Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Magnolia dalam Seribu Fragmen Rana (5)

19 Maret 2021   23:27 Diperbarui: 20 Maret 2021   00:46 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi novel Magnolia dalam Seribu Fragmen Rana. (inprnt.com)

Biarkan aku di sini
di ujung golok para algojo
lalu merunduk melutut menatap tanah ini
tanah yang akan kutetesi darah
dari tubuhku yang ringkih
barkan aku gugur serupa helai yang-liu
yang rontok demi kebenaran

Fa Mulan
Refleksi pada Sebuah Eksekusi

Fa Mulan menikmati bakpao terakhirnya dengan lahap. Bakpao itu terbuat dari tepung gandum berkualitas rendah. Kekuning-kuningan dan berbau apak. Biasanya berisi daging babi cincang. Tetapi kali ini negara tengah menghadapi kesulitan sehingga para prajurit hanya dijatahi beberapa buah bakpao yang berisi jenang kacang hijau. Tidak terlalu lezat dan bergizi. Tetapi ia sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu kalau perutnya sudah kelaparan di medan peperangan.

Setelah Shan-Yu membelot ke kaum pemberontak Han, Kekaisaran Yuan mulai mendapat masalah serius. Menurut data intelijen Yuan, setengah dari rahasia negara telah jatuh ke tangan Han Chen Tjing, pemimpin pemberontak yang ingin mendirikan dinasti baru dengan meruntuhkan Dinasti Yuan di bawah kepemimpinan Kaisar Yuan Ren Zhan. Dan tak dapat disangkali bahwa Shan-Yu-lah yang memiliki andil besar raibnya data penting negara tersebut.

Lalu kini ia mulai menggalang kekuatan di kubu pemberontak Han dengan membeberkan kelemahan-kelemahan militer Yuan. Selain data-data urgensi negara Yuan yang raib, persediaan logistik pangan kemiliteran seperti beras dan gandum bermutu bagus untuk prajurit-prajurit Yuan pun telah berpindah tangan ke kaum pemberontak Han. 

Pada saat musim salju, prajurit-prajurit Yuan tidak mendapat suplai makanan yang memadai. Lumbung logistik Yunan hanya dapat menyuplai gandum dan beras berkualitas rendah untuk jangka waktu yang tidak lama. Semua itu karena ulah batil Shan-Yu selama menjadi wedana di sana. Kaisar Yuan Ren Zhan memang telah kecolongan. Memelihara seekor harimau yang perlahan-lahan menerkam tuannya sendiri!

Fa Mulan masih menyendiri.

Ia duduk di dekat unggun yang sudah nyaris redup, menyisakan bara dari kayu yang sudah mengarang. Dihelanya napas panjang. Gemintang di atasnya masih berkelap-kelip. Dipandanginya satu bintang yang paling benderang di belahan langit barat. 

Semasa kanak-kanak dulu, bintang tersebut selalu bercokol pada petang hari di situ. Bahkan ia pernah menamai bintang yang, sebenarnya Planet Venus tersebut dengan nama Mata Dewa. Sudah beberapa hari ini ia tidak dapat tidur. Galau memikirkan nasib prajurit-prajurit yang terbantai. Juga pasukan pemberontak Han yang tinggal menghitung hari untuk dapat merebut daerah dan perbukitan Tung Shao.

Dipandanginya manuskrip dari Jenderal Gau Ming yang masih digenggamnya. Diserahkan Bao Ling senja tadi. Lima hari menjelang prajurit dari Divisi Kavaleri Danuh akan tiba membantu prajurit Divisi Infanteri Kamp Utara. Fa Mulan menggeleng sedih. Terlambat. Shang Weng juga sudah terluka parah. Tidak dapat berbuat banyak untuk menghalau pasukan pemberontak Han yang semakin mengganas.

"Apa yang meresahkan Anda, Asisten Fa?"

Bao Ling menyibak daun tenda, tampak menongolkan kepalanya. Ia keluar dari tendanya. Menghampiri Fa Mulan yang masih duduk di salah satu tebangan batang pinus. 

