Namun, sekarang dunia digital lebih mencolok membedakan orang sebagai yang haves (kaya) dan havemores (kekayaan lebih).
Kemajuan teknologi informasi sekilas terkesan menjadi momok terhadap pasar dan tenaga kerja.Â
Namun Zia mengatakan hal tersebut tidak lantas harus disikapi dengan sikap anti-teknologi atau kecemasan otomatisasi. Teknologi bukan masalahnya. Jika ingin mengetahui lebih lanjut, saya pernah menulis soal kecemasan terhadap teknologi di sini.
Kembali ke topik utama. Bagaimana menyikapi pergeseran teknologi digital usai pandemi? Ini 4 poin paparan Zia disadur.
Pertama, menurut Zia, saat ekonomi nanti pulih dari krisis pandemi Covid-19, transformasi digital akan mengalami kemajuan lebih lanjut.
Sebelumnya kita sudah menjalani transformasi digital, namun pandemi mendorong akselerasinya meningkat. Ini diperkirakan akan memacu produktivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke depannya.
Namun, yang perlu diperhatikan, kata Zia, dinamika pasar trennya mengarah ke struktur pasar yang lebih terkonsentrasi. Permintaan bergeser banyak ke dunia online sehingga akan menambah keuntungan bagi pelaku usaha yang sudah memiliki posisi baik di teknologi digital.
Kedua, perusahaan kecil yang mengalami tekanan pandemi Covid-19 kemungkinan besar mengalami kekurangan likuiditas dan kesulitan akses ke kredit yang diperlukan untuk bertahan dalam krisis.
Sementara perusahaan-perusahaan kecil berjuang, raksasa teknologi semakin meningkatkan pangsa pasar.
"Ini sudah terbukti di beberapa industri, seperti perdagangan ritel. Ketika gelombang kebangkrutan berlangsung, ini mendorong lebih banyak bisnis menuju ke arah raksasa ritel teknologi besar," kata Zia yang mantan Direktur Strategi dan Operasional Kantor Wakil Presiden Bank Dunia.
Menurutnya, kebijakan persaingan harus diubah untuk era digital demi memastikan pasar terus menyediakan level playing field yang terbuka dan setara bagi perusahaan. Penegakan antimonopoli harus diperkuat.