Mohon tunggu...
Ega Asnatasia Maharani
Ega Asnatasia Maharani Mohon Tunggu... Dosen - A wanderer soul

Psikolog, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) bidang Clinical Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Persepsi, Sebuah Dialog antara Nalar dan Data

19 Januari 2020   15:46 Diperbarui: 21 Januari 2020   04:47 3405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (idwriters.com)

Padahal jika mau memeriksa keterkaitan antar data tadi, akan nampak jelas bahwa angka 3 juta untuk membayar seragam itu tidak masuk akal. Begitupun top-up dengan nilai ratusan ribu untuk kembali berupa reward seharga ratusan juta adalah perhitungan yang tidak rasional.

Faktanya hingga tulisan ini disusun, masih ada orang-orang yang terlibat dalam kasus-kasus itu yang menganggap tidak ada kesalahan dalam praktik mereka.

Dalam perspektif 'emotional innumeracy', dijelaskan bahwa ketika kita keliru memahami realitas sosial, akan ada hukum sebab-akibat yang mengikutinya.

Tentu menjadi pertanyaan: apakah para korban kasus itu bersedia mengeluarkan sejumlah uang karena percaya pada kisah / skema yang ditawarkan, atau mereka percaya karena sudah mengeluarkan sejumlah uang?

Sedikit banyak kedua skenario itulah yang terjadi, membentuk lingkaran mispersepsi yang semakin sulit dipatahkan.

Terakhir, semua informasi kabur ini disampaikan oleh leader kharismatik dan memiliki gaya komunikasi menarik. Testimoni dari saksi menyebutkan "raja" keraton agung cenderung melebih-lebihkan ketika melakukan persuasi kepada calon pengikut, sementara para member investasi juga menggambarkan leader mereka sebagai "guru" yang memiliki ide-ide visioner.  

Aspek emosi ini yang kemungkinan menjadi kunci lumpuhnya nalar sehingga enggan memeriksa data. Dalam situasi normal, nalar dan data biasanya bekerja dengan sinergis. Nalar memeriksa data, dan data memperkuat nalar. Proses ini akan sulit terjadi ketika emosi mengambil alih kendali.

Sistem berpikir semacam ini dijelaskan oleh peraih nobel Daniel Kahneman (2011) sebagai mode fast-thinking, ditandai dengan karakteristik intuitive, associative, automatic, dan impressionistic.

Mode ini melihat informasi hanya dari kulit terluarnya saja. Karena cara kerjanya yang kurang dapat dikontrol, seringkali dari sinilah muncul penilaian (judgement) dan respon-respon reaktif pada proses pengambilan keputusan. Pikiran manusia menjadi mudah mengasosiasikan informasi satu dengan lainnya padahal sebenarnya informasi itu tidak saling berhubungan.

"Jika ia menyampaikan hal ini benar adanya, maka benar juga untuk hal lainnya",

"Ia kharismatik, maka ia kompeten dan bertanggung jawab"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun