Sebut saja jargon "Lanjutkan Indonesia Maju" oleh pasangan Prabowo-Gibran, "Gerak Cepat Indonesia Unggul" oleh pasangan Ganjar-Mahfud serta jargon "Perubahan" oleh pasangan Anies-Muhaimin.
Ini semua adalah bentuk konsepsi politik berupa gagasan yang dikonversi dalam program masing-masing kandidat. Persoalannya, bagaimana kandidat lewat tim pemenangnya mampu membuat konsepsi politik tersebut dapat diterima publik.
Dalam artian, konsepsi politik tersebut benar-benar membumi ke tataran praksis dan diterima oleh publik, sebagai sebuah keyakinan politik untuk memilih Capres yang tepat pada Pemilu nanti.
Karena hakekat kontestasi politik adalah memberikan edukasi kepada publik. Di satu sisi dapat memframing publik untuk senantiasa berpikir besar, lewat konsepsi politik dari sang kandidat Capres.
Tugas Tim Pemenangan
Membunikan konsepsi politik adalah menjadi tugas tim pemenangan, tim relawan dan simpatisan Capres. Maka celakalah tim pemenangan yang tidak dapat membumikan konsepsi politik dari kandidat ketingkat grassroot.
Celaka dimaksud adalah selain konsepsi politik tidak tersosialisasi baik ke tingkat akar rumput, juga target untuk melambungkan elektabilitas Capres tidak berjalan maksimal. Pada akhirnya keterpilihan yang bermuara pada kemenangan tidak terwujud.
Jargon yang sudah dibuat bagus hanya menjadi slogan yang menggantung di awan, jika tidak dapat dinarasikan dan dikomunikasikan secara baik. Terlebih jika narasi dan komunikasi politik, membias ke hal yang tidak substansi.
Karena harus diingat, narasi dan komunikasi politik haruslah diarahkan untuk membangun peradaban. Ini sebuah keniscayaan. Karena dalam narasi dan komunikasi mengandung pesan politik dalam dimensi nilai, simbol dan struktural.