, saya aktif berkarya dan mengikuti lomba-lomba cerpen.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Permintaan Hati

25 Agustus 2024   20:06 Diperbarui: 25 Agustus 2024   20:11 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wattpad.com/ilana_rue

Genre : Fantasy, tragic love story

Kirana's POV

Malam ini udara berhembus kencang menabrak kulitku. Suhu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Bulu kudukku meremang. Sambil mengeratkan jaket, aku menatap kendaraan berlalu lalang dari atap gedung rumah sakit ini. Aku menengadah, menatap langit malam yang kelam. Tak satu bintangpun berkawan.

Ah, apa sedari awal yang setia menantiku memang hanya kesendirian?

Aku berniat menjatuhkan diriku dari atap gedung ini. Aku penasaran, apakah rasanya akan lebih sakit dari kematian sebelumnya? Ini akan menjadi kematianku yang ketiga kalinya. Untuk lelaki yang kini terbaring kaku di ranjang kamar mayat itu, aku akan terus menahan penderitaan sakitnya saat nyawa tercabut. Karena hanya dengan mengulang kematian ini, sebuah peluang mungkin saja dapat tercipta. 

Aku tak akan membiarkanmu mati Mahen, itu janjiku padamu.

Aku Kirana. Aku wanita berumur 28 tahun yang selalu mengalami kegagalan dalam hal percintaan. Hingga akhirnya, aku dipertemukan dengan Mahen. Pria baik yang menyelamatkanku dari kekerasan yang dilakukan oleh kekasihku saat itu. Mahen, tetangga kamar sebelah yang selalu tampak abai pada sekitar. Nyatanya menjadi orang yang vokal saat terjadi kekerasan di sekitar lingkungannya. Ketika semua orang hanya menutup mata dan kuping mereka, agar tidak terseret dalam permasalahan orang lain.

Mahen, pria yang selama setahun ini menemani hari-hariku. Jauh dari kata abai, Mahen menjadi sosok yang sangat menjaga dan memperlakukanku dengan rasa hormat. Kendati terbiasa dengan hubungan tidak sehat, Mahen seolah membawaku mengenal dunia yang lain. Dimana dia selalu meninggikanku. Aku tak pernah butuh pengakuan, karena dia akan melakukannya tanpa harus diminta.

Bagiku, dia adalah semestaku. 

Sungguh aku begitu bersyukur pada Tuhan karena dipertemukan dengan Mahen. Kami berjanji akan terus bersama dan saling mendukung, hingga.....

kecelakaan mobil itu terjadi. 

Aku dan Mahen, berada dalam satu mobil ketika truk bermuatan semen menabrak mobil kami dari arah berlawanan. Aku selamat, walau sempat tak sadarkan diri beberapa minggu. Namun betapa terkejutnya aku, saat tak menemukan Mahen di sampingku. Aku mencarinya. Akan tetapi tidak seorang pun memberitahuku dimana keberadaan Mahen.

Aku merana. Tiap hari, aku menangis. Memohon kepada kakakku untuk memberitahu keberadaan Mahen. Hingga akhirnya aku mendapati kenyataan yang paling menyakitkan. Mahen meninggal dalam kecelakaan tersebut.

Ini tidak adil, Tuhan. Mengapa hanya Mahen? Bukankah kami berada dalam mobil yang sama waktu itu? Aku meraung sejadi-jadinya. Melempar barang-barang yang di sekitarku. Semua nampak gelap. Saat mengetahui kematian Mahen, semestaku seolah runtuh.

Hampir setiap malam aku menangis. Entah sudah berapa minggu aku habiskan meratapi takdir jahat ini. Hingga suatu malam, dalam bunga tidurku, aku bertemu dengan sesosok pria yang menawarkan sebuah tawaran yang menarik. Kehidupan Mahen untuk kematian yang lain. Aku terbangun. Mimpi itu terasa nyata.

Awalnya aku tak menggubrisnya, namun karena mimpi itu terus datang selama dua bulan terakhir, aku menjadi semakin penasaran. Diselimuti perasaan kesepian dan putus asa yang mendalam sepeninggal Mahen, aku mencoba untuk melakukan penawaran dengan sosok pria itu.

Aku mempunyai tiga kesempatan. Ditandai dengan tiga titik hitam di telapak tanganku. Entah itu malaikat atau iblis, aku sudah tak peduli lagi, asal dia bisa membuat Mahenku kembali, aku rela bertransaksi dengan apapun itu termasuk nyawaku.

Pagi itu, sinar matahari menembus gorden kamar menyilaukan kedua netraku yang tertidur. Aku menggeliat pelan. Sembari melihat deretan pesan yang berbunyi sedari tadi. Itu dari Mahen yang mengajakku bersiap untuk ikut ke rumah ibunya di Bandung. Aku terkesiap. Buru-buru aku melihat kalender di ponselku. Tertanda tanggal 20 Maret. Hari dimana kami mengalami kecelakaan.

Aku tak percaya aku kembali ke masa lalu. Sambil membalikan telapak tangan, aku dapat melihat tiga titik hitam itu. Aku tersenyum bahagia, air mata keluar dari ekor mataku. Aku bersyukur untuk kehidupan kedua ini. 

Dengan menggunakan berbagai alasan, akhirnya aku berhasil menahan Mahen agar tidak pergi ke Bandung. Jika kecelakaan itu berhasil digagalkan, maka Mahen akan terus hidup bukan?

Aku bersyukur atas berkah ini. Tak hentinya aku panjatkan puji syukur kepada Tuhan atau iblis yang sudah menolongku. Hari ini kami terhindar dari kecelakaan maut itu. Aku dan Mahen berencana menikmati pasar malam di tengah kota malam ini. Sebuah berita sedikit mengusik kebahagiaanku, mantan pacarku yang abusive meninggal dalam kecelakaan. Aku masih tak mempercayainya tapi aku tak mau ambil pusing dan memilih fokus pada kebahagiaanku.

Malam itu, aku dan Mahen dengan bergandengan tangan sambil menaiki wahana bianglala. Kami sudah lama tak bermain wahana ini. Sambil bercanda gurau, kami menikmati pemandangan kota di malam hari dari ketinggian 20 meter. Saat bianglala mencapai atas, wahana tiba-tiba terhenti. Perasaanku mulai tak enak, decit suara besi terdengar. Suara baut yang terlepas mulai terdengar setelahnya.

Salah satu wahana di depan kami berayun, besi penyangganya lepas dan membuat penumpangnya terhempas ke bawah. Suara jeritan mulai terdengar, kepanikan mulai terasa menyelimuti pengunjung wahana. 

Belum usai dari keterjutanku, wahana yang kunaiku mulai mengalami hal serupa. Wahana berayun miring, pintu wahana juga mulai terbuka. Aku hampir saja terjatuh kalau saja Mahen tidak menahan tanganku. Ia kini bergelantungan pada besi di pintu wahana. Ia memintaku untuk menaikinya agar dapat menjangkau bagian dalam wahana.

Baru akan melakukannya, salah satu besi penyangganya terlepas. Membuat kami terhempas bebas ke darat. Mataku berair menahan rasa sakit karena perutku yang tertancap besi, sementara saat menoleh ke samping, Mahen sudah tak bernyawa dengan tubuh tertimpa wahana. Nafasku memelan. Perlahan mataku menutup.

"Ingat kamu mempunyai tiga kesempatan untuk dapat menyelamatkan kekasihmu. Setiap kesempatan itu bernilai satu nyawa. Di kesempatan terakhir, akan menjadi nyawamu yang menjadi taruhannya? Apa kamu siap?"

Sayup-sayup ingatan samar itu muncul kembali. Aku tersentak dari tidurku. Mataku memerah, air mata entah sejak kapan mengalir dari kedua mataku. Apa aku bermimpi? Aku spontan melihat kedua tanganku. Pada telapak tanganku terdapat tiga titik hitam, yang kini satu titiknya mulai memudar dan hilang.

Tidak yang tadi bukan mimpi. Segera aku menyingkap kaos dan memastikan luka di perutku. Lukanya secara ajaib telah menghilang. Namun aku masih bisa merasakan rasa sakit dan mual akibat tertancap besi karat itu. Aku memegang perutku sambil terisak.

"Kirana, ada apa? Kamu tertidur sambil menangis. Aku baru saja membuatkanmu coklat hangat agar kamu rileks." Ucap lelaki yang sangat ingin aku jaga itu.

Tak dapat menahan perasaan yang bercampur aduk. Aku menghambur ke pelukannya.

"Syukurlah kamu hidup, Mahen. Kita selamat." Teriakku histeris sambil terus menangis sesenggukan.

Ia sedikit tersentak. Sesekali ia menepuk punggungku pelan. "Apa kamu baru saja bermimpi buruk, sayang? Kamu pasti lupa berdoa lagi kan semalam? Ayo setelah ini kita makan." Ucapnya yang membuatku tersadar. 

Mimpi. Ya mimpi itu. 

"Tanggal berapa sekarang, sayang?" 

"Tanggal? Tanggal 17 Maret. Kenapa sayang?"

Aku terkejut. Hari berulang tiga hari sebelum kecelakaan. Aneh kenapa tidak berulang di tanggal 20. Sambil terus memikirkannya, aku memastikan jadwal Mahen tiga hari ke depan. Akan aku pastikan, kami di rumah saja hari itu. Kali ini tidak akan gagal.

Saat itu aku dan Mahen sedang bersantap di meja makan. Aku terus memandang wajah Mahen yang membuatnya tersipu. Aku tersenyum lebar. Dalam hati, aku sungguh bersyukur dapat menikmati sarapan berdua dengan Mahen seperti ini.

Akan tetapi, suara ponselku yang terus berdering kini memecah momen bahagia kami. Itu panggilan dari Alya, kakakku. Segera aku angkat panggilan itu. Alya dengan panik dan sesenggukan memberitahuku bahwa putrinya, Andara, meninggal karena terjatuh dari wahana kora-kora. Karena safety yang kurang, Andara terperosot ke bawah dan tubuhnya membentur tanah dengan keras. 

Tangisku pecah, keponakanku satu-satunya meninggal. Andara yang aku sayangi. Mahen segera memelukku erat. Segera, aku memesan tiket ke Balikpapan, tempat dimana Alya tinggal saat ini. Mahen yang mengkhawatirkanku, memaksa pula untuk ikut. Aku hanya bisa mengiyakan permintaannya saat itu. Aku memang sangat membutuhkan Mahen saat ini.

Pesawat kami berangkat di malam hari. Setelah melakukan persiapan. Akhirnya kami sampai di bandara. Ini akan baik-baik saja bukan? Setidaknya ini bukan tanggal 20. Tak apa. Semuanya akan baik saja. 

Kami mulai memasuki pesawat. Pesawat mulai terbang landas. Aku memegang tangan Mahen sambil terus melihat ke arah city light kota yang indah dari dalam pesawat. Perasaan dejavu mulai merayapiku. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada tangan Mahen yang membuatnya menepuk pelan tanganku. Meyakinkanku seolah semua akan baik saja. Ya. Semua akan baik saja. Sudah satu jam pesawat mengudara, dan tidak ada tanda-tanda apapun. Untuk sesaat aku tertidur. 

"Ingat, satu kehidupan untuk satu kematian." 

Aku terbangun dengan gelisah. Seolah mendapat pertanda. Aku berteriak histeris sambil berusaha membuka seatbelt. Mahen yang kala itu tertidur pulas, menjadi tersentak dan terbangun. Sambil berusaha membuka seatbelt milik Mahen, aku terus berusaha menjelaskan bahwa pesawat ini akan jatuh kepada Mahen. Mahen masih terus berusaha menenangkanku, namun tak berhasil. Aku bangkit dari kursi yang membuat seluruh perhatian penumpang mengarah padaku. Para pramugari mulai berdatangan dan berusaha menenangkanku.

Dengan derai air mata, aku terus menjelaskan bahwa pesawat akan jatuh, namun tak satupun orang yang mempercayaiku. Aku memohon pada Mahen dan para pramugari untuk menghentikan pesawat ini sesegera mungkin. Sesaat kemudian pesawat mengalami turbulensi. Pilot menjelaskan lewat speaker bahwa ini adalah hal yang biasa dalam penerbangan.

Semua berjalan normal. Akan tetapi, 15 menit kemudian, pesawat kembali mengalami turbulensi. Kali ini guncangannya semakin besar hingga mengakibatkan lampu di pesawat mati dan kantong oksigen keluar dari kabin. Tanda bahaya mulai muncul. Orang-orang memekik ketakutan.

Pesawat terjun bebas, menyebabkan tekanan yang membuat beberapa bagiannya terbakar. Api dengan cepat melahap penumpang di bagian depan. Kemudian menjalar ke arah kursi penumpang bagian dalam. Aku dan Mahen berpegangan. Api dengan cepat melahap kami berdua.

