Kedua, Anda bisa saja merasakan unsur emosional yang lebih kuat jika berkaitan tentang pencapaian manusia dalam jutaan tahunnya berkoloni di bumi.Â
Anda ingin mempercayainya karena kemungkinan itu begitu mengagumkan -- dan respon emosional ini mudah sekali mengubah persepsi manusia dari realitas sesungguhnya.Â
Hal ini bukan berarti faktor emosi "mengganggu" rasionalitas pikiran. Serangkaian studi dalam bidang afektif justru menunjukkan peran emosi yang saling bersilangan dengan faktor kognisi dalam memahami lingkungan yang kompleks. Namun, hal ini sulit terjadi ketika kita melihat data yang tumpang-tindih dalam waktu singkat.
Dan ketiga, pada dasarnya otak manusia memang harus berjuang "lebih keras" dalam memahami angka, matematika, dan konsep statistik.
Meskipun Anda pernah membaca bahwa panjang Tembok Besar Cina adalah 5.500 mil dengan titik tertinggi 26 kaki, data ini tidak serta merta mampu diterjemahkan ke dalam bentuk yang komprehensif.
Studi yang dilakukan Royal Statistical Society di United Kingdom menemukan bahwa manusia lebih menaruh perhatian pada penguasaan kata-kata daripada angka.
Lebih lanjut lagi, ketika ditanyakan pada orangtua, hanya 13% yang menyatakan bangga pada pencapaian anak mereka pada kemampuan matematika, sementara 55% lainnya menyatakan lebih bangga pada kemampuan membaca dan menulis anak.
Frame yang sama dapat digunakan untuk melihat dua kasus yang menjadi narasi awal tulisan ini. Informasi yang dihimpun penulis dari beberapa media menunjukkan tidak adanya data riil dan akurat yang menjawab : how, when, who, why, where .
Sebelum seseorang bergabung dalam komunitas atau kegiatan tertentu, idealnya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dasar ini berfungsi sebagai pengaman.Â
Kalaupun ada informasi spesifik yang tersedia, seperti iuran keanggotaan sebesar 3 -30 juta rupiah untuk menjadi pengikut kerajaan, atau besaran top-up tertentu sebagai bentuk investasi member, angka-angka itu bisa jadi tidak terlalu diberi makna oleh penerima informasinya.