Tubuh kecilnya perih menanggung kemarahan, tapi tak pernah ada penyesalan sedikitpun atas kebebasan singkat yang teramat berarti. Setelah keluar dari ruang kerja ayahnya, seperti biasa simbok memberinya minuman coklat hangat seraya membalur obat di punggungnya yang terluka. Tak ada kata-kata penghiburan, hanya keheningan.
Selain musik dia tak punya teman hingga muncul seorang gadis berambut ikal dengan mata bulat penuh semangat. Gadis yang diperkenalkan sebagai Melody Calista, merupakan siswa pindahan dari Jogja dan mulai bersekolah musik bersamanya.
“Aku bisa membantu mengoles obat di punggungmu.” Sebuah suara mengejutkannya. Calista, bagaimana gadis itu bisa berada di sini? Di pojok sekolah tempatnya bersembunyi?
“Apa yang kau lakukan di sini?” Buru-buru dirapihkannya baju yang tadi tergulung hingga ke pundak saat dia berusaha mengoleskan obat.
“Sama denganmu, melarikan diri. Aku menemukan tempat ini kemarin saat menunggu dijemput. Jadi kupikir ini akan menjadi tempat rahasiaku.”
“Enak saja. Ini milikku. Aku yang menemukannya lebih dulu.”
“Dipakai bersama saja. Bergiliran. Kalau kau menolak akan kuceritakan pada semua orang tentang luka-luka dipunggungmu itu”.
“Jangan berani-berani mengancamku.” Dani membelakangi cahaya matahari sehingga wajahnya nampak semakin menggelap.
“Kenapa aku harus takut padamu?” Gadis itu menantang meski dia terintimidasi oleh tubuh tinggi serta suara berat yang penuh kemarahan. “Ya sudah, aku pergi. Tapi orang-orang akan tahu tempat ini dan juga soal punggungmu itu.” Setelah mengatakan ancamannya sekali lagi, gadis berkuncir ekor kuda itu pun melenggang pergi.
Beraninya gadis itu. Benar-benar sial!
“Ca, tunggu. Oke. Kita berbagi tapi kau hanya kuberi jatah seminggu dua kali saja.”