Beberapa hari setelah lamaran itu. kami menjalani hari dengan normal. Tiada hari yang kami habiskan tanpa kebahagiaan. Ini sudah lewat dari tanggal 20 dan Mahen masih baik-baik saja. Walau sempat was-was, mencegah Mahen pergi kemanapun bahkan sampai membuntutinya. Aku bersyukur upayaku berhasil.
Mahen hari ini meminta ijin padaku untuk pergi ke bank guna menyetor uang nasabah. Hari ini ia terpaksa menggantikan tugas rekannya yang cuti kerja. Tak ada sedikitpun kekhawatiran. Hingga, tayangan televisi yang kutonton tiba-tiba menyiarkan tentang perampokan bank dimana Mahen turut menjadi korban tewas dalam insiden penembakan pagi itu. Tubuhku merosot. Duniaku hancur lagi.
Kini Mahen terbujur kaku di kamar jenazah dengan luka tembak di dadanya. Aku terisak. Dadaku terasa sesak. Aku menangis sejadi-jadinya. Kenapa aku harus merasakan penderitaan ini lagi? Dalam keputusasaan, aku menaiki tangga darurat menuju atap rumah sakit. Aku berniat menyelamatkan Mahen dengan jiwaku.
Kini aku telah sampai di atap. Diserang oleh dinginnya malam yang bagai belati, aku majukan tubuhku ke pembatas dinding. Aku jatuhkan diriku. Namun, tangan seseorang sudah lebih dulu menggapaiku. Itu tangan Mahen. Ia terus menarikku hingga akhirnya aku terselamatkan.
"Sampai kapan kamu akan sadar Kirana, bahwa setiap yang bernyawa di bumi hanyalah sesaat. Kekekalan hanya milik Tuhan, hanya padanya seharusnya kamu sandarkan seluruh harapan dan cintamu. Lalu mengapa, kamu masih saja menggantungkan kebahagiaan dan harapanmu padaku, Kirana? Kenapa kamu begitu keras kepala?" Tangan lelaki itu menyentuh wajahku. Matanya berkaca-kaca.Â
"Relakan kepergianku, sayang. Kembalilah ke duniamu. Hiduplah dengan baik dan jangan pernah berpikir untuk menghidupkanku kembali dengan cara apapun." Ucap Mahen lalu keberadaannya perlahan memudar menjadi kepingan putih yang terbawa ke langit. Bersamaan dengan itu, kesadaranku pun menghilang.Â
"Hah"Â
Aku meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Entah berapa banyak air yang terminum hingga membuatku tersedak. Aku terbangun di dalam bak mandiku. Aku nyaris saja mati tenggelam.
Apakah semua ini mimpi? Aku tak tahu. Namun saat aku memeriksa jari manisku, cincin tunangan ini masih tersemat. Aku menangisi seluruh kejadian yang menimpaku. Ini bukan mimpi. Mahen berusaha menyelamatkanku. Terima kasih Mahen. Terima kasih Tuhan. Maafkan aku yang begitu egois mencintai hambamu lebih dari aku mencintaimu. Maafkan aku yang hendak bersekutu dengan iblis ini.
Sembari terus terisak, aku menepuk dadaku yang sesak. Aku harus hidup dengan baik, bukan hanya untuk Mahen tapi juga untuk diriku sendiri. Sayang, sampai jumpa lagi di alam lain. Aku sangat merindukanmu. Apa kamu sedang melihatku dari atas?
The End