Dengan derai air mata, aku terus menjelaskan bahwa pesawat akan jatuh, namun tak satupun orang yang mempercayaiku. Aku memohon pada Mahen dan para pramugari untuk menghentikan pesawat ini sesegera mungkin. Sesaat kemudian pesawat mengalami turbulensi. Pilot menjelaskan lewat speaker bahwa ini adalah hal yang biasa dalam penerbangan.
Semua berjalan normal. Akan tetapi, 15 menit kemudian, pesawat kembali mengalami turbulensi. Kali ini guncangannya semakin besar hingga mengakibatkan lampu di pesawat mati dan kantong oksigen keluar dari kabin. Tanda bahaya mulai muncul. Orang-orang memekik ketakutan.
Pesawat terjun bebas, menyebabkan tekanan yang membuat beberapa bagiannya terbakar. Api dengan cepat melahap penumpang di bagian depan. Kemudian menjalar ke arah kursi penumpang bagian dalam. Aku dan Mahen berpegangan. Api dengan cepat melahap kami berdua.
Panas. Sangat panas dan sakit. Aku dan Mahen berteriak kesakitan. Ini kah neraka dunia? Kulitku terbakar, meleleh bagai plastik yang terkena api. Sakit. Rasa panas ini ratusan kali lebih panas dari tanganku yang terkena api unggun saat kecil. Ratapan, tangisan dan teriakan terdengar, menggema di seluruh penjuru pesawat. Seolah simfoni pengantar pesawat untuk jatuh ke ujung samudra selamanya.
"Kamu hanya punya satu kesempatan sekarang, Kirana. Kesempatan terakhir seharga dengan nyawamu."
"Tunggu. Apa maksud dari satu kehidupan untuk satu kematian adalah kematian dari orang terdekatku?"
"Tentu saja. Apa iblis pernah memberikan segala sesuatu tanpa imbalan?"
"Iblis?"
"Ya. Kamu yang berdoa begitu setiap hari bukan. Entah Tuhan atau iblis yang bisa membantumu, asal kamu bisa menyelamatkan Mahen, kamu rela bertransaksi bahkan dengan nyawamu bukan?"
"Tapi... Mengapa kematian terus mendatangi kami?"
"Transaksi sudah terjadi. Apa kamu berharap kami tidak akan mencurangimu?"