Dalam masa pandemi Covid-19, kita sangat bergantung terhadap teknologi informasi. Aktivitas kantor dan pendidikan bergeser dari pertemuan fisik ke pertemuan di dunia maya.
Perubahan ini mencakup banyak sektor perekonomian. Pergeseran sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir sehingga adanya pandemi Covid-19 membuat kecepatan transformasi digital melesat.
Pengembangan kecerdasan buatan, pembelajaran mesin, dan Internet of Things kian canggih untuk menjawab tantangan di masa depan selepas pandemi Covid-19.Â
Kita ingin segera kembali beraktivitas normal mengingat satu tahun yang terlewati sudah cukup menekan hidup. Sekarang, pemerintah menyelenggarakan vaksinasi Covid-19 untuk mencapai kekebalan kelompok.Â
Langkah penurunan kasus positif harian diterapkan dengan mengeluarkan kebijakan PPKM skala mikro di 7 Provinsi Jawa-Bali sampai 22 Februari 2021.
Berharap Indonesia cepat keluar dari krisis pandemi
Usai pandemi Covid-19, mau tidak mau kita menghadapi tantangan lain untuk memulihkan perekonomian. Ada banyak orang menganggur butuh pekerjaan sehingga perlu penciptaan lapangan kerja.
Gubernur BI Perry Warjiyo memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 4,3 sampai 5,3 persen pada 2021.Â
Perkiraan ini menurun dari sebelumnya 4,8 sampai 5,8 sejalan dengan lebih rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2020 yang terkontraksi -2,19 persen, laporan Kompas.com, 18 Februari 2021.
Optimisme ekonomi Indonesia tumbuh positif adalah salah satu pertanda baik.Â
Pelaksanaan vaksinasi Covid-19 akan menentukan pemulihan ekonomi supaya kelak orang-orang tidak lagi merasa cemas untuk berlibur, menonton film, berbelanja dan melakukan kegiatan lainnya.Â
Kapan pandemi Covid-19 dapat terkendali? Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menargetkan Indonesia bebas dari pandemi pada 17 Agustus 2021, laporan Kontan.co.id.
Kritik ekonom Zia Qureshi terhadap teknologi digital
Meski demikian, ada satu hal yang jarang dibahas cukup luas, yaitu keberadaan teknologi digital. Bagaimana sebenarnya peran teknologi digital terhadap perekenomian usai pandemi Covid-19?
Selama pandemi, kecepatan digitalisasi memberikan perubahan terhadap sektor produksi, perdagangan dan tenaga kerja itu sendiri. UMKM didorong beradaptasi ke digitalisasi sehingga kelak dapat terhubung dalam ekosistem digital.
Ekonom Zia Qureshi adalah salah satu pemikir yang menaruh perhatian terhadap kemajuan teknologi informasi di perekonomian. Pandangannya kritis untuk menanggapi pengaruh teknologi digital.
Apa kata Zia tentang teknologi informasi? Bagi Zia, kemajuan teknologi merupakan paradoks.
Ungkapan paradoks tersebut pernah disampaikan Zia dalam tulisannya yang ditayangkan MIT Technology Review pada 12 September 2018.
Pernyataan serupa kembali disampaikannya dalam artikel berjudul Technology, growth, and inequality Changing dynamics in the digital era dalam Global Paper Working Brookings Februari 2021.
Mungkin paradoks kedengaran tidak masuk akal dan seolah mengajak kemunduran.Â
Tetapi, dia telah mengamati bahwa pertumbuhan produktivitas telah melambat secara signifikan di negara-negara maju sejak 1980-an. Hal serupa mendera juga pada negara-negara berkembang sejak satu dekade terakhir.
Dia mencontohkan di AS, sebagai negara maju yang memimpin revolusi teknologi ini. Pertumbuhan produktivitas melambat secara signifikan sejak awal 2000-an.Â
Pertumbuhan produktivitas sempat mengalami peningkatan pada paruh kedua 1990-an yang didorong peningkatan investasi awal dalam penerapan teknologi digital. Tapi lonjakan tersebut hanya berlangsung pendek.Â
Bahkan dalam dua dekade setelah itu ketika otomatisasi produksi menjadi lebih canggih, pertumbuhan produktivitas melambat dan bertahan dalam tren melemah dalam jangka panjang. Imbasnya adalah ketimpangan pendapatan sehingga menekan kelas menengah.
Â
Mengapa kemajuan teknologi menjadi paradoks?
Zia mengajak untuk melihat lagi keberadan teknologi pada prinsipnya ditujukan untuk mendorong produktivitas. Meningkatnya produktivitas akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun perkembangan luar biasa pada teknologi digital, menurutnya, tidak sejalan dengan pertumbuhan produktivitas yang justru melambat. Ini paradoks, bahwa teknologi digital tidak mempercepat pertumbuhan produktivitas.
Zia menyadur laporan World Bank yang menyebutkan bahwa selama periode lima tahun dari 2013-2017, produktivitas tumbuh lebih rendah dari rata-rata jangka panjang sekitar 65 persen di semua negara.
"Teknologi baru terlihat mempesona namun sejauh ini tidak memberikan dividen yang diharapkan dalam pertumbuhan produktivitas agregat yang lebih tinggi," katanya.
Hal lain yang tidak luput diperhatikannya ialah ketimpangan besar pada pendapatan yang sangat terkonsentrasi di level top end of distribution.Â
Jadi, dapat dikatakan bahwa manfaat teknologi digital belum menyebar merata dalam perekonomian sehingga tidak mendorong penuh pertumbuhan produktivitas dan distribusi pendapatan.
Dalam pandangan konvensional, kesenjangan itu ditunjukan dengan adanya gap antara mereka yang kaya (haves) dan miskin (have-nots). Â
Namun, sekarang dunia digital lebih mencolok membedakan orang sebagai yang haves (kaya) dan havemores (kekayaan lebih).
Kemajuan teknologi informasi sekilas terkesan menjadi momok terhadap pasar dan tenaga kerja.Â
Namun Zia mengatakan hal tersebut tidak lantas harus disikapi dengan sikap anti-teknologi atau kecemasan otomatisasi. Teknologi bukan masalahnya. Jika ingin mengetahui lebih lanjut, saya pernah menulis soal kecemasan terhadap teknologi di sini.
Kembali ke topik utama. Bagaimana menyikapi pergeseran teknologi digital usai pandemi? Ini 4 poin paparan Zia disadur.
Pertama, menurut Zia, saat ekonomi nanti pulih dari krisis pandemi Covid-19, transformasi digital akan mengalami kemajuan lebih lanjut.
Sebelumnya kita sudah menjalani transformasi digital, namun pandemi mendorong akselerasinya meningkat. Ini diperkirakan akan memacu produktivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke depannya.
Namun, yang perlu diperhatikan, kata Zia, dinamika pasar trennya mengarah ke struktur pasar yang lebih terkonsentrasi. Permintaan bergeser banyak ke dunia online sehingga akan menambah keuntungan bagi pelaku usaha yang sudah memiliki posisi baik di teknologi digital.
Kedua, perusahaan kecil yang mengalami tekanan pandemi Covid-19 kemungkinan besar mengalami kekurangan likuiditas dan kesulitan akses ke kredit yang diperlukan untuk bertahan dalam krisis.
Sementara perusahaan-perusahaan kecil berjuang, raksasa teknologi semakin meningkatkan pangsa pasar.
"Ini sudah terbukti di beberapa industri, seperti perdagangan ritel. Ketika gelombang kebangkrutan berlangsung, ini mendorong lebih banyak bisnis menuju ke arah raksasa ritel teknologi besar," kata Zia yang mantan Direktur Strategi dan Operasional Kantor Wakil Presiden Bank Dunia.
Menurutnya, kebijakan persaingan harus diubah untuk era digital demi memastikan pasar terus menyediakan level playing field yang terbuka dan setara bagi perusahaan. Penegakan antimonopoli harus diperkuat.
Sebagai informasi, baru-baru ini Facebook dan Google menhadapi gugatan anti-trust di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di Australia, Facebook dan Google diminta untuk membayar kepada media atas berita yang ada di platform mereka.
Ketiga, teknologi baru memiliki potensi besar untuk meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Ini nantinya berimbas pada penciptaan lapangan kerja baru yang lebih baik untuk menggantikan model lama sehingga dapat membantu peningkatan kesejahteraan manusia.
Keadaan ini pada saat bersamaan memberikan tantangan bagi pembuat kebijakan. Mereka mesti mengeluarkan kebijakan untuk menyempurnakan potensi dan mengubah inovasi di era digital supaya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan lebih inklusif.
Zia mengatakan inovasi saat ini harus diperluas dari batasannya yang sempit untuk menyebarkan teknologi baru dan peluang produktif. Inovasi harus "didemokratisasi."
Keempat, penguatan program pendidikan dan pelatihan harus diubah dengan menekankan perolehan keterampilan pada teknologi baru. Cara seperti ini sudah diperkenalkan di beberapa negara seperti Prancis dan Singapura.
Di Indonesia, kita mengenalnya dengan model pelatihan Kartu Prakerja yang diterima sejak tahun lalu. Di sana terdapat sejumlah materi pelatihan yang mengajarkan orang memanfaatkan ekosistem digital untuk mengembangkan usaha dan memasarkan produk mereka.
Namun, poin utama yang ditekankan Zia dari sini adalah kesenjangan dalam akses ke pendidikan dan pelatihan harus diatasi.Â
Sistem perlindungan sosial harus diperkuat dan jika perlu diubah untuk selaras terhadap perubahan ekonomi dan sifat pekerjaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H