Sebenarnya manusia juga memiliki mode berpikir slow-thinking ditandai dengan karakteristik yang lebih memerlukan usaha, runtut, dan membutuhkan perhatian pada tingkat yang lebih tinggi. Pengambilan keputusan idealnya menggunakan mode slow-thinking karena proses ini lebih reliabel dalam memahami titik temu antar data.
Sayangnya mode ini juga memiliki kecenderungan mudah lelah, sehingga seringkali menerima begitu saja informasi yang disampaikan mode fast-thinking.
Bisa dibayangkan ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang membutuhkan analisis numerik untuk membuat keputusan yang baik seperti pada kasus di atas, otaknya justru melompati serangkaian proses berpikir logis dan langsung membuat kesimpulan.Â
Tanpa sadar, pikiran sedang melakukan confirmation bias -- proses seleksi informasi agar hanya informasi yang memiliki kesesuaian dengan kepercayaan awalnya saja yang diterima sebagai kebenaran.
Jika dari awal mereka sudah percaya pada sosok pemberi informasi atau pada klaim-klaim yang ditawarkan, maka selanjutnya pikiran hanya akan menerima informasi yang mendukung kepercayaan itu.
Kedua kasus ini pada akhirnya bisa menjadi contoh sempurna bahwa kemampuan literasi dan numerik memang saling berkorelasi satu sama lain. Literasi bukan sekedar membaca dan numerik bukan sekedar menghitung.
Lebih lanjut lagi kedua kemampuan itu bertujuan membangun nalar yang sehat sehingga mampu memahami konsep di balik simbol-simbol huruf dan angka.Â
Literasi numerasi sebagai salah satu kemampuan dasar akan memungkinkan seseorang mengakses informasi lebih luas karena terkait dengan hampir semua lini kehidupan.
Baru-baru ini laporan dari Programme for International Student Assesment (PISA) 2018 justru kembali menyadarkan kita tentang rendahnya kemampuan siswa Indonesia dalam hal matematika, sains, dan literasi. Penurunan skor bahkan sudah menunjukkan trend sejak beberapa periode asesmen sebelumnya.
Jika sejak di bangku sekolah anak-anak memang kurang dibekali kemampuan menganalisis bacaan dan angka, di masa dewasapun mereka akan kesulitan mengaplikasikannya.
Fakta ini mestinya bukan hanya menjadi salah satu tolak ukur kualitas pendidikan Indonesia, namun bisa jadi adalah muara dari banyaknya kasus 'kelumpuhan nalar' yang terus menerus terjadi.