Padahal jika mau memeriksa keterkaitan antar data tadi, akan nampak jelas bahwa angka 3 juta untuk membayar seragam itu tidak masuk akal. Begitupun top-up dengan nilai ratusan ribu untuk kembali berupa reward seharga ratusan juta adalah perhitungan yang tidak rasional.
Faktanya hingga tulisan ini disusun, masih ada orang-orang yang terlibat dalam kasus-kasus itu yang menganggap tidak ada kesalahan dalam praktik mereka.
Dalam perspektif 'emotional innumeracy', dijelaskan bahwa ketika kita keliru memahami realitas sosial, akan ada hukum sebab-akibat yang mengikutinya.
Tentu menjadi pertanyaan: apakah para korban kasus itu bersedia mengeluarkan sejumlah uang karena percaya pada kisah / skema yang ditawarkan, atau mereka percaya karena sudah mengeluarkan sejumlah uang?
Sedikit banyak kedua skenario itulah yang terjadi, membentuk lingkaran mispersepsi yang semakin sulit dipatahkan.
Terakhir, semua informasi kabur ini disampaikan oleh leader kharismatik dan memiliki gaya komunikasi menarik. Testimoni dari saksi menyebutkan "raja" keraton agung cenderung melebih-lebihkan ketika melakukan persuasi kepada calon pengikut, sementara para member investasi juga menggambarkan leader mereka sebagai "guru" yang memiliki ide-ide visioner. Â
Aspek emosi ini yang kemungkinan menjadi kunci lumpuhnya nalar sehingga enggan memeriksa data. Dalam situasi normal, nalar dan data biasanya bekerja dengan sinergis. Nalar memeriksa data, dan data memperkuat nalar. Proses ini akan sulit terjadi ketika emosi mengambil alih kendali.
Sistem berpikir semacam ini dijelaskan oleh peraih nobel Daniel Kahneman (2011) sebagai mode fast-thinking, ditandai dengan karakteristik intuitive, associative, automatic, dan impressionistic.
Mode ini melihat informasi hanya dari kulit terluarnya saja. Karena cara kerjanya yang kurang dapat dikontrol, seringkali dari sinilah muncul penilaian (judgement) dan respon-respon reaktif pada proses pengambilan keputusan. Pikiran manusia menjadi mudah mengasosiasikan informasi satu dengan lainnya padahal sebenarnya informasi itu tidak saling berhubungan.
"Jika ia menyampaikan hal ini benar adanya, maka benar juga untuk hal lainnya",
"Ia kharismatik, maka ia kompeten dan bertanggung jawab"