Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kontroversi European Super League, Demi Uang atau Alibi Klub Elit Minim Prestasi?

19 April 2021   13:05 Diperbarui: 20 April 2021   20:39 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The European Super League. Sumber: marca.com

Sepak bola Eropa terjangkit masalah serius dengan kemungkinan dualisme kompetisi antarklub.

Hal ini mencuat setelah sejumlah klub besar Eropa mengumumkan keikutsertaan mereka dalam penyelenggaraan European Super League.

Enam klub di antaranya berasal dari Liga Primer Inggris: Manchester United, Manchester City, Liverpool, Arsenal, Chelsea dan Tottenham.

Kemudian diikuti klub dari Spanyol dan Italia: AC Milan, Inter Milan, Juventus, Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid. Mereka inilah yang disebut sebagai para pendiri.

"Sebanyak 12 klub sepak bola besar di Eropa, hari ini berkumpul untuk mengumumkan telah setuju untuk membentuk kompetisi tengah pekan yang baru, Super League yang diatur oleh klub pendiri," tulis situs resmi Super League, 18 April 2021.

Kemungkinan ada tiga klub lagi akan bergabung jelang musim perdana, yang dimaksudkan untuk dimulai secepat mungkin.

Lebih lanjut, para klub pendiri berharap bisa melakukan diskusi dengan UEFA dan FIFA untuk bekerja sama dalam kemitraan untuk memberikan hasil terbaik bagi kompetisi baru dan sepak bola secara keseluruhan.

"Klub pendiri punya tujuan untuk meningkatkan kualitas dan intensitas kompetisi Eropa yang ada dalam tiap musim dan menciptakan sebuah format untuk klub dan pemain hebat agar berkompetisi secara reguler."

Kenapa European Super League jadi persoalan?

Wacana penyelenggaraan European Super League jelas mengganggu UEFA. Sebabnya, ini bakal menyaingi Liga Champions sebagai kompetisi resmi antarklub Eropa di bawah regulasi UEFA yang berlangsung selama setengah abad lebih.

Liga Champioms kali pertama dibentuk dengan nama European Champion Club's Cup pada 1955. Sepanjang penyelenggaraannya, Liga Champions telah mengalami pelbagai perombakan format pertandingan. Era European Cup, format pertandingan memainkan sistem gugur sejak awal kompetisi.

Berbeda dengan sekarang, sebanyak 32 klub dari pelbagai negara atau asosiasi sepak bola di negara terlebih dahulu melewati fase penyisihan grup.

Real Madrid adalah peraih trofi terbanyak Liga Champions. Klub asal Spanyol ini sudah 13 kali menjuarai Liga Champions, diikuti AC Milan sebanyak 7 trofi, dan Liverpool sebanyak 6 trofi.

Liga Champions sudah menjadi magnet bagi pecinta sepak bola, tak hanya didukung warga dari kota klub itu berasal, melainkan sudah merambah ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, orang sampai rela begadang demi menonton siaran pertandingan yang ditayangkan pada tengah malam dan pukul 03.00 WIB dini hari.

Daya tarik Liga Champions ditentukan penampilan klub-klub besar seperti Manchester United, Real Madrid, Liverpool, dan sebagainya.

Penyerang Arsenal Alexandre Lacazette. (Foto: Twitter/Arsenal)
Penyerang Arsenal Alexandre Lacazette. (Foto: Twitter/Arsenal)

Apakah alasan klub bermain di European Super League karena uang?

Wacana European Super League sebenarnya bukan barang baru karena pernah hadir pada tahun 1990-an. Akan tetapi, adanya pandemi membuat pelaksanaannya makin dipercepat.

Alasan ekonomi menjadi salah satu pendorong klub-klub besar untuk ikut berkompetisi di European Super League. Pandemi Covid-19 memberikan pukulan hebat pada keuangan klub yang terancam bangkrut dan mempengaruhi penampilan mereka ke depannya.

"Pembentukan Super League terjadi saat pandemi global mempercepat ketidakstabilan model ekonomi sepak bola Eropa yang ada," tulis Super League.

Meski masalah keuangan adalah pertimbangan utama, itu bukan satu-satunya alasan. Paris Saint Germain, misalnya, meski mengalami kesulitan keuangan akibat pandemi, mereka menolak bergabung di European Super League.

Alasan lain mengapa uang bukan satu-satunya pendorong keikutsertaan klub elit adalah klub yang bergabung memiliki harapan bahwa European Super League dapat membuat kompetisi dengan pertandingan berkualitas tinggi. Setidaknya, itulah yang dikatakan dalam pernyataan pers.

"Kami bersama di saat kritis ini, memungkinkan kompetisi Eropa diubah, meletakkan permainan yang kita sukai pada landasan yang berkelanjutan secara jangka panjang, secara substansial meningkatkan solidaritas, dan memberi penggemar dan pemain amatir siklus reguler dan hasil yang akan mendorong semangat mereka," kata Andrea Agnelli, bos Juventus and wakil ketua European Super League.

Petinggi UEFA, asosiasi sepak bola di Eropa dan pecinta sepak bola angkat bicara. Mereka menolak gagasan pembentukan European Super League.

UEFA sudah menyampaikan langkah tegas demi menggagalkan kompetisi tersebut. Mereka pun berencana menempuh jalur hukum untuk menghalau terjadinya kompetisi tersebut.

Dalam keterangan resminya, UEFA bersama Asosiasi Sepak Bola negara terkait menyatakan akan menghukum tim dan pemain yang nekat mengikuti European Super League, laporan Kompas.com.

Ada tiga hukuman yang disiapkan UEFA,

Pertama, denda dan dikeluarkan dari Asosiasi Sepak Bola negara asal sehingga tidak bisa mengikuti kompetisi domestik.

Kedua, larangan mengikuti kompetisi di bawah naungan UEFA dan FIFA.

Ketiga, pemain dilarang membela tim nasional negara masing-masing.

Klub elit walau minim prestasi

Kontroversi penyelenggaraan kompetisi sepak bola Eropa seperti mengulang kejadian di masa lampau. Jika benang merah masalah ditarik, latar belakangnya tak jauh dari persoalan harga diri dan uang.

Pada putaran pertama European Cup musim 1987/88, Real Madrid dan Napoli, dua klub besar dari Spanyol dan Italia harus bertemu sejak awal kompetisi.

Kala itu, Real Madrid menumbangkan Napoli dengan skor agregat 3-1 di putaran pertama European Cup. Kalah dan menang adalah hal biasa. Akan tetapi, menurut laporan media si.com, pertandingan Real Madrid dan Napoli menjadi titik kritis untuk sepak bola Eropa.

Silvio Berlusconi, pemilik AC Milan, adalah orang yang kecewa atas kegagalan Napoli di pentas Eropa. Dia meminta model European Cup yang memainkan model olahraga merit sejak 1955 harus dilupakan.

Saat itu, penentuan siapa lawan siapa dilakukan lewat undian. Cara inilah yang membuat kompetisi European Cup dengan gaya merit dikritik. Masa, klub besar seperti Madrid dan Napoli yang kala itu diperkuat Maradona harus bertempur di putaran pertama.

Di situ, Berlusconi sudah membayangkan format Super League. Artinya, ia ingin memastikan bahwa klub-klub besar harus diperhatikan karena memiliki andil dan kepentingan dalam pengembangan sepak bola untuk mempertahankan keberlanjutan mereka.

Perubahan itu terasa pada 1991/92. European Cup mulai mengenalkan sistem grup. Awalnya dua grup, di mana pimpinan grup akan bertemu di partai final. Inilah cikal bakal berubahnya European Cup menjadi Liga Champions.

Lama kelamaan, format kompetisi Liga Champions terus berubah sampai menjadi delapan grup seperti saat ini, bahkan rencananya akan bertambah pada 2024 mendatang.

Kompetisi dan urusan finansial bagai dua sisi logam yang mewarnai sepak bola. Hak siar dan iklan adalah pemasukan terbesar sebuah klub yang mengubah sepak bola menjadi kapitalis.

Terlebih sepak bola Eropa, menjadi industri menggiurkan dengan ratusan juta penonton di seluruh dunia menanti penampilan klub-klub elit bertarung.

Karena sepak bola sudah bergeser ke urusan bisnis, penolakan UEFA dan asosiasi sepak bola, terlebih FA terhadap European Super League ibarat bermuka dua.

Alih-alih menyalahkan model kompetisi Super League bisa menghancurkan harapan klub-klub kecil, selama ini format sepak bola resmi bentukan UEFA dan asosiasi juga meninggalkan nestapa buat klub-klub Eropa.

Bagaimana mungkin mengharapkan kompetisi sehat jika ternyata Liga Champions hanya menjadi panggung untuk klub besar seperti Real Madrid, Barcelona, Munchen, Liverpool, dan Manchester United.

Terlebih kompetisi Liga Inggris, meski klub seperti Arsenal minim prestasi, ternyata jumlah pendukung mereka tak kunjung surut.

Jika memakai logika kompetisi, artinya Arsenal yang minim prestasi seharusnya sudah lama ditinggalkan pendukungnya. Klub meriam London ini sangat beruntung dilabeli klub elit. 

Padahal nasib Arsenal menyerupai klub Eropa lainnya seperti Valencia, Ajax Amsterdam, Marseille dan klub lain sebagai klub jaya di masa lalu, namun meredup di masa kini.

Dengan kata lain, Arsenal adalah contoh bagaimana kebesaran klub sepak bola tak seratus persen harus dibentuk lewat kehebatan dalam melewati kompetisi.

Pemain Arsenal Mesut Ozil dan Lacazette. (Foto: Twitter/LacazetteAlex)
Pemain Arsenal Mesut Ozil dan Lacazette. (Foto: Twitter/LacazetteAlex)

Itu juga yang terjadi dengan klub Italia seperti Inter Milan dan AC Milan. Baik di Serie A maupun Liga Champions, penampilan kedua klub mengalami pasang surut selama satu dekade terakhir. Meski demikian, baik Inter dan Milan tetap difavoritkan dan mendapat hati di benak penggemar mereka.

Memakai jersey AC Milan rasanya lebih membanggakan ketimbang seragam Atalanta yang dua musim terakhir mampu mengungguli Milan di klasemen Serie A.

Memberikan trofi kepada klub adalah satu hal, namun mempertahankan kejayaan dan memastikan keberlangsungan adalah pekerjaan lain. Masuknya klub-klub besar ke Super League tentu menjadi guncangan besar untuk UEFA.

Liga Champions meski secara nama mengesankan pertarungan klub-klub terbaik dari pelbagai negara di Eropa, pada kenyataannya ini adalah kompetisi untuk klub-klub elit dari Inggris, Spanyol, Italia, Jerman dan Prancis.

Karena itu dapat dipahami bagaimana UEFA bakal mati-matian mempertahankan segelintir klub elit Eropa untuk tetap berkompetisi di bawah naungan mereka demi menjamin keberlangsungan ratusan klub-klub Eropa lainnya.

FourFourTwo melaporkan rencana Super League bersinggungan dengan perdebatan untuk mereformasi Liga Champions. Jika wacana Super League ternyata dibuat sebagai bentuk daya tawar agar klub besar didengarkan, maka ini adalah langkah serius yang sangat beresiko.

Di sisi lain, wacana Super League bisa jadi dibentuk sebagai langkah penyelamatan. Pemilik klub mengatakan ingin menyajikan permainan kualitas, namun di balik kalimat itu, mereka sebenarnya ingin menyelamatkan muka dari puasa gelar.

Praktis, prestasi Manchester City, Manchester United, Arsenal, AC Milan, Inter tak terlalu menggembirakan di kancah Eropa. 

Mereka seperti berupaya untuk mempertahankan kebesaran nama. Ada kekhawatiran bahwa puasa gelar membuat nama mereka bakal meredup di masa mendatang seiring masalah finansial akibat pandemi Covid-19 dan kompetisi Liga Champions yang tampaknya tak bersahabat untuk keberlangsungan sebagian klub elit.

Semua ini lagi-lagi tentang finansial klub. Money can't buy me love, ungkap The Beatles dalam lagunya. Namun, uang pada zaman sekarang mengubah banyak wajah sepak bola dan pandemi Covid-19 secara kebetulan menjadi 'oli' untuk mempercepat realisasinya yang tertunda sekian tahun.

Intervensi keuangan menjadi fenomena nyata bagaimana sepak bola mengalami pergeseran besar. Ambil contoh Chelsea (Inggris), Manchester City (Inggris), Paris Saint-Germain (Prancis) dan RB Leipzig (Jerman).

Chelsea menggeliat sejak dibeli taipan Roman Abramovich dengan mendatangkan sang special one Jose Mourinho untuk memberikan gelar Liga Inggris musim 2003/04.

PSG usai melawan Bayern Munchen pada perempat final Liga Champions 2021. (Foto: Twitter/PSG_inside)
PSG usai melawan Bayern Munchen pada perempat final Liga Champions 2021. (Foto: Twitter/PSG_inside)

Lalu, Manchester City ketika diakuisisi Abu Dhabi United Group Investment and Development Limited pada 2008 silam langsung mengucurkan dana besar 120 juta Euro untuk membeli Gareth Barry, Carlos Tevez, Roque Santa Cruz, Emmanuel Adebayor, Kolo Toure, dan Joleon Lescott pada 2009 yang tertinggi di Inggris.

Hasilnya terasa ketika Manchester City menjuarai Liga Inggris musim 2011/12 dan secara konsisten menunjukan penampilan luar biasa di kancah domestik dan internasional, hal yang tak pernah mereka tampilkan pada periode sebelumnya.

Suka atau tidak, Chelsea dan City memang berubah sejak kucuran dana mengalir ke klub tersebut. 

Keuntungan serupa dirasakan Paris Saint-Germain di Prancis sejak diakuisisi Qatar Sports Investments pada 2011. Bahkan komposisi Paris saat ini terdiri dari pemain bintang dunia, Mbappe dan Neymar, tanpa ragu membayar mahal mahar mereka.

Sementara itu, RB Leipzig yang baru didirikan 2009 juga menapaki pencapaian terbaik di Bundesliga dan Liga Champions. Tak butuh waktu lama, klub perusahaan Red Bull ini menjadi runner up Bundesliga musim 2016/17 dan tahun lalu menjadi semi finalis Liga Champions.

Keterlibatan Red Bull mengesankan klub ini lebih menyerupai klub pemasaran perusahaan minuman berenergi tersebut, walau dibantah klub. RB Leipzig memang hadir dengan wajah berbeda dari klub Jerman yang selama ini porsi kepemilikan publik lebih besar dari korporasi.

Sepuluh tahun RB Leipzig dibentuk, prestasi mereka di kancah sepak bola terukir lebih cepat dibanding klub lawas Jerman seperti Bayer Leverkusen dan Werder Bremen yang selama belakangan ini tampil kurang menggigit.

Uang dan sepak bola sulit dipisahkan walau idealnya keduanya harus menjaga jarak. Harus diakui, finansial adalah faktor pendorong untuk menjamin keberlangsungan sepak bola. Uang bisa menyebabkan klub bangkit, bisa pula menurunkannya sampai ke titik paling memalukan.

FC Schalke 04 merasakannya pada musim ini. Entah bagaimana ceritanya, Schalke 04 saat ini harus duduk di jurang klasemen Bundesliga dengan jumlah kemenangan hanya dua biji dari 29 pertandingan.

Salah satu penyebab kemunduran Schalke 04 adalah badai krisis keuangan akibat pandemi Covid-19. 

DW mengabarkan Schalke menutup laporan keuangan 2018-19 dengan utang hampir 200 juta Euro dan diperkirakan akan meningkat menjadi 250 juta Euro pada akhir tahun 2020.

Masalah keuangan memperlihatkan bagaimana Schalke 04 harus melakukan penghematan. Ofisial klub dan pelatih pergi, pemain kehilangan kepercayaan diri adalah komplikasi dari dampak krisis keuangan.

Direktur pemasaran Alexander Jobst, pun berpikir untuk melakukan perubahan besar untuk mengubah tim menjadi lebih komersial. 

Jobst mengusulkan perubahan struktural di Schalke, mengubah klub dari klub yang 100 persen dikendalikan anggota menjadi kemitraan perusahaan demi memperbaiki masalah keuangan klub. Jelas saja, rencana itu menuai kecaman keras dari para pendukung Schalke 04.

Di atas adalah sebagian contoh bagaimana sepak bola di satu sisi menyajikan sportivitas, kompetisi, moralitas yang didirikan atas prinsip sosial harus berdamai dan mendahulukan kepentingan kapital dan keegoisan para elit sepak bola.

Konsep invisible hand dari Adam Smith tepat untuk menggambarkan kondisi sepak bola di Eropa saat ini.

Meski UEFA dan para pemilik klub elit terlihat bersitegang atas format kompetisi sepak bola Eropa, nyatanya, mereka bergerak pada satu konsep yang sama: kepentingan individu lebih diutamakan demi menguntungkan masyarakat secara luas.

Kompetisi harus dibawa ke pasar untuk menjamin keberlangsungan. Terlebih raksasa perbankan AS JP Morgan sudah siap melakukan pembiayaan terhadap kompetisi tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun