Bagaimana tidak nyaman, jika fasilitasnya representatif serasa di hotel. Sembari membaca dapat melihat pemandangan menarik di luar gedung. Jika jenuh, bisa rehat sejenak melihat-lihat koleksi nusantara yang dipamerkan di ruangan tersebut.
Bagaimana tidak bermanfaat, jika banyak buku tersedia yang bisa dibaca dan dijadikan referensi. Jika tidak cukup waktu membaca, bisa dipinjam dan dibawa pulang. Pengunjung yang diperhadapkan dengan tugas studi maupun pekerjaan yang membutuhkan referensi, tentu sangat terbantu Â
Perpusnas juga menjawab pradoks kedua style (gaya) versus substansi. Kaum milenial pengguna medsos sebagai sebuah eksistensi tentu tidak bisa dielakkan. Namun penguatan knowledge sebagai substansi harus lebih diutamakan, guna melengkapi keberadaan citra diri.
Kaum milenial yang rentan terdampak post truth harus bisa melengkap kepasitas diri dengan literasi yang mumpuni menjadi passion of knowledge. Karena itulah yang lebih substansi dalam menjawab tantangan transformasi digitalisasi kekinian.
Perpusnas memfasilitasi kaum milenial dengan koleksi buku dan instrumen penunjang demi passion of knowledge yang bermuara pada terpenuhinya kompetensi diri. Jika kompetensi mumpuni, maka kepercayaan diri (style) akan semakin besar.
Terakhir menjawab paradoks antara mesin versus human. Sebagai contoh pembuatan kartu anggota Perpusnas secara cepat, memadukan penggunaan peralatan digital dan tenaga manusia.
Diawali pengisian data pribadi secara online di perangkat komputer yang tersedia di lantai 2. Setelah terisi data dan terdaftar, selanjutnya menunggu panggilan untuk pencetakan kartu anggota oleh pegawai yang bertugas.
Pelibatan tenaga pegawai berfungsi untuk memverifikasi data dan pemotretan teehadap pemohon kartu anggota. Menjadi jelas, bahwa keterlibatan tenaga manusia tetap dibutuhkan. Terutama untuk hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh tenaga peralatan mesin.
Sampai disini dapat disimpulkan bahwa, tiga paradoks tersebut tidak harus menjadi sesuatu yang dipertentangkan. Namun saling melengkapi untuk menghasilkan hal yang baik dan bermanfaat.
Minimnya Koleksi Buku Daerah Sulteng
Satu hal dari kunjungan saya ke Perpusnas adalah menemukan fakta, minimnya koleksi buku-buku budaya dari daerah Sulawesi Tengah (Sulteng) yang berada di lantai 24 Layanan Budaya Nusantara.
Di rak buku yang tertera kabel Sulawesi Tengah, hanya berisi sekitar puluhan buku. Selebihnya rak terlihat kosong. Berbeda dengan daerah lain yang terlihat lebih banyak, seperti daerah Sulawesi Selatan dan Jawa Barat.