Peran Cardinal Virtue dalam Pemeriksaan Pasal 17C UU KUP
Pendahuluan
Dalam sistem perpajakan Indonesia, mekanisme pemeriksaan pajak diatur secara ketat melalui Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) untuk menjamin akuntabilitas, transparansi, dan keadilan dalam interaksi antara pemerintah dan wajib pajak. Pasal 17C UU KUP memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan terhadap hasil pemeriksaan pajak yang dirasa kurang sesuai atau tidak adil. Dengan demikian, keberadaan Pasal 17C mencerminkan upaya pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada wajib pajak dalam mengoreksi atau mempertanyakan hasil penetapan pajak yang dianggap kurang tepat. Ini merupakan langkah penting dalam menjaga kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan dan keadilan administrasi perpajakan.
Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan standar etika yang tinggi dari petugas pajak yang melakukan pemeriksaan. Dalam hal ini, penerapan Cardinal Virtue atau Keutamaan Kardinal yang diperkenalkan oleh St. Thomas Aquinas---yang meliputi Prudence (kebijaksanaan), Temperance (kesederhanaan), Fortitude (ketabahan), dan Justice (keadilan)---dapat menjadi pedoman yang penting dalam proses pemeriksaan pajak. Cardinal Virtue tidak hanya berfungsi sebagai konsep abstrak dalam etika, tetapi dapat diterapkan dalam situasi nyata, di mana petugas pajak harus berinteraksi dengan wajib pajak secara profesional dan obyektif. Prinsip-prinsip ini dapat mendukung petugas pajak dalam menghadapi tantangan-tantangan di lapangan, seperti konflik kepentingan, tekanan dari wajib pajak, dan tantangan lainnya yang bisa berdampak pada integritas proses pemeriksaan.
Cardinal Virtue: Konsep dan Penerapannya dalam Pemeriksaan Pajak
Keutamaan Kardinal adalah konsep etis yang berakar dari filsafat Yunani dan dikembangkan oleh filsuf dan teolog Kristen, St. Thomas Aquinas. Konsep ini mengidentifikasi empat kebajikan utama yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, khususnya dalam situasi yang melibatkan penilaian moral atau keputusan yang kompleks. Berikut adalah pembahasan lebih rinci mengenai setiap kebajikan ini serta relevansinya dalam konteks pemeriksaan pajak.
Menurut Aquinas, keutamaan kardinal ini adalah kebajikan-kebajikan mendasar yang memandu seseorang dalam mengambil keputusan moral dan bertindak dengan tepat dalam menghadapi situasi yang kompleks atau penuh tekanan. Dalam pemeriksaan pajak, keutamaan-keutamaan ini memberikan kerangka kerja bagi petugas pajak untuk bertindak dengan bijaksana, adil, dan tidak memihak, yang pada akhirnya dapat mendukung penerapan Pasal 17C dan memastikan bahwa pemeriksaan pajak dilakukan dengan integritas tinggi dan profesionalisme yang mendalam.
1. Prudence (Kebijaksanaan atau Kemampuan Bernalar)
Prudence adalah kemampuan untuk membuat keputusan dengan bijaksana berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman mendalam terhadap situasi yang dihadapi. Dalam pemeriksaan pajak, petugas pajak sering kali dihadapkan pada data-data finansial dan informasi kompleks yang memerlukan analisis mendalam dan penilaian yang hati-hati. Prudence menuntut petugas untuk memiliki pengetahuan yang kuat tentang peraturan perpajakan, serta memahami situasi dan konteks dari setiap kasus yang dihadapi.
Dalam konteks ini, Prudence dapat dijabarkan lebih lanjut melalui beberapa aspek:
Pemahaman Regulasi yang Mendalam: Petugas pemeriksa pajak harus memiliki pemahaman mendalam tentang peraturan perpajakan yang berlaku, termasuk UU KUP, dan pengetahuan terkait Pasal 17C. Dengan pemahaman ini, petugas akan mampu menilai kasus dengan obyektif dan tidak terburu-buru dalam menilai kebenaran atau kesalahan laporan pajak yang disampaikan oleh wajib pajak. Sebagai contoh, dalam interpretasi undang-undang atau kebijakan pajak tertentu, Prudence menjadi penting untuk memastikan bahwa penilaian didasarkan pada pemahaman hukum yang benar dan tepat.
Analisis Berdasarkan Bukti: Dalam pemeriksaan pajak, petugas harus melakukan analisis berdasarkan data yang tersedia. Prudence membantu petugas untuk menghindari kesimpulan yang didasarkan pada asumsi atau intuisi semata. Misalnya, ketika menghadapi kasus yang kompleks atau data yang tidak lengkap, petugas harus bersikap hati-hati dan mengutamakan bukti sebelum memberikan penilaian.
