Mohon tunggu...
Ega Asnatasia Maharani
Ega Asnatasia Maharani Mohon Tunggu... Dosen - A wanderer soul

Psikolog, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) bidang Clinical Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Persepsi, Sebuah Dialog antara Nalar dan Data

19 Januari 2020   15:46 Diperbarui: 21 Januari 2020   04:47 3405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya manusia juga memiliki mode berpikir slow-thinking ditandai dengan karakteristik yang lebih memerlukan usaha, runtut, dan membutuhkan perhatian pada tingkat yang lebih tinggi. Pengambilan keputusan idealnya menggunakan mode slow-thinking karena proses ini lebih reliabel dalam memahami titik temu antar data.

Sayangnya mode ini juga memiliki kecenderungan mudah lelah, sehingga seringkali menerima begitu saja informasi yang disampaikan mode fast-thinking.

Bisa dibayangkan ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang membutuhkan analisis numerik untuk membuat keputusan yang baik seperti pada kasus di atas, otaknya justru melompati serangkaian proses berpikir logis dan langsung membuat kesimpulan. 

Tanpa sadar, pikiran sedang melakukan confirmation bias -- proses seleksi informasi agar hanya informasi yang memiliki kesesuaian dengan kepercayaan awalnya saja yang diterima sebagai kebenaran.

Jika dari awal mereka sudah percaya pada sosok pemberi informasi atau pada klaim-klaim yang ditawarkan, maka selanjutnya pikiran hanya akan menerima informasi yang mendukung kepercayaan itu.

Kedua kasus ini pada akhirnya bisa menjadi contoh sempurna bahwa kemampuan literasi dan numerik memang saling berkorelasi satu sama lain. Literasi bukan sekedar membaca dan numerik bukan sekedar menghitung.

Lebih lanjut lagi kedua kemampuan itu bertujuan membangun nalar yang sehat sehingga mampu memahami konsep di balik simbol-simbol huruf dan angka. 

Literasi numerasi sebagai salah satu kemampuan dasar akan memungkinkan seseorang mengakses informasi lebih luas karena terkait dengan hampir semua lini kehidupan.

Baru-baru ini laporan dari Programme for International Student Assesment (PISA) 2018 justru kembali menyadarkan kita tentang rendahnya kemampuan siswa Indonesia dalam hal matematika, sains, dan literasi. Penurunan skor bahkan sudah menunjukkan trend sejak beberapa periode asesmen sebelumnya.

Jika sejak di bangku sekolah anak-anak memang kurang dibekali kemampuan menganalisis bacaan dan angka, di masa dewasapun mereka akan kesulitan mengaplikasikannya.

Fakta ini mestinya bukan hanya menjadi salah satu tolak ukur kualitas pendidikan Indonesia, namun bisa jadi adalah muara dari banyaknya kasus 'kelumpuhan nalar' yang terus menerus terjadi.

Ega Asnatasia Maharani- Akademisi, Psikolog

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun