Author's POV
"Sayang, hari ini kita batalin aja ya rencana pergi ke Danau Cermin. Badanku lagi ga enak." Ucap seorang wanita bernama Lana pada panggilan telepon.
"Yah, By. Reservasi hotelnya batal dong? Ya udah deh. Tapi baby ga kenapa-napa kan? Mau aku temenin ga di rumah?" Tawar Juan. Intonasi Juan sarat akan kekecewaan, namun mana bisa ia egois mendengar pacar tercintanya sakit.
"J, stop, don't call me baby. Berapa kali aku bilang. Dan kamu ga perlu ke rumah, aku bisa merawat diri sendiri kok. Thanks." Lana menolak lagi tawaran Juan. Membuat sudut hati Juan berkedut lagi.
"Okay fine. Sorry for calling you baby. Ya udah. Nanti kalau ada apa-apa, bilang ya!" Juan memanyunkan bibirnya, kesal selalu ditolak kebaikannya oleh sang pacar.
"Deal. Bye." Panggilan terputus begitu saja. Meninggalkan Juan dengan keputusasaan. Ia khawatir, tetapi pacarnya tidak butuh dikhawatirkan.
Juan mendudukkan diri pada sofa di dalam kamarnya. Ia batalkan reservasi hotel yang sudah ia pesan satu minggu lalu. Niat hati berlibur romantis dengan kesayangan, malah kini harus bersanding dengan keheningan. Putus asa karena bingung harus apa, ia buka saja galeri ponselnya. Menampilkan barisan foto Lana dan dirinya.
Ingatan Juan kembali ke satu tahun lalu, di pertemuan pertamanya dengan Lana. Kala itu, Juan hanyalah seorang perantau yang juga mahasiswa sebuah Universitas di daerah Samarinda. Bermodalkan tampang dan koneksi, ia mendaftar magang di sebuah perusahaan swasta asing sebagai Junior Accounting Staff dimana Lana juga menjadi salah satu staff di departemen tersebut.
Umumnya, baik pria terlebih wanita, akan langsung tertarik pada visual Juan. Namun tidak dengan staf yang ditunjuk untuk jadi mentornya yaitu Lana. Tak sedikitpun ia melirik Juan. Tak ada basa-basi, tak ada hahahihi, terlalu dingin sambutan yang ia terima dari seniornya tersebut.
Namun yang sangat pasti, Juan sempat terpukau saat diperkenalkan pertama kali dengan gadis itu. Juan tak bisa menjelaskan, seolah medan magnet bergerak di sekitarnya. Lambat laun, Juan makin tertarik pada pesona yang dipancarkan Lana.
Kendati telah mengatakan cinta lebih dari sekali, pada percobaan kesepuluh, Lana baru menerima cintanya. Ironi untuk seorang Juan yang tak pernah kehilangan pamornya sebagai pria idaman. Namun ini adalah kemenangan besarnya. Mengingat sulitnya menaklukan gadis yang umurnya 8 tahun lebih tua darinya itu.
Sebuah notifikasi menyadarkannya dari lamunan. Ia buka pesan WhatsApp yang berasal dari rekannya Tyo.
Tyo
Bro, udah berangkat?
Have fun ya.
Akhirnya lu jadi bikin anak juga sama Lana.
Lol.
Me
Ngaco lu
Bikin anak sama kuyang, iya.
Lol
Batal nying
Lana sakit katanya.
Tyo
Lagi? Punya sakit apa sih dia?
Sering betul sakitnya.
Lu ga ke rumahnya?
Me
Dia ga mau ditemenin
Nah itu lah. Lana ga pernah cerita
Tyo
Coba aja diem-diem ke rumahnya.
Tapi lu mesti siap-siap
Takutnya lu nemu kenyataan dia selingkuh.
Me
Jan nakutin napa.
Emang ada cowo lebih keren dari gue?
Tyo
Ada. Gue.
Me
Skip lah.
Ga seru becanda sama elu.
Juan tutup aplikasi Whatsapp dengan jengkel. Ia selalu percaya diri dengan visualnya. Tapi Lana membuatnya putus asa. Bukan hanya merasa dianggap sebagai adik. Juan juga merasa Lana selalu menghindari hubungan mereka di jenjang yang lebih lanjut dengan alasan "Tidak ada hubungan badan tanpa komitmen". Juan mengusap wajahnya frustasi.
Ucapan Tyo membuatnya overthinking. Apa benar alasan Lana sulit diajak keluar bahkan menginap ke tempat asing di waktu-waktu tertentu karena Lana memiliki jadwal dengan pria lain. Juan menggigit kukunya cemas. Namun buru-buru ia tepis pikiran buruk itu. Ia cukup percaya diri. Memang ada lelaki lain yang lebih tampan dan menggemaskan selain dirinya? Jelas tidak ada bukan?
Lalu ia mencoba mengingat kembali. Sudah seminggu ini, wajah Lana terlihat pucat. Tidak hanya pucat, tapi seperti orang sekarat. Bukan sekali. Ada waktu-waktu tertentu, Lana akan berwajah sangat pucat. Setiap ditanya, wanita itu hanya akan menjawab seadanya. Alasan yang paling sering wanita itu gunakan ialah anemia parah.
Juan sebagai pacar siaga, sudah sering mengajak kekasihnya itu ke dokter. Namun, Lana selalu beralasan bahwa ia sudah berobat dan akan sembuh pada waktunya. Tak habis ide, Juan juga sering menawarkan diri untuk merawat kekasihnya itu. Malah Juan rela jika harus menunggui gadis itu semalaman yang tentu saja dijawab dengan penolakan oleh sang pacar.
Apa ia nekat saja mengunjungi rumah kekasihnya itu? Ia hanya ingin melihat keadaan gadisnya. Sekaligus membuktikan bahwa kecurigaannya itu tidak benar. Memalukan sekali dirinya saat ini. Tapi masa bodohlah.Â
Ia bersiap-siap, memakai pakaian yang rapi dan trendy, serta menyemprotkan parfum terbaiknya. Juan berharap, setelah melihat penampilannya saat ini, setidaknya sang kekasih tidak terlalu marah padanya karena melanggar batasan yang telah wanita itu buat. Ia juga akan membeli bunga dan buah tangan untuk Lana. Ah, Lana pasti akan terkejut.
45 menit berlalu. Mobil Juan memasuki daerah pinggiran kota yang cukup tersembunyi. Bahkan Juan sudah tersasar sampai dua kali karena daerah ini tidak terbaca di google maps. Mengapa juga Lana tinggal di daerah seperti ini? Sudah akses ke jalan raya jauh.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya ia sampai di rumah tua bergaya kolonial yang berdiri megah dengan hamparan bunga di pekarangannya. Ia persiapkan dirinya. tentu ia harus siap mental jika tiba-tiba saja Lana marah padanya. Ia ambil buket mawar merah yang sempat ia beli di jalan tadi, beserta bingkisan buah tangan agar kekasihnya cepat sembuh.
Pintu diketuk. Tak ada jawaban. Ia coba ketuk pintu rumah sang kekasih beberapa kali. Ia melongok ke arah jendela di ruang tamu. Gelap. Tak ada seorangpun.
Juan mulai negative thinking, apakah pacarnya tidak ada di rumah. Ia tak puas, ia coba kelilingi rumah itu. Juan mencoba melongok ke arah jendela yang ia duga adalah jendela kamar sang kekasih.
Di balik gorden, samar-samar Juan dapat melihat sosok kekasihnya yang sedang duduk di atas ranjang. Suasana kamar yang gelap membatasi penglihatan Juan. Lelaki itu mengetuk jendela itu beberapa kali, namun tak ada respon dari sang kekasih.
"Lana, Lana, sayang buka. Ini aku Juan." Juan setengah berbisik memanggil nama sang kekasih. Namun kekasihnya sama sekali tak bergeming.Â
Juan khawatir. Jangan-jangan kekasihnya itu pingsan. Ia harus cepat menolongnya. Ia kini berjalan mengitari rumah itu, mencari letak pintu belakang.Â
Ketemu.
Segera ia coba buka pintu belakang itu. Beruntungnya pintu itu lupa dikunci oleh Lana. Setelah menaruh buket bunga dan buah tangan yang ia bawa di meja makan, Juan segera masuki rumah itu.
Sekarang yang ia harus cari adalah kamar Lana. Ia coba menelusuri tiap centi rumah besar itu. dan dia menemukan kamar yang ia curigai kamar kekasihnya. Satu-satunya kamar yang terkunci di rumah itu. Ia ketuk pintu itu. Hening. Tak ada jawaban.
Juan coba membuka paksa pintu kamar itu. Ia mundurkan tubuhnya. Bersiap mendobrak pintu.Â
"Brakkk"
Pintu berhasil didobrak. Juan tersungkur dan jatuh tepat di bawah kaki sang kekasih. Gaun merah gadis itu menjuntai hingga menutupi mata kaki sang gadis. Juan yang tak sengaja melihat siluet kaki putih dan mulus sang kekasih, menjadi salah fokus dan gugup sendiri.
Juan mencoba bangkit, tatap matanya menelusuri tubuh sang gadis dari bawah hingga atas. "Maaf sayang, aku mendobrak paksa pintu kamar kamu itu- argghhhhh." Teriak Juan histeris. Ia terjengkang ke belakang saking kagetnya.Â
Ucapannya terhenti saat netranya menangkap pemandangan mengerikan. Saat tatapannya mengarah ke wajah sang gadis, kepala gadis itu sudah terlepas. Juan masih berada di posisinya jatuh terjengkang, ia berteriak seperti anak kecil.Â
"Tolongggg... Siapapun." Teriak Juan histeris.Â
"Seseorang mati. Pacar saya mati."
Kepala gadis itu terlepas.Â
Tak terasa air mata Juan mengalir. Entah karena ketakutan atau karena kehilangan kekasihnya. Tapi anehnya leher itu tak memancarkan darah. Tak ada darah setetespun di ranjang.Â
Saraf Juan sempat lambat memproses hal di depannya. Ia harus menelepon 112 untuk meminta bantuan polisi. Dikarenakan signal yang sulit, panggilan tersebut tak kunjung terangkat. Setelah beberapa belas menit, usahanya membuahkan hasil. Juan sangat bersyukur, segera ia jelaskan keadaannya saat ini. Namun saat akan menyebutkan alamat rumah Lana. Sebuah suara menghentikannya.
"Jangan lakukan J. Berhenti." Suara yang sangat lelaki itu kenal. Suara kekasihnya. Juan tolehkan kepalanya ke arah sumber suara.
Sebuah kepala melayang dari atap rumah. Kepala kekasihnya dengan rambut yang terurai kusut. Wajahnya pucat dengan noda darah di sekitar bibirnya. Bukan hanya kepala, akan tetapi organ dalam kekasihnya ikut terjuntai melayang mengikuti kepala sang kekasih bergerak. Dari juntaian organ dalam itu, tercium bau busuk.Â
"Argghhhhhhhhh..... Mama ini apaan?" Juan merangkak keluar kamar. Tangisnya menjadi-jadi. Seumur hidup, ini adalah kali pertama ia melihat makhluk menyeramkan seperti ini.
Kepala melayang itu melesat tepat ke arah pria itu. Kini Juan dapat melihat langsung sorot mata hitam itu dari jarak beberapa centi. Juan menutup hidungnya akibat bau busuk yang tak sanggup ia tahan.
"Dasar anak nakal. Sudah aku peringatkan bukan, tidak perlu mengunjungiku. Kenapa sulit sekali berbicara denganmu." Ucap kepala Lana sambil tersenyum sinis.
Tangis Juan makin menggema di rumah itu. Kepala kekasihnya itu kini menjauhinya. Kepala itu mendekati tubuhnya. Tepat di leher, kepala itu mulai menempelkan diri. Tangan wanita itu mulai bergerak, membetulkan letak kepalanya yang sedikit miring.
Netra wanita itu kini menatap Juan dengan pandangan horor. Rambutnya sudah tak lagi kusut. Penampilan Lana saat ini sudah sangat normal. Semuanya normal kecuali bekas darah di sekitar mulutnya. Ia tolehkan kepalanya ke arah cermin. Lana usap bekas darah itu dengan tangannya. Kemudian ia bangkit mendekati lelaki itu.
"Bapa di surga, tolong anakmu ini. Lindungi anakmu ini dari gangguan setan ini." Rapal Juan. Tangannya mulai membentuk salip.
"Sang Hyang Widi, tolong saya." Juan berteriak sambil mengatupkan kedua telapak tangannya. Ia memejamkan matanya sambil terus merapalkan doa apapun yang ia bisa.Â
"J, apa yang kamu lakukan?" Tanya Lana yang kini wajahnya sudah beberapa centi di depannya. Juan langsung lemas, badannya yang sudah gemetar sedari tadi mulai kehilangan kesadaran.Â
"Sungguh Merepotkan." Ucap Lana datar. Lana raih tangan pria itu dan menggendongnya di bahu. Segera ia tidurkan pria itu di atas sofa di ruang tamu.
Beberapa jam berlalu. Lana masih duduk di samping Juan, menantikan kesadarannya. Juan menggeliat kecil. Pelupuk matanya terbuka perlahan. Saat pandangan mereka bertemu. Juan langsung memundurkan tubuhnya ketakutan.Â
"Jangan bunuh saya, kakak setan. Saya terlalu muda dan tampan untuk mati." Mohon juan sembari menangkup kedua telapak tangannya.
"Siapa juga yang ingin membunuhmu J? Apa kamu bahkan sudah tidak kenal kekasihmu lagi?" Jawab Lana datar, pandangannya santai menatap Juan.
"Lana? Ga mungkin kamu Lana. Kamu pasti setannya kan? Ngaku. Lanaku pasti udah mati." Juan menggeleng tak percaya. Pikirnya tak mungkin. Seseorang yang kepalanya putus masih bisa hidup.
"J, ini aku Lana. Aku masih hidup." Ucap Lana sambil memijit pelipisnya lelah.Â
"Lana, tapi gimana bisa?"Â
"Bisa aja, kan aku kuyang."
"Kuyang. Ayolah ini udah tahun berapa. Ga mungkin kan itu?" Bantah juan, masih tak percaya.
"Lucu. Kamu percaya setan tapi tidak percaya dengan kuyang. Harga diriku cukup tergores." Ia menyunggingkan senyum, merasa pacar di depannya ini sangat lucu.
"Aku akan menceritakan ini sekali. Dengarkan. Lalu putuskan, apa yang ingin kamu lakukan dengan hubungan kita. Tapi satu hal, jika kamu berani menceritakan kisahku ini ke orang lain. Aku pastikan kepalamu itu nanti yang akan terlepas dari tubuhmu." Ucap Lana dingin dan menusuk. Nadanya begitu serius. Sorot matanya kelam, seolah ia siap merobek jantung Juan saat itu juga.
"Ba....Baik"
"Keluargaku adalah keluarga penyembah setan. Sudah dari turun temurun, kami mewarisi kekuatan hitam ini. Perjanjian dengan iblis bukanlah sesuatu yang bisa terputus begitu saja. Kendati aku tak menginginkan kutukan ini, toh aku harus melakukannya. Karena itu sudah ada di darahku. Ini adalah tanda kalau aku adalah Kuyang." Lana menjeda ceritanya. Ia tunjukan garis melingkar di lehernya.
"Sebagai gantinya, harta yang melimpah, paras yang rupawan serta kemasyuran dijanjikan pada kami. Setiap dari garis keturunan kami, akan menerima kekuatan ini ketika umur kami beranjak dewasa. Rumah ini juga salah satu rumah peninggalan leluhurku." Lana hembuskan nafas kasar. Ia sempat berhenti bercerita. Menimbang perlu tidaknya ia menceritakan hal-hal selanjutnya.
"Beberapa dari kami, menyerap energi anak kecil. Ada yang harus mendapat darah segar bayi. Dan pada beberapa kasus, kami terpaksa harus menghisap darah hewan sekedar untuk melepaskan dahaga kami. Pada kasusku, aku menghisap darah hewan ketika tidak ada darah bayi yang bisa aku minum. Itu tidak cukup untuk memenuhi energiku, tapi cukup untuk menahan rasa haus kami selama beberapa hari."
Juan termangu, ia tak tahu harus berkata apa. Ia masih takut bercampur kaget mengetahui kenyataan wanita yang ia cintai adalah manusia jadi-jadian.
"Lalu, apakah ada cara untuk melepaskan kutukan itu? Pasti ada kan?" Tanya Juan, berusaha mendistraksi rasa takutnya.Â
"Sayangnya tak ada. Ini adalah kutukan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Karenanya, aku tak mungkin bercinta denganmu hanya karena aku ingin. Kamu mengerti bukan, sekarang?"
Juan tertunduk. Ia menahan malu. Ia memang cukup sering memimpikan bisa membangun keluarga bahagia dengan Lana. Tentu dengan anak-anak yang lucu. Tapi mengetahui ini, bagaimana itu bisa menjadi mungkin.Â
"Nah J, sekarang kamu tahu bukan. Mengapa aku tak bisa kamu ajak bepergian semaumu. Atau laranganku padamu selama ini." Tutur Lana lembut.Â
"Lalu bagaimana J? Apakah kamu masih menyukaiku? Apa kamu masih ingin menjalin hubungan denganku?"
Juan masih menunduk. Ia tentu tidak mau memiliki kekasih seorang penyembah setan. Ia masih normal. Ia ingin mencintai wanita tulen, bukan makhluk jadi-jadian.
"Aku tidak bisa. Kamu iblis." Tolak lelaki itu dengan tangan gemetar. Sesungguhnya sudut hatinya teriris mengatakan hal kejam itu. Ia merasa sangat jahat pada gadis yang sangat ia cintai.
Gadis itu tertunduk. Ia tau ia iblis, tapi kata-kata Juan sangat menggores hatinya. Wajah Lana kini membiaskan kekecewaan dan kesedihan. Ia mengerti. Ini sudah menjadi kutukan di keluarganya bahwa mendapatkan pasangan adalah hal yang sangat mustahil.Â
Sesungguhnya Lana tidak mau berharap dengan hubungannya kali ini. Ia pikir ia sudah berhasil. Tapi ternyata ia salah, ia ternyata berharap juga pada Juan. Selama ini hanya Juan yang pantang menyerah menghadapi sifat dingin dan galaknya. Ia sedih tapi bisa mengerti.Â
"Mengerti. Aku akan membiarkanmu hidup. Tapi ketahuilah, jika sekali saja kamu membocorkan rahasiaku. Aku akan melepaskan kepalamu dari tubuhmu. Camkan itu Juan." Ancam Lana terkesan dingin dan tak main-main.
Kemudian Lana mempersilakan Juan untuk pulang. Dengan tunggang langgang Juan tinggalkan rumah itu. Bulu kuduknya masih merinding membayangkan segala hal yang ia lihat barusan. Sesekali ia menengok ke belakang. Melihat kekasihnya yang berdiri di depan pintu dengan raut penuh kesedihan.
Rasa bersalah itu nyata. Sudut hatinya berkedut. Tak terasa air mata mengalir dari sudut matanya. Mengingat saat kencan pertama mereka atau saat mereka berciuman pertama kali. Walau cuek, sejujurnya ia merasakan Lana sangat menyayangi dan menjaganya.Â
Apakah ia terlalu kejam? Tapi bukanlah ia harus realistis dan mengedepankan logika?Â
Malam itu menjadi malam yang aneh untuk Juan. Ia naikan kecepatan mesin mobilnya. Berharap udara malam yang masuk dapat menenangkan pikirannya yang bercabang. Sesekali ia lihat gelang di pergelangan tangannya. Gelang pemberian Lana. Juan terisak. Sendirian di malam itu, ditemani lagu-lagu yang terputar acak di radio.Â
TBC
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H