Di situ, Berlusconi sudah membayangkan format Super League. Artinya, ia ingin memastikan bahwa klub-klub besar harus diperhatikan karena memiliki andil dan kepentingan dalam pengembangan sepak bola untuk mempertahankan keberlanjutan mereka.
Perubahan itu terasa pada 1991/92. European Cup mulai mengenalkan sistem grup. Awalnya dua grup, di mana pimpinan grup akan bertemu di partai final. Inilah cikal bakal berubahnya European Cup menjadi Liga Champions.
Lama kelamaan, format kompetisi Liga Champions terus berubah sampai menjadi delapan grup seperti saat ini, bahkan rencananya akan bertambah pada 2024 mendatang.
Kompetisi dan urusan finansial bagai dua sisi logam yang mewarnai sepak bola. Hak siar dan iklan adalah pemasukan terbesar sebuah klub yang mengubah sepak bola menjadi kapitalis.
Terlebih sepak bola Eropa, menjadi industri menggiurkan dengan ratusan juta penonton di seluruh dunia menanti penampilan klub-klub elit bertarung.
Karena sepak bola sudah bergeser ke urusan bisnis, penolakan UEFA dan asosiasi sepak bola, terlebih FA terhadap European Super League ibarat bermuka dua.
Alih-alih menyalahkan model kompetisi Super League bisa menghancurkan harapan klub-klub kecil, selama ini format sepak bola resmi bentukan UEFA dan asosiasi juga meninggalkan nestapa buat klub-klub Eropa.
Bagaimana mungkin mengharapkan kompetisi sehat jika ternyata Liga Champions hanya menjadi panggung untuk klub besar seperti Real Madrid, Barcelona, Munchen, Liverpool, dan Manchester United.
Terlebih kompetisi Liga Inggris, meski klub seperti Arsenal minim prestasi, ternyata jumlah pendukung mereka tak kunjung surut.
Jika memakai logika kompetisi, artinya Arsenal yang minim prestasi seharusnya sudah lama ditinggalkan pendukungnya. Klub meriam London ini sangat beruntung dilabeli klub elit.Â
Padahal nasib Arsenal menyerupai klub Eropa lainnya seperti Valencia, Ajax Amsterdam, Marseille dan klub lain sebagai klub jaya di masa lalu, namun meredup di masa kini.