Keberadaan Perpusnas tanpa disadari, menjawab realitas tiga paradoks yang dihadapi manusia saat ini dengan memberi solusi bagaimana menyikapinya secara bijak dan tepat.
Kunjungan saya ke gedung Perpusnas, menjawab kegelisahan paradoks pertama, bahwa digitalisasi tak akan pernah membatasi perjumpaan sesama manusia secara ofline. Terbukti bahwa Perpusnas tetap dikunjungi banyak orang terutama dari kaum milenial.
Meskipun banyak buku berbasis online  yang bisa diakses dan dibaca, namun membaca buku secara ofline di Perpusnas menjadi suatu kebutuhan. Bahwa menjadikan buku di Perpusnas sebagai referensi, memberikan dimensi berbeda bagi yang berkunjung.
Melihat banyak kaum milenial berkunjung ke gedung Perpusnas yang representatif untuk membaca, mencari referensi tugas, maupun sekedar healing, tentu saya turut senang melihat realitas tersebut.
Ini menjadi bukti bahwa kehadiran Perpusnas, menjadi sarana penguatan literasi yang signifikan, khususnya terhadap generasi milenial. Penguatan literasi ini penting, demi menyiapkan penerus bangsa yang handal dan mumpuni.
Perpurnas bagi kaum milenial tidak dianggap sebagai destinasi yang monoton dan unfaedah. Sebaliknya distinasi yang keren, nyaman, bermanfaat, sumber literasi dan layak dikunjungi untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia.
Bagaimana tidak keren, jika dari ketingian lantai 24 Layanan Budaya Nusantara, bisa melihat langsung hamparan landscape kota Jakarta yang metropolitan. Diantaranya tugu Monas dan gedung-gedung menjulang tinggi.