Panas. Sangat panas dan sakit. Aku dan Mahen berteriak kesakitan. Ini kah neraka dunia? Kulitku terbakar, meleleh bagai plastik yang terkena api. Sakit. Rasa panas ini ratusan kali lebih panas dari tanganku yang terkena api unggun saat kecil. Ratapan, tangisan dan teriakan terdengar, menggema di seluruh penjuru pesawat. Seolah simfoni pengantar pesawat untuk jatuh ke ujung samudra selamanya.

"Kamu hanya punya satu kesempatan sekarang, Kirana. Kesempatan terakhir seharga dengan nyawamu."

"Tunggu. Apa maksud dari satu kehidupan untuk satu kematian adalah kematian dari orang terdekatku?"

"Tentu saja. Apa iblis pernah memberikan segala sesuatu tanpa imbalan?"

"Iblis?"

"Ya. Kamu yang berdoa begitu setiap hari bukan. Entah Tuhan atau iblis yang bisa membantumu, asal kamu bisa menyelamatkan Mahen, kamu rela bertransaksi bahkan dengan nyawamu bukan?"

"Tapi... Mengapa kematian terus mendatangi kami?"

"Transaksi sudah terjadi. Apa kamu berharap kami tidak akan mencurangimu?"

Mataku berkaca-kaca. Tatapanku mengarah ke arah televisi yang menyala. Rasa panas itu masih bisa kurasakan, seolah tubuhku masih terbakar. Aku mengecek anggota tubuhku, semua masih nampak utuh. Aku bersyukur. Buru-buru aku mencari ponselku, aku harus mengecek kalender dan memastikan Mahen baik-baik saja. 

Tanggal 12 Maret, waktu berjalan mundur lagi. Kini delapan hari dari tanggal kecelakaan kami menuju Bandung. Aku terdiam. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi di tanggal tersebut. Ah, iya, Mahen sekarang berada di Manado untuk mengaudit cabang perusahaan tempatnya bekerja. Seharusnya tidak ada apapun terjadi di tanggal ini. Mahen pulang dengan selamat keesokan harinya. Aku bersandar lega pada sofa yang kini kududuki.

Ada yang harus aku pastikan, yaitu keberadaan keponakanku. Segera kuhubungi Alya dan menanyakan keadaan Andara. Namun respon Alya yang kebingungan membuat kepalaku semakin berdenyut. Alya mengatakan dia tidak memiliki anak bernama Andara.

Apakah ingatan tentang Andara ikut menghilang? Aku memijat kepalaku pelan.

Di saat akan menutup panggilan, Alya mengatakan bahwa ponselnya akan tidak aktif selama beberapa jam karena pesawat yang ia tumpangi akan lepas landas sebentar lagi. Aku membatu. Lidahku kelu. Tunggu dulu. Apakah takdir berubah? Alya, bukankah seharusnya berada di rumahnya di Balikpapan. Namun ia bilang akan melakukan perjalanan bisnis ke Jakarta. 

Aku ambil lagi ponselku. Berusaha mencegah Alya pergi namun terlambat. Ponselnya tidak aktif. Aku merosot lemas. Terdiam membeku dengan tatapan kosong. Layar televisi yang masih menyala kini menayangkan insiden kecelakaan pesawat yang terjadi di bandara Balikpapan. Pesawat meledak saat baru saja lepas landas. Aku tertunduk lemas. Takdir telah berubah. Maafkan aku, Kak.

Beberapa saat kemudian, aku beranikan diri menghubungi Mahen. Untuk membagi kesedihanku saat ini, aku hanya membutuhkannya. Aku tersenyum kecil, meskipun terlihat jahat, tetapi setelah kehilangan banyak hal, aku tak ingin kehilangan dia. Aku sudah membuat perjanjian dan ini adalah resiko yang harus aku ambil. 

Semenjak kehilangan ayah dan ibu pada kecelakaan. Aku hanya memiliki kakakku, namun karena pernikahannya, aku tak memiliki siapapun sebagai tempatku berpijak. Semenjak pertemuanku dengan Mahen, aku serasa memiliki rumah untuk pulang. 

Mahen kembali dari Manado dengan selamat. Untuk menghiburku dari kesedihan, ia mengajakku ke pantai. Awalnya aku sedikit ragu, namun ia berhasil meyakinkanku. Dia juga menyewa sebuah rumah pantai tempat kami akan menginap sambil menikmati deburan ombak. Mahen mampu memberikanku semangat hidup lagi setelah berduka atas kematian kakakku.

Sesampainya disana, kami bercengkrama. Sesekali kami bermain air di pantai dan membuat istana pasir. Sungguh suasana yang membahagiakan. Kami juga memutuskan menaiki speed boat. Ini adalah kali pertama bagiku. Meskipun sedikit cemas, aku coba untuk menepiskan semua pemikiran burukku. Ini bukan hari kematian Mahen. Jadi tidak akan ada hal buruk terjadi.

Mahen mengendarai speed boat hingga memasuki zona lautan dalam. Setelah mematikan mesin, ia mengajakku berdiri di tengah-tengah. Sambil berlutut, ia mengeluarkan sebuah kotak cincin. Ia melamarku saat itu juga di tengah lautan. Aku berkaca-kaca. Setelah perjuangan yang panjang akhirnya aku dan Mahen akan segera bersatu dalam sebuah ikatan suci. Aku mengangguk, setelahnya ia sematkan cincin itu di jari manisku. 

Beberapa hari setelah lamaran itu. kami menjalani hari dengan normal. Tiada hari yang kami habiskan tanpa kebahagiaan. Ini sudah lewat dari tanggal 20 dan Mahen masih baik-baik saja. Walau sempat was-was, mencegah Mahen pergi kemanapun bahkan sampai membuntutinya. Aku bersyukur upayaku berhasil.

Mahen hari ini meminta ijin padaku untuk pergi ke bank guna menyetor uang nasabah. Hari ini ia terpaksa menggantikan tugas rekannya yang cuti kerja. Tak ada sedikitpun kekhawatiran. Hingga, tayangan televisi yang kutonton tiba-tiba menyiarkan tentang perampokan bank dimana Mahen turut menjadi korban tewas dalam insiden penembakan pagi itu. Tubuhku merosot. Duniaku hancur lagi.

Kini Mahen terbujur kaku di kamar jenazah dengan luka tembak di dadanya. Aku terisak. Dadaku terasa sesak. Aku menangis sejadi-jadinya. Kenapa aku harus merasakan penderitaan ini lagi? Dalam keputusasaan, aku menaiki tangga darurat menuju atap rumah sakit. Aku berniat menyelamatkan Mahen dengan jiwaku.

Kini aku telah sampai di atap. Diserang oleh dinginnya malam yang bagai belati, aku majukan tubuhku ke pembatas dinding. Aku jatuhkan diriku. Namun, tangan seseorang sudah lebih dulu menggapaiku. Itu tangan Mahen. Ia terus menarikku hingga akhirnya aku terselamatkan.

"Sampai kapan kamu akan sadar Kirana, bahwa setiap yang bernyawa di bumi hanyalah sesaat. Kekekalan hanya milik Tuhan, hanya padanya seharusnya kamu sandarkan seluruh harapan dan cintamu. Lalu mengapa, kamu masih saja menggantungkan kebahagiaan dan harapanmu padaku, Kirana? Kenapa kamu begitu keras kepala?" Tangan lelaki itu menyentuh wajahku. Matanya berkaca-kaca. 

"Relakan kepergianku, sayang. Kembalilah ke duniamu. Hiduplah dengan baik dan jangan pernah berpikir untuk menghidupkanku kembali dengan cara apapun." Ucap Mahen lalu keberadaannya perlahan memudar menjadi kepingan putih yang terbawa ke langit. Bersamaan dengan itu, kesadaranku pun menghilang. 

"Hah" 

Aku meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Entah berapa banyak air yang terminum hingga membuatku tersedak. Aku terbangun di dalam bak mandiku. Aku nyaris saja mati tenggelam.

Apakah semua ini mimpi? Aku tak tahu. Namun saat aku memeriksa jari manisku, cincin tunangan ini masih tersemat. Aku menangisi seluruh kejadian yang menimpaku. Ini bukan mimpi. Mahen berusaha menyelamatkanku. Terima kasih Mahen. Terima kasih Tuhan. Maafkan aku yang begitu egois mencintai hambamu lebih dari aku mencintaimu. Maafkan aku yang hendak bersekutu dengan iblis ini.

Sembari terus terisak, aku menepuk dadaku yang sesak. Aku harus hidup dengan baik, bukan hanya untuk Mahen tapi juga untuk diriku sendiri. Sayang, sampai jumpa lagi di alam lain. Aku sangat merindukanmu. Apa kamu sedang melihatku dari atas?

The End

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun