“Setiap tanggal 9 Maret Kita Merayakan Hari Musik Nasional. Kau tahu alasannya?” Ayahnya menatap tajam, menunggu.
“Ya. Hari lahir W.R. Supratman.”
“Ayah ingin kau menjadi sehebat beliau. Menjadi komponis hebat di usia muda.”
Percakapan itu tak pernah lagi lekang dari ingatannya sejak usia empat tahun, sejak dia pertama kali menyentuh tuts piano takdirnya sudah ditetapkan. Menjadi seorang komponis, sehebat pencipta lagu kebangsaan Indonesia.
Hari-harinya dihabiskan di depan piano melatih kelenturan jemari, mengenal birama atau belajar membaca partitur. Dia melihat teman-teman seusianya bermain dengan gembira. Tak ada kewajiban apapun, lepas dan bebas. Tapi itu bukan hidupnya. Bermain hanyalah impian yang tak mungkin mewujud. Dia memahaminya dengan jalan yang keras.
Siang itu hujan deras, dia mendengar teriakan anak-anak yang bermain di jalan depan rumahnya. Seperti apa rasanya air hujan saat menyentuh kulit? Rasa ingin tahunya bergejolak. Rumah sepi, mungkin ayahnya sedang tidur. Diambilnya kesempatan untuk menyelinap keluar dan merasakan bulir-bulir hujan jatuh di wajah.
Dia berteriak, berputar-putar, tertawa dan menangis bersamaan, saat itulah dia memahami tentang makna kebebasan dan konsekuensi yang harus ditanggungnya. Entah bagaimana ayahnya tiba-tiba sudah merenggut lengannya dan menyeretnya masuk.
Ketika mengantarnya sampai depan pintu ruang kerja ayahnya setelah mandi, perempuan tua yang dipanggilnya simbok itu mengelus kepalanya dan tersenyum. Dengan punggung ditegakkan dia melangkah masuk. Ayahnya berdiri di balik meja kerja dengan tongkat rotan di tangan, hukumannya menunggu.
Duduk di kursi di tengah ruangan kerja yang besar membuatnya seperti makhluk tak berdaya. Tidak, ayahnya tak pernah memukul tangannya. Tangan seorang pianis adalah hidupnya. Hidup ayahnya berakhir saat tangannya terluka akibat kecelakaan, hanya itu yang dia tahu, tak ada penjelasan apapun lagi tentang peristiwa tersebut.
“Kau tahu kenapa diberi nama Daniswara Lokananta?” Sambil terus menunduk dia menggeleng, tak berani menjawab.
“Lokananta adalah alat musik yang hanya bisa dimainkan oleh para kesatria. Dan kau, Daniswara, adalah raja para kesatria.” Pria itu kini berdiri di belakangnya, tangannya mengayunkan tongkat rotan sambil terus berbicara dengan kemarahan yang menggelegar, “Bermain-main hanya untuk rakyat jelata tak berguna! Bukan untuk raja!”
Tubuh kecilnya perih menanggung kemarahan, tapi tak pernah ada penyesalan sedikitpun atas kebebasan singkat yang teramat berarti. Setelah keluar dari ruang kerja ayahnya, seperti biasa simbok memberinya minuman coklat hangat seraya membalur obat di punggungnya yang terluka. Tak ada kata-kata penghiburan, hanya keheningan.
Selain musik dia tak punya teman hingga muncul seorang gadis berambut ikal dengan mata bulat penuh semangat. Gadis yang diperkenalkan sebagai Melody Calista, merupakan siswa pindahan dari Jogja dan mulai bersekolah musik bersamanya.
“Aku bisa membantu mengoles obat di punggungmu.” Sebuah suara mengejutkannya. Calista, bagaimana gadis itu bisa berada di sini? Di pojok sekolah tempatnya bersembunyi?
“Apa yang kau lakukan di sini?” Buru-buru dirapihkannya baju yang tadi tergulung hingga ke pundak saat dia berusaha mengoleskan obat.
“Sama denganmu, melarikan diri. Aku menemukan tempat ini kemarin saat menunggu dijemput. Jadi kupikir ini akan menjadi tempat rahasiaku.”
“Enak saja. Ini milikku. Aku yang menemukannya lebih dulu.”
“Dipakai bersama saja. Bergiliran. Kalau kau menolak akan kuceritakan pada semua orang tentang luka-luka dipunggungmu itu”.
“Jangan berani-berani mengancamku.” Dani membelakangi cahaya matahari sehingga wajahnya nampak semakin menggelap.
“Kenapa aku harus takut padamu?” Gadis itu menantang meski dia terintimidasi oleh tubuh tinggi serta suara berat yang penuh kemarahan. “Ya sudah, aku pergi. Tapi orang-orang akan tahu tempat ini dan juga soal punggungmu itu.” Setelah mengatakan ancamannya sekali lagi, gadis berkuncir ekor kuda itu pun melenggang pergi.
Beraninya gadis itu. Benar-benar sial!
“Ca, tunggu. Oke. Kita berbagi tapi kau hanya kuberi jatah seminggu dua kali saja.”
“Baiklah. Tapi aku yang mengatur waktunya. Kalau aku menginginkan tempat ini kau harus menyingkir.”
Dani mengangguk setuju. Gadis itu tersenyum gembira seolah berhasil memenangkan sebuah pernghargaan internasional.
“Ngomong-ngomong, kenapa kau memanggilku Ca? orang-orang memanggilku Melody.”
“Namamu kan Calista. Aku lebih suka memanggilmu begitu.”
Dikiranya gadis itu akan memprotes seperti sebelumnya namun justru tersenyum dan berkata sebelum benar-benar menghilang dari pandangan,
“Aku juga suka itu”.
Memandang kepergiannya, Dani merasa satu takdir lagi mengikatnya pada gadis periang yang akan sering mengganggu waktu istirahatnya dengan semena-mena menyuruh menyingkir dari goa persembunyiannya.
Beberapa bulan kemudian….
“Kau mau mengusirku lagi? Ini sudah dua kali dalam seminggu. Jatahmu habis”
“Enak saja, minggu lalu aku tak menggunakannya sama sekali. Jadi aku masih punya dua jatah lagi.”
Sejujurnya Dani menikmati saat-saat berdebat dan berdikusi dengan Calista, dia bisa saja terus melawan dengar berbagai argumen. Namun melihat wajah lesu gadis itu membuat Dani tak melanjutkan perdebatannya.
“Kau masih sakit? Wajahmu pucat begitu.”
“Mami memaksaku terus di rumah saja. Aku bosan, tapi ternyata di sekolah juga sama membosankannya.”
Mereka duduk dalam hening beberapa waktu. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Dan, kau jadi mengajukan beasiswa ke RCM*?”
“Ya, itu tiket kebebasanku, Ca. Musik satu-satunya alasan yang bagus untuk lari dari rumah. Kau juga lulus seleksi awal kan?”
“Aku tak akan mengambilnya. Kupikir aku akan terpenjara di kota ini selamanya. Bahkan musik sepertinya tak bisa menjadi tiketku lari dari rumah. Kau juga tahu umurku takkan panjang.”
Dani tahu, dengan penyakit jantung bawaan yang diderita Calista sejak kecil tak memungkinkannya jauh dari rumah dan dapat merenggut nyawanya sewaktu-waktu.
“Berjanjilah satu hal padaku, Ca. Teruslah berusaha sembuh dan tetap berlatih piano. Aku akan menyiapkan sebuah Cadenza untukmu.”
Gadis itu berbalik menatapnya. Matanya membulat. “Kau akan menciptakan sebuah simfoni yang indah kan? Aku tahu kau akan menjadi seorang komponis hebat. Kau terlalu mencintai musik.”
“Entahlah. Aku tak tahu apa aku mencintainya atau justru membencinya. Musiklah yang membuatku terpenjara oleh ambisi ayahku. Namun musik juga yang membebaskan jiwaku dari semua belenggu kehidupan. Tempatku melarikan diri dari kenyataan.”
“Kau membenci ayahmu?”
“Apa kau tahu rasanya membenci sekaligus mencintai sesuatu atau seseorang? Aku benar-benar tak tahu harus merasa seperti apa, Ca. Sejak kecil hanya ada kami berdua. Aku bahkan tak tahu dimana ibuku apakah masih hidup atau tidak. Tak ada yang mau memberiku informasi apapun.”
“Yah, kita sama-sama terpenjara. Kau oleh musik dan ayahmu, sementara aku oleh penyakit dan keluargaku.”
“Kita hanya harus bertahan, Ca. Bersama-sama sampai saatnya kau memainkan Cadenza yang kupersiapkan untukmu. Janji, ya.” Dani menyodorkan jari kelingkingnya yang disambut oleh Calista. “Janji”.
Gedung Kesenian Jakarta Beberapa Tahun Kemudian
Matanya nanar menatap dari balik tirai panggung, kursi pengunjung semakin penuh artinya sebentar lagi pertunjukkan akan dimulai. Jari-jarinya dingin dan gemetar. Jelas ini bukan pertunjukkan pertamanya di atas panggung, dia bahkan pernah melakukannya di depan penonton yang lebih banyak. Namun malam ini terasa istimewa mengingat yang dipentaskan adalah sebuah simfoni karya “Daniswara Lokananta”.
Saat pembukaan seorang Master of Ceremony menjelaskan tentang sang komponis. “Selama bertahun-tahun komponis muda ini telah mengibarkan namanya di manca negara. Kali ini masyarakat Indonesia mendapat kesempatan menikmatinya secara langsung.”
“Apa kau sudah siap?”
Seseorang bertanya kepadanya, membuatnya fokusnya beralih. “Ya, aku siap”.
Orang itu mengangguk dan meninggalkannya sendirian lagi. Pagelaran simfoni membutuhkan banyak pemain dan alat musik. Situasi di belakang panggung sebelum pementasan hiruk pikuk. Beberapa musisi berlatih bersama menyesuaikan nada, sementara yang lainnya sibuk merapikan penampilan atau hanya mondar-mandir berusaha mengatasi kegugupan.
Tak ada yang memerhatikannya diam di sebuah sudut gelap berusaha mengumpulkan semua kekuatannya untuk pementasan pembukaan malam itu. Berusaha mengatur jari-jarinya agar mau bekerjasama.
Malam ini begitu penting karena sebuah Cadenza membutuhkan pemain piano yang bisa mewujudkan karya itu dalam harmoni sepenuh jiwa. Hanya dia dan satu orang lain yang paling memahaminya. Satu orang terpenting yang seharusnya ada di sini memenuhi janjinya.
Dante, promotor pagelaran musik ini memanggilnya tadi. “Ayahnya menelepon kalau dia sudah pergi untuk selamanya. Kecelakaan merenggut nyawanya sebelum sampai ke sini.” Tulang di tubuhnya seperti tak kuat lagi menyangga beban, tubuhnya lemas.
Suara Dante serak menahan kesedihan. “Lakukan yang terbaik. Persembahkan malam ini untuk mengenangnya.”
Ketika jemarinya memulai nada pertama air matanya pun luruh. Dia tak menyadari kalau semuanya sudah selesai hingga terdengar suara tepuk tangan bergemuruh menggema di langit-langit gedung pertunjukan.
Dengan sisa kekuatan dia berdiri dan memberi hormat. “Apakah kau tahu rasanya mencintai dan membenci secara bersamaan?” Sekarang, di hadapan ratusan penonton dia tahu jawabannya. Dia tahu rasanya mencintai selama hidupnya dan membencinya karena pergi tiba-tiba seperti ini. Selamat jalan Daniswara Lokananta. Sampai bertemu lagi, Cinta.
Cerpen ini merupakan akhir dari estafet tiga tulisan grup Penulis Bahagia. Sebelumnya sudah ada mas Topik Irawan dan Refika Artari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H