Perencanaan dan Konsultasi yang Baik: Dalam beberapa kasus, penting bagi petugas untuk melakukan konsultasi dengan tim atau ahli lainnya sebelum mengambil keputusan. Konsultasi ini dapat meningkatkan kualitas hasil pemeriksaan dan membantu petugas untuk memahami permasalahan dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, petugas tidak hanya mengandalkan pandangan pribadi, tetapi juga mendapatkan masukan yang berharga dari pihak lain.
Dalam pemeriksaan pajak, kebijaksanaan ini diwujudkan melalui beberapa tahapan, antara lain:
- Analisis mendalam terhadap data wajib pajak: Sebelum mengambil keputusan, petugas harus menganalisis data keuangan yang disediakan oleh wajib pajak dan menilai kesesuaiannya dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Analisis ini mencakup pemeriksaan terhadap laporan keuangan, transaksi, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya yang disajikan wajib pajak.
- Konsultasi dan diskusi dengan tim: Kebijaksanaan juga berarti bersedia menerima masukan atau pandangan dari rekan kerja atau ahli lainnya. Dalam proses pemeriksaan, keputusan yang bijak sering kali membutuhkan pandangan yang beragam untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik dan paling adil.
- Evaluasi risiko dan dampak: Prudence juga menuntut petugas untuk mempertimbangkan risiko atau dampak dari setiap keputusan yang diambil, baik terhadap wajib pajak maupun terhadap DJP. Misalnya, keputusan yang terlalu keras dapat menimbulkan konflik dengan wajib pajak, sementara keputusan yang terlalu lunak dapat merugikan negara.
Penerapan kebijaksanaan dalam pemeriksaan pajak membantu petugas untuk menghindari kesalahan penilaian yang bisa berdampak negatif terhadap wajib pajak maupun DJP. Dengan mempertimbangkan setiap aspek secara cermat, petugas pajak dapat menghasilkan keputusan yang obyektif dan berkeadilan.
2. Temperance (Kesederhanaan atau Pengendalian Diri)
Temperance atau kesederhanaan mengacu pada kemampuan untuk mengendalikan diri, baik dalam hal emosi, perilaku, maupun keputusan. Dalam pemeriksaan pajak, petugas sering kali dihadapkan pada situasi yang menantang, seperti konflik dengan wajib pajak atau tekanan dari pihak eksternal. Dengan memiliki sikap yang sederhana dan terkendali, petugas dapat menghindari tindakan yang tergesa-gesa atau keputusan yang emosional.
Penerapan Temperance dalam konteks pemeriksaan pajak meliputi:
Menjaga Obyektivitas dalam Situasi Konflik: Dalam beberapa kasus, wajib pajak mungkin tidak setuju dengan hasil pemeriksaan dan mengajukan keberatan. Dalam situasi ini, petugas harus tetap tenang dan tidak terbawa emosi. Sebaliknya, petugas harus bersikap profesional, mendengarkan argumen wajib pajak, dan merespons dengan bukti dan data yang obyektif.
Menghindari Keberpihakan atau Bias: Temperance membantu petugas untuk tetap bersikap netral dan tidak memihak. Dalam proses pemeriksaan, petugas harus dapat mengendalikan diri dan tidak menunjukkan keberpihakan terhadap pihak tertentu, baik itu wajib pajak maupun otoritas pajak.
Fokus pada Fakta dan Bukti: Sikap sederhana dan terkendali membuat petugas tidak terpengaruh oleh tekanan eksternal atau asumsi yang tidak berdasar. Dalam pemeriksaan pajak, penting bagi petugas untuk fokus pada data dan bukti yang valid daripada spekulasi atau dugaan.
Pengendalian diri dalam konteks pemeriksaan pajak bisa diwujudkan dalam beberapa bentuk, antara lain:
- Menghindari bias atau keberpihakan: Dalam proses pemeriksaan, petugas harus dapat menjaga obyektivitas dan tidak membiarkan perasaan pribadi memengaruhi keputusan. Temperance membantu petugas untuk bersikap netral dan obyektif, serta menghindari keberpihakan terhadap pihak tertentu, baik itu wajib pajak maupun institusi DJP.
- Menjaga ketenangan dalam situasi konflik: Seringkali dalam pemeriksaan pajak, terjadi perdebatan antara petugas dan wajib pajak mengenai interpretasi peraturan atau penghitungan pajak. Dalam situasi seperti ini, penting bagi petugas untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh emosi. Sikap yang tenang dapat menciptakan suasana yang lebih produktif dan membantu dalam menemukan solusi yang adil bagi kedua belah pihak.
- Fokus pada fakta dan bukti: Temperance juga berarti petugas harus fokus pada fakta dan bukti yang ada, bukan pada asumsi atau spekulasi. Dengan berfokus pada fakta, petugas dapat memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks pemeriksaan Pasal 17C, pengendalian diri menjadi sangat penting karena petugas dituntut untuk tetap bersikap profesional meskipun menghadapi perlawanan atau keberatan dari wajib pajak. Dengan mengedepankan sikap sederhana dan terkendali, proses pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar dan hasil yang dicapai akan lebih obyektif.
3. Fortitude (Ketabahan atau Keberanian)
Fortitude atau ketabahan mengacu pada ketahanan dan keberanian dalam menghadapi tantangan atau hambatan. Dalam pemeriksaan pajak, petugas sering kali dihadapkan pada berbagai kendala, seperti data yang tidak lengkap, wajib pajak yang tidak kooperatif, atau situasi hukum yang kompleks. Fortitude memungkinkan petugas untuk tetap konsisten dalam menjalankan tugasnya meskipun dihadapkan pada situasi yang sulit.
Beberapa contoh penerapan Fortitude dalam pemeriksaan pajak meliputi:
- Ketekunan dalam mengumpulkan bukti: Petugas sering kali harus melakukan pemeriksaan mendalam dan mengumpulkan bukti tambahan untuk memastikan bahwa setiap aspek telah diperiksa dengan benar. Ketabahan dalam mengumpulkan bukti sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar didasarkan pada fakta yang valid.
- Keberanian untuk menegakkan aturan: Fortitude juga berarti petugas harus memiliki keberanian untuk menegakkan aturan, meskipun menghadapi tekanan dari wajib pajak atau pihak lain. Petugas yang memiliki ketabahan akan lebih mampu menegakkan peraturan dengan konsisten, tanpa terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau eksternal.
- Kemampuan untuk menyelesaikan tugas hingga tuntas: Fortitude memungkinkan petugas untuk tetap fokus dan bersemangat dalam menyelesaikan proses pemeriksaan hingga tuntas, meskipun menghadapi hambatan atau tantangan. Ketabahan ini membantu menjaga kualitas hasil pemeriksaan serta memastikan bahwa tidak ada aspek yang terabaikan.
Dalam konteks pemeriksaan Pasal 17C, ketabahan menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap keberatan dari wajib pajak dihadapi dengan kepala dingin dan profesionalisme. Dengan memiliki ketabahan, petugas dapat mengatasi berbagai tantangan dalam proses pemeriksaan dan memastikan bahwa hasil akhir tetap obyektif.
4. Justice (Keadilan)
Justice atau keadilan adalah prinsip utama dalam Cardinal Virtue yang mengarahkan petugas pajak untuk berlaku adil dan tidak memihak dalam setiap keputusannya. Justice dalam pemeriksaan pajak berarti bahwa petugas harus menilai setiap kasus dengan obyektif, mempertimbangkan hak-hak wajib pajak, dan memastikan bahwa hasil pemeriksaan mencerminkan keadilan bagi semua pihak.
Beberapa bentuk penerapan Justice dalam pemeriksaan pajak antara lain:
- Memastikan hak-hak wajib pajak dihormati: Justice menuntut petugas untuk memperhatikan hak-hak wajib pajak, termasuk hak untuk mengajukan keberatan dan hak untuk mendapatkan penjelasan atas hasil pemeriksaan.
- Memberikan penilaian yang obyektif dan transparan: Justice juga berarti petugas harus transparan dalam proses pemeriksaan dan memberikan penilaian yang obyektif berdasarkan bukti dan peraturan yang berlaku.
- Menghindari tindakan diskriminatif atau favoritisme: Justice menuntut petugas untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap wajib pajak atau memberikan perlakuan yang berbeda berdasarkan faktor yang tidak relevan.
Dalam konteks Pasal 17C, Justice menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa proses pemeriksaan dilakukan secara obyektif dan transparan. Dengan menerapkan prinsip keadilan, DJP dapat meningkatkan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan dan mendorong kepatuhan yang lebih tinggi.
Kesimpulan
Dalam mekanisme pemeriksaan pajak sesuai Pasal 17C UU KUP, penerapan Cardinal Virtue oleh petugas pajak dapat meningkatkan kualitas dan integritas proses pemeriksaan. Prudence, Temperance, Fortitude, dan Justice masing-masing memberikan pedoman yang membantu petugas untuk bertindak obyektif, profesional, dan berkeadilan. Dengan menerapkan keutamaan ini, petugas pajak dapat memastikan bahwa proses pemeriksaan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip etika, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan dan kepatuhan wajib pajak terhadap sistem perpajakan Indonesia.
Daftar Pustaka
- Aquinas, T. (1981). Summa Theologica.
- Huda, N. (2021). Etika Profesi dalam Pemeriksaan Pajak. Jakarta: Penerbit Media Tax.
- Mulyadi, D. (2020). Panduan Pemeriksaan Pajak Berbasis Etika. Jakarta: Lembaga Studi Pajak.
- Republika Indonesia. (2020). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Jakarta: Lembaga Pemerintah.
- Direktorat Jenderal Pajak. (2022). Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak. Jakarta: Kementerian Keuangan.
- Ghozali, H. (2021). Teori Moral dalam Praktik Perpajakan. Jakarta: Pustaka Profesional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H