Sejak Fa Mulan diangkat oleh atase militer Yuan sebagai asisten Kapten Shang Weng, sahabat-sahabatnya, baik yang sudah menjadi Prajurit Madya maupun yang masih berstatus prajurit landai, memanggilnya dengan 'Asisten Fa'. Sebuah panggilan formal dalam kemiliteran Kekaisaran Yuan. Fa sendiri adalah nama marga Fa Mulan.

Fa Mulan tidak menggubris. Ia benar-benar resah. Mungkin besok atau lusa mereka akan tertawan oleh Shan-Yu. Dipandanginya kembali gemintang di atas langit kelam setelah mendongak sebagai bentuk kegelisahannya.

Bao Ling masih menegur pelan. "Asisten Fa...."

Namun belum ada sulih atas sapanya yang melantun di antara bunyi kerak unggun tadi. Bao Ling turut duduk di ujung batang pinus yang lembab berambun tanpa berpikir untuk mengganggu dengan sapanya yang satin meski ia prihatin. Hanya dipandanginya wajah keras gadis asal Chengdu itu. Maharana memang telah menuakan rona manis parasnya. Beberapa kerut-merut yang membentuk garis di sekitar kantung matanya membuktikan perjuangan yang telah dilewatinya dengan keras.

"Tidurlah. Kamu memerlukan istirahat yang cukup. Lima hari lagi pasukan pemberontak Han pasti sudah sampai di sini. Kita mesti punya cukup tenaga untuk melawan mereka," balas Fa Mulan akhirnya, tanpa menoleh. Ia menyimak lidah unggun yang sesekali menggemeretak dan menimbulkan lelatu kecil.

"Justru Andalah yang seharusnya perlu banyak beristirahat. Sudah tiga hari ini saya lihat Anda tidak pernah tidur," tolak Bao Ling sembari melembar sebilah kayu bakar ke lidah unggun.

Fa Mulan mengembuskan napas keras. "Saya sedang memikirkan taktik apa untuk dapat menaklukkan mereka!"

"Tapi, tidak seharusnya Anda yang memusingkan urusan strategi pertahanan seperti itu, Asisten Fa. Bukankah itu urusan para jenderal di Ibu Kota Da-du?" sanggah Bao Ling, kembali melemparkan sebilah kayu bakar ke lidah unggun.

Fa Mulan tersenyum sinis. Salah satu ujung bibirnya terangkat sedikit ke atas. Dan ia menatap sepasang mata sipit Bao Ling dengan mimik protes setelah menoleh ke wajah tirus tersebut.

"Jenderal?!" tanyanya, juga dengan nada sinis. "Kalau memang itu urusan mereka, tentu kita di sini tidak akan terjebak menunggu maut menjemput!"

"Tapi...."

Fa Mulan berdiri dari duduknya. Dielusnya spontan gagang pedang bersarung embos naga yang tersampir di pinggangnya. Mushu, pedang pusaka para leluhurnya. Itulah pedang turun-temurun yang secara satria pernah dipakai para leluhurnya untuk membela Negeri Tionggoan. 

Terakhir sebelum dipakainya, pedang itu pernah menyertai ayahnya dalam perang saudara di Tionggoan. Sampai suatu ketika ayahnya terluka parah dalam sebuah pertempuran. 

Mengalami cacat permanen pada kaki kirinya akibat tebasan pedang musuh. Pincang. Lalu meletakkan pedangnya di meja hyang para leluhur Fa.

"Bao Ling, sampai mati pun saya tetap akan berusaha menaklukkan pasukan pemberontak Han pimpinan Jenderal Shan-Yu itu!"

Prajurit yang juga merupakan penyair itu menggigit bibir. Ia tahu loyalitas Fa Mulan terhadap Kekaisaran Yuan. Ia tahu dedikasi macam apa yang telah diaplikasikannya selama menjadi prajurit wamil. Fa Mulan merupakan satu-satunya orang berjiwa heroik yang pernah dikenalnya, bahkan melebihi para jenderal yang berada di belakang meja strategi!

"Tapi, tidak sepatutnya Anda yang memikul semua tanggung jawab ini!"

"Semestinya! Tapi, di mana nurani saya bila melepaskan tanggung jawab di Tung Shao ini, sementara prajurit-prajurit Yuan sahabat-sahabat kita tumbang satu per satu, terbantai di zona tempur ini!"

Bao Ling terdiam.

Sahabatnya, Fa Mulan, adalah prajurit paling tangguh yang pernah diakrabinya. Ia pantang menyerah. Berbekal dari replikasi semangatnya itu pulalah sehingga ia mengurungkan niatnya kabur dari Kamp Utara, pulang ke rumah istananya yang damai di Ibu Kota Da-du. Menjalani hari-harinya sebagai sastrawan yang berkutat dengan kuas dan kertas. Bukannya pedang yang setiap hari dilumuri darah!

Patriotisme macam apa yang dimilikinya bila lari dari kenyataan?!

"Bao Ling, saya bukan menyesali kenapa harus terlibat dalam perang ini! Kenapa harus terjebak menunggu ajal di tempat sedingin ini. Bukan. Bukan itu semua. Tapi yang saya sesali adalah, lambannya para jenderal untuk bertindak menyelamatkan situasi. Para jenderal di pusat sangat egosentris! Mereka lebih mementingkan menyelamatkan aset-aset dan kekayaan pribadi mereka saja. Padahal, kamu tahu, di sini kita sudah terkepung. Dan mungkin besok atau lusa kita sudah berada di ujung golok penggal algojo musuh!"

Bao Ling menundukkan kepalanya.

Didengarnya isi hati Fa Mulan dengan takzim. Ia mengangguk tanpa sadar. Para pejabat di Istana Da-du memang selalu mementingkan dirinya sendiri. Buktinya, permintaan Fa Mulan dan Shang Weng agar militer pusat mengirimkan bala bantuan prajurit Divisi Kavaleri Danuh tidak diindahkan. Dan baru mengirimkan bantuan tersebut setelah situasinya tidak memungkinkan lagi!

Sudah terlambat!

"Jadi, apa yang akan kita lakukan besok, Asisten Fa?!"

"Kita bertempur habis-habisan. Lebih baik mati syahid di sini ketimbang kembali ke Ibu Kota Da-du dengan wajah tercoreng malu!"

"Ja-jadi, maksud Anda... Anda tidak mau mundur?!"

"Kalau saya ingin mundur, sejak mula dalam perekrutan wamil dulu saya sudah melarikan diri!"

"Ta-tapi, bukankah dengan memaksakan diri bertahan sama juga dengan bunuh diri, Asisten Fa?!"

Fa Mulan mengusap wajahnya.

Bibirnya terkunci. Pertanyaan Bao Ling barusan menohok hatinya. Mengurai serangkai ragu yang membabur. Jujur diakuinya kalau sekarang ia memang tengah putus asa. Hanya menanti ajal menjemput!

Tiga ratus ribu pasukan pemberontak Han akan merayapi Tung Shao! Sebuah kekuatan mahabesar yang akan memporak-porandakan Kamp Utara, yang saat ini hanya memiliki jumlah prajurit tidak lebih dari seperempat pasukan pemberontak Han!

Ia kembali mengusap wajah.

Angin yang bertiup semilir dari puncak bukit menggeraikan rambutnya yang sudah sedikit memanjang. Ia selalu memotong pendek rambutnya untuk menyamarkan identitas keperempuanannya. Tetapi sekarang tidak perlu lagi. Karena semua pejabat dan jenderal Yuan sudah mengetahui kalau Fa Mulan ternyata seorang perempuan.

Langit timur sudah sedikit menerang. Jingga baur di horizon kelam semakin menggalaukan hatinya. Mudah-mudahan pasukan pemberontak Han kesulitan meniti bukit licin bersalju besok, harapnya. Persediaan amunisi dinamit sudah habis. Sudah tiga bulan bahan peledak itu efektif menghambat laju pasukan pemberontak Han. 

Sekarang persediaan dinamit itu tidak