Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Posting Ungkapan Dukacita Nanggala 402, tapi Disusupi Promosi Jualan

27 April 2021   13:56 Diperbarui: 28 April 2021   14:38 1409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ungkapan dukacita mengalir kepada korban tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 di perairan Bali. Tragedi yang menyisakan duka dan pelajaran.

Salah satu yang menjadi perhatian adalah pentingnya peremajaan alutsista Indonesia. Di sisi lain, tenggelamnya KRI Nanggala 402 menyisakan pelajaran kepada lembaga, organisasi atau perusahaan dalam menyampaikan pesan belasungkawa.

Kemarin, warganet di Twitter sedang membahas postingan akun salah satu cafe dalam menyampaikan ungkapan dukacita atas tragedi KRI Nanggala 402. Sorotan bukan pada pemilihan kata atau bahasa yang digunakan, melainkan adanya dugaan bahwa postingan belasungkawa punya maksud untuk promosi usaha.

Wow! Dugaan tersebut tentu hal yang mengejutkan, terlebih ada ratusan komentar yang membahasnya. Artinya, pembacaan kritis warganet sudah sejauh itu. Mereka mampu mencari makna melampaui apa yang terlihat.

Apa pokok masalahnya? Cafe tersebut dalam ungkapan belasungkawa turut mencantumkan logo, alamat lokasi usaha, akun Instagram dan jam operasional cafe. 

Singkatnya, postingan cafe ini dianggap hendak melakukan paparan iklan, mempromosikan pesan brand dengan memanfaatkan momentum Nanggala 402 yang saat ini menjadi perhatian banyak orang.

Sebagaimana fenomena serupa yang sudah-sudah, pembahasan tersebut menimbulkan perdebatan panjang. Ada pro dan kontra.

Saya sendiri berprasangka baik, admin atau pemilik cafe benar-benar memiliki niat tulus untuk menyampaikan ungkapan belasungkawa. 

Mungkin manajemen cafe kurang menyadari bahwa konten dukacita memiliki batasan dan rambu-rambu yang harus diperhatikan. Pembela lainnya memberi contoh bahwa banyak brand besar juga melakukan hal serupa dalam menyampaikan pesan dukacita. 

Akan tetapi patokan baik atau buruknya bukan merujuk brand besar. Sebab perusahaan besar sekalipun bisa tergelincir akibat muatan iklan mereka.

Masalah ini adalah bagian dari etika bisnis ketika terjadi bencana. Kondisinya sama seperti masa-masa awal pandemi. 

Saat diumumkan bahwa masker dapat mencegah penularan virus corona, orang-orang pun berebut mencari masker. Mendadak persediaan masker terbatas yang dimanfaatkan sejumlah orang untuk menaikkan harga jualnya berkali-kali lipat.

Cara buruk itu berlaku juga dalam periklanan. Sekilas terdapat benang tipis antara ketulusan otentik dan kepentingan tertentu dalam menyampaikan ungkapan belasungkawa.

"Memanfaatkan tragedi sebagai sarana demi mendapatkan beberapa klik murah adalah bentuk buruk dan sangat memungkinkan menimbulkan tanggapan negatif," tulis Andrew Hutchinson, manager konten dan media sosial di Social Media Today.

Andrew mengatakan memanfaatkan topik yang sedang trend memang sangat menyenangkan karena tak perlu bersusah payah memikirkan topik kreatif, namun bisa menjadi menakutkan jika salah langkah untuk dihujat dan dikritik banyak orang.

Berikut ini rangkuman beberapa saran bagi brand ketika menyampaikan ungkapan belasungkawa di media sosial:

1. Hindari penambahan logo dalam postingan
2. Hindari penggunaan pesan yang tepat sasaran
3. Tak boleh mencari sudut pandang lain yang relevan dengan tragedi. Mungkin menjadi tak masuk akal ketika suatu bisnis suku cadang mobil ikut mengomentari tragedi yang jauh dari usaha tersebut.

Untuk poin nomor 1 dan 3, Andrew menyarankan untuk menggunakan akun medsos pribadi bila ingin menyampaikan belasungkawa.

Poin penting lainnya dapat ditemukan dalam tulisan Russ Shumaker, marketing expert dan copywriter di laman marketing.sfgate.com. Bagi Russ, saat terjadi bencana, kita tak selalu kembali ke "business as usual".

"Jika Anda mencoba menarik perhatian orang di saat bencana, pastikan bahwa Anda melakukan sesuatu dan bukan mencoba untuk mengeruk keuntungan dalam kemalangan orang lain," tulis Russ.

Misalnya, layanan konseling bisa menawarkan bantuan psikologi kepada keluarga korban tragedi. Contoh lainnya, perusahaan makanan mengirimkan paket bantuan untuk korban pengungsian. Kesan promosi dari bantuan memang tak terhindarkan, tetapi akan semakin absurd bila menganggap semuanya buruk.

Kembali pada topik tentang belasungkawa tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402. Mengapa orang-orang sekarang menganggap postingan belasungkawa di media sosial malah dianggap sebagai bagian komersialisasi?

Fenomena ini berhubungan erat dari pengalaman sewaktu berjayanya pasar bebas harga masker di awal pandemi. Kemudian. orang-orang telah menyadari bahwa traffic kunjungan berpotensi menghasilkan keuntungan.

Di satu sisi, ini adalah kemajuan bagi warganet untuk melihat lebih jauh makna sebuah postingan. Namun, sebagai konsumen dan pembaca, kita perlu juga memikirkan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia.

Ketika seseorang meninggal dunia, kita biasa mengirimkan papan bunga berisi ungkapan belasungkawa ke rumah duka. Di bagian bawah papan bunga, tertera lengkap nama, jabatan dan perusahaan pengirim.

Apakah para pelayat yang datang mencurigai papan bunga itu sebagai cara komersialisasi atau iklan dari si pengirim? Tidak.

Pengalaman saya, semakin banyak papan bunga dikirimkan ke rumah duka, pelayat menafsirkannya bahwa almarhum semasa hidup adalah orang yang bersahabat dan dikenal luas. Bila papan bunga dikirimkan direksi perusahaan besar, ini menunjukkan almarhum adalah orang terpandang.

Mengapa contoh di atas perlu dipikirkan konsumen? Ini adalah informasi tambahan supaya kita tak terburu-buru mencap buruk suatu brand, terlebih bila brand itu UMKM dari suatu daerah yang memiliki sudut pandang berbeda dalam menyampaikan dukacita dibanding orang-orang yang melihat sesuatunya dari kacamata komersial.

Jadi, adanya kritik terhadap postingan belasungkawa, jangan sampai menghentikan kita menyampaikan belasungkawa atau berhenti membantu orang keluar dari masalah.

Sekali lagi, ini menyangkut etika untuk memperbaiki cara penyampaian supaya menghindari kesan promosi dan komersialisasi. Inilah sekelumit masalah publikasi yang memerlukan pikiran terbuka, mampu membaca keadaan sosial dan budaya di masyarakat dan meluaskan wawasan untuk menguatkan kepekaan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun