Tarif murah penulisan artikel menjadi perbincangan hangat di Twitter. Berapa sebenarnya tarif layak untuk penulis lepas?
Perdebatan tentang tarif penulisan, salah satunya, muncul dari postingan pengguna Twitter dengan akun @hansdavidian pada 27 November 2020. Ia menyinggung kompensasi menulis di Terminal Mojok sebesar Rp20.000 per artikel. Uangnya itu pun baru bisa dicairkan jika penulis sudah berhasil menayangkan 10 artikel.
"Situs kebanggaan anak edgy se-NKRI sesadis ini ngasih bayaran ke penulis yang bangun konten mereka,"Â tulisnya.
Terminal Mojok merupakan satu fitur terpisah dari redaksi Mojok kepada penulis atau User Generated Content (UGC) yang ingin berkontribusi untuk mengirimkan cerita unik mereka.
Tulisan UGC belum tentu ditayangkan karena harus melewati proses seleksi dari redaksi Mojok. Setidaknya, penulis harus mengisi artikelnya minimal 600 kata dan sudah melakukan penyuntingan dasar dengan memperhatikan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
Postingan @hansdavidian ditanggapi pengguna lain yang mengaku sebagai pembaca Mojok. Dia mengatakan baru mengetahui aturan dari Mojok tersebut dan meminta konfirmasi dari petinggi Mojok Agus Mulyadi dan Puthut EA, dua orang yang telah melahirkan deretan karya sedap kepada pembaca Indonesia.
Menanggapi persoalan ini, Agus membalas dengan mengatakan "Mojok saat ini ada dua departemen, Mas. Pertama Mojok editorial. Honor per tulisan 300 ribu dan liputan 500 ribu. Kedua, Mojok Terminal, itu semacam UGC, kayak Kompasiana atau kaskus, penulis bisa langsung submit tulisan sendiri di website. Yang UGC ini honor per tulisan 20 ribu."
"Kalau dibandingkan dengan Mojok editorial, tentu Terminal Mojok honornya kecil. Lha tapi ini UGC. Sama kayak Kaskus atau Kompasiana. Orang kirim tulisan ke Kaskus dan Kompasiana nggak ada honor. Kami berusaha menaikkan standar 'nggak ada honor' itu walau kecil."
Di hari yang sama, masalah rendahnya tarif penulis juga disinggung seorang jurnalis Randy Mulyanto melalui akun Twitter-nya.
Ia menanggapi salah satu penyedia jasa yang memberikan persyaratan kepada penulis bahwa ia harus berlatar pendidikan di bidang gizi/kesehatan, memahami kaidah PUEBI, dan menulis dengan deadline yang telah ditentukan. Berapa upah yang diterima penulis? Rp20.000 per artikel.
"Teman-temanku, janganlah karena keterbatasan budget membuat kalian tak manusiawi dalam menghargai hasil kerja orang, oke? :)" tulis Randy menanggapi persyaratan tersebut.
Polemik penulis lepas
Bagi penulis, pembahasan tarif murah ini sangat bermanfaat untuk menyelesaikan sengkarut di dunia penulisan. Selama ini, tiap penulis menghadapi sudut pandang ganda dalam mengukur benefit yang mereka terima.
Pertama, ada penulis yang merasa puas tulisannya telah dimuat di website besar karena dapat dibaca banyak orang. Dibayar berapapun, bahkan gratis sekalipun, bukan persoalan serius.
Penulis-penulis ini barangkali menjadikan kegiatan menulis hanya untuk menyalurkan pendapat atau sekadar hobi. Penulis lain mungkin menganggap platform besar yang menampung tulisannya bisa dijadikan portfolio yang berguna saat mengajukan lamaran kerja. Syukur-syukur, kontribusinya bisa menjadi peluang untuk melambungkan namanya sebagai penulis besar di Indonesia.
Kedua, ada penulis yang merasa haknya diabaikan karena menilai tulisannya turut membangun keberlangsungan media tersebut. Hal ini terdengar masuk akal sebab media digital manapun jika ingin bertahan harus mengisi rutin websitenya dengan artikel.Â
Itu pun memakai aturan minimal berupa ketentuan SEO, apapun tema dari konten yang diangkat.
Artinya, semakin banyak tulisan yang dimuat di website itu, maka semakin besar peluang mendatangkan pengunjung yang berguna bagi pemilik website untuk menjualnya kepada pengiklan atau membantu mempromosikan kegiatan.
Sebagai penulis lepas, saya tentu lebih condong melihat bahwa dunia penulisan sekarang merupakan bagian dari industri.
Sebabnya, menulis sudah menjadi pekerjaan utama bagi sebagian orang. Artinya, ada dorongan ekonomi yang melatarbelakangi tujuan orang menulis dari sekadar ingin berbagi uneg-uneg. Karena itu, ada banyak sekali orang yang mengambil profesi sebagai penulis lepas.
Dengan kata lain, ekosistem dunia penulisan perlu dilihat secara sejajar sebagai hubungan kerja antara penulis dan penyedia jasa. Istilah fee, rate, bonus atau apapun penyebutannya hendaknya dipahami sebagai bentuk upah untuk mencukupi kebutuhan hidup penulis .
Berapa upah yang layak
Lantas, berapa upah layak untuk seorang penulis konten? Bukankah upah Rp20.000 sudah cukup menggiurkan?
Hitung-hitungan upah penulis lepas selama ini belum terukur jelas. Saya sendiri pernah diupah sebesar Rp100.000 atau lebih untuk tiap tulisan, sekarang  berada di angka Rp50.000 dan di bawahnya.
Tetapi saya akan mencoba mengurai persoalan dunia penulisan ini berdasarkan pengalaman saya. Tarif penulis lepas untuk mengisi konten di website atau blog, misalnya sangat berbeda-beda tergantung dari penyedia jasa.
Untuk artikel 500 kata, tarif yang berlaku di pasaran berkisar Rp8ribu, Rp10ribu, Rp20ribu sampai Rp50ribu. Penawaran ini datang dari agensi/penyedia jasa profesional atau diberikan secara invididual.Â
Bahkan ada yang menawarkan Rp1250 per 100 kata, jika dikalikan ke 500 maka menjadi Rp6.250 atau Rp12.500 untuk 1000 kata. Cobalah Edak bayangkan, ada orang yang berani memberi tarif murah sedemikian rendahnya.
Misalnya, upah Rp20ribu per artikel, dalam 30 hari, penulis baru menghasilkan Rp600ribu. Mana mungkin ada calon mertua merestui menikahkan anaknya dengan pekerja semacam ini!Â
Masalahnya, artikel dengan bayaran sebesar Rp20ribu ini langka sekali ditemukan. Kebanyakan penyedia jasa hanya menawarkan antara Rp10-15ribu per artikel.Â
Mau tidak mau, penulis harus mencari akal untuk menutupi kekurangannya. Alternatif pertama, dia berjuang mati-matian menulis banyak artikel.
Kedua, penulis itu akan berusaha mencari pekerjaan sampingan lain atau mengikuti kompetisi blog. Ini cukup masuk akal, hanya saja tenaga dan waktu sangat terbatas.
Persoalan yang terjadi belakangan ini, selama masa pandemi, profesi penulis lepas semakin banyak diminati orang, mulai dari pelajar sampai pekerja formal yang terkena PHK. Sementara penawaran untuk para penulis tidak mengalami peningkatan. Satu sama lainya akhirnya saling berburu mencari peluang. Silakan cek sejumlah grup freelance di Facebook, Telegram atau WhatsApp.
Â
Dengan situasi seperti ini, daya tawar penulis akhirnya sangat rendah. Jika penulis keberatan dengan tarifnya, jawabannya adalah take it or leave it. Akhirnya, berapapun tarifnya, main sikat saja. Itu belum jangka waktu kerja biasanya hanya berlangsung bulanan dan tidak ada kontrak di atas kertas.
Apa solusi dari ini semua?
Terkait permasalahan di Mojok sendiri, saya berpikir mereka harus melakukan perbaikan mengingat mereka melakukan sistem selektif untuk artikel yang ditayangkan. Ini memberikan ketidakpastian kepada penulis yang sudah berjam-jam menulis artikelnya.
Tetapi, apa yang dihadapi Mojok tidak terlalu berdampak besar. Jikapun Mojok mengubah aturannya menjadi lebih menguntungkan penulis, ini belum tentu diikuti penyedia jasa lainnya. Sami mawon.
Karena itu, saya lebih tertarik untuk memberikan pandangan alternatif untuk menciptakan iklim berkeadilan.
Pendapat umum yang sering disampaikan adalah penulis harus kreatif untuk menjual dirinya. Menurut saya, ini semacam pendapat usang sebab daya tawar penulis di Indonesia memang sangat rendah.Â
Kita bisa mengambil contoh wartawan yang sudah lebih lama bergelut di dunia penulisan sebelum maraknya teknologi digital sekarang. Apakah nasib dan kesejahteraan wartawan sekarang di dunia digital lebih baik?Â
Dulu, ada istilah sombong mengatakan wartawan itu lebih bergengsi dari seorang profesor karena profesor selalu datang terlambat untuk memberikan pembaruan ke masyarakat. Tetapi, faktanya, gaji wartawan lapangan di media digital belum terlihat lebih baik dibanding beban kerja yang harus mereka alami.Â
Rata-rata upah wartawan berkisar di antara 4-6 juta di DKI Jakarta, sementara di daerah lain berada lebih rendah dari itu.Â
Pernahkah terpikirkan oleh pembaca sekalian bahwa ada wartawan yang bekerja dari pagi sampai tengah malam terutama ketika meliput kasus-kasus korupsi, bencana alam dan peristiwa besar lainnya? Sementara pemirsa sekalian menyaksikan peristiwa yang mereka laporkan di luar sana sambil berselonjoran menikmati teh hangat.
Pendapat lainnya adalah penulis lepas perlu juga menghasilkan buku untuk dijual. Ini peluang besar yang terdengar menggiurkan. Tetapi, bagaimana nasib bulanan yang harus dipenuhi penulis lepas? Menulis buku pun tidak bisa sekejap waktu, butuh waktu lama antara 3 bulan sampai bertahun-tahun sebelum terbit.
Sementara perut tidak mungkin berkompromi. Telat makan setengah hari saja bisa mengganggu pikiran. Padahal modal terbesar dari penulis itu adalah otak.Â
Pembenahan iklim penulisan ini sebenarnya perlu dilihat dalam skala industri digital. Percuma juga membincangkan 4.0 jika masalah kecil dunia penulisan ternyata belum cukup menyentuh keadilan.
Karena itu, pemerintah melalui kementerian seperti Kemendikbud atau Kemenkomifo harus memperlihatkan dirinya. Mereka perlu mengeluarkan kebijakan untuk melindungi keberlangsungan penulis yang sudah berkontirbusi di dunia digital.
Penulis lepas jika dibiarkan dalam sistem pasar bebas seperti yang terjadi sekarang, ya, bisa mampus kita.
Oke, mungkin ada jalan lain, yaitu menulis cerita dengan konten dewasa, ini lebih menggiurkan untuk mendapatkan peluang traffic. Tetapi kalau konten bertema 'panas' itu terus-menerus diproduksi, bisa teler juga negeri ini.Â
Kehidupan penulis menjadi serba salah karena selalu tercampak ke pasar bebas.
Jika tidak ada pembukaan serius dari pemerintah, siklus yang dialami penulis Indonesia akan berputar-putar sampai puluhan tahun untuk kembali ke pembahasan awal: bagaimanakah nasib dan kesejahteraan penulis di Indonesia?
Apalagi penulis lepas ini statusnya sangat kabur. Kadang dianggap sebagai profesi, tetapi sebenarnya hanya pengangguran terselubung.
Jam kerjanya fleksibel bukan berarti menyenangkan. Pembaca sekalian mungkin membaca tulisan ini selama sekitar 5 menit. Tetapi, ketahuilah, saya membutuhkan waktu total sekitar dua jam untuk memproduksinya, mulai dari mengumpulkan ingatan, membuat kerangka, menuliskannya, lalu masuk ke bagian editing, proofreading, hingga mengupload sendiri. Jadi, saya memang tidak sekadar mengandalkan jari-jari tangan dalam menghasilkan tulisan.
Saya melakukan proses produksi dari hulu ke hilir, dari tier 1 sampai tier 3, secara mandiri. Ngeri juga ya, hidup ini.Â
Persoalan ini memang harus disikapi bijaksana. Sewaktu AS dijerat great depression di awal abad ke-20, Presiden AS saat itu Franklin Roosevelt mengeluarkan kebijakan Works Progress Administration. Beberapa programnya mempekerjakan seniman dan wartawan yang menganggur.Â
Seniman diminta membuat mural, wartawan diminta menulis tentang budaya kota masing-masing. Sementara yang lain dipekerjakan untuk membangun sekolah dan infrastruktur.Â
Saat ditanya kenapa memperkerjakan seniman menganggur, Roosevelt menjawab, "Kenapa tidak? Mereka adalah manusia. Mereka harus hidup. Saya pikir yang bisa mereka lakukan hanya melukis, pasti ada tempat yang mau dilukiskan."
Untuk menjawab judul yang saya tulis sendiri, berapa harga pantas untuk seorang penulis konten lepas? Menurut hemat saya, harus ada skema seperti upah minimum. Mungkin harga layak untuk satu artikel per 500 kata harus dihargai Rp50ribu.Â
Jika ada penyedia jasa atau agensi yang melanggar ketentuan itu, usulan saya, berikan sanksi orang tersebut digelitik sampai menangis, lalu telusuri afiliasinya ke korporasi mana saja. Hidup sustainable development!
Situs kebanggaan anak edgy se-NKRI sesadis ini ngasih bayaran ke penulis yg bangun konten mereka pic.twitter.com/vwgfxQI1Vk--- #SocialJitsuWarrior (@hansdavidian) November 27, 2020
Mojok saat ini ada dua departemen, Mas. Pertama Mojok editorial. Honor per tulisan 300 ribu dan liputan 500 ribu. Kedua, Mojok Terminal, itu semacam UGC, kayak kompasiana atau kaskus, penulis bs langsung submit tulisan sendiri di website. Yg UGC ini honor per tulisan 20 ribu. https://t.co/UE3q3OttIL--- Agus Mulyadi (@AgusMagelangan) November 27, 2020
Teman2ku, janganlah karena keterbatasan budget membuat kalian tak manusiawi dalam menghargai hasil kerja orang, okeeeeee? :) pic.twitter.com/mZEbbkeoJd--- Randy Mulyanto (@randymulyanto) November 27, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H