"Saya pikir kamu pasti berubah jadi sombong. Pasti tidak mau mengenal teman lama lagi."
"Buktinya saya masih mengenal kamu, kan? Sekalipun hanya via telepon, tapi saya masih hapal beberapa suara teman di Jakarta, kok. Termasuk kamu."
"Nah, di situlah kelebihan seorang Kim Yong Hyung. Makanya, waktu di Jakarta dulu semua cowok penghuni kelas naksir sama kamu."
"Hah, saya tersanjung, nih!"
"Kenyataan, kok!"
"Trims deh atas sanjungannya."
"Tapi sayang kita tidak bisa sering ketemu seperti dulu lagi, Hyung!"
"Lho, kenapa?"
"Bukan apa-apa. Posisi kamu sekarang sudah beda. Tentu saja saya tidak dapat menemui kamu di sembarang tempat. Harus membuat appointment terlebih dahulu. Harus melalui prosedur yang berbelit-belit. Huh, merepotkan sekali!"
"Yeah, I know. Itu merupakan konsekuensi saya sebagai publik figur. Tapi, kamu jangan kuatir. Kapan saja kamu dapat menemui saya."
Saya menunduk. Menggigit pelepah bibir. Meski cetusan pertemanan itu masih kuat, tapi segalanya memang sudah jauh berbeda. Ada jarak yang terbentang luas mengantarai kami. Saya telah membuang waktu percuma nyaris tiga tahun saat bersamanya di Jakarta dulu. Menyembunyikan tiga patah kata yang sampai sekarang terbebat di otak saya. Bentuk kekerdilan yang merupakan mayor inharmoni dalam hati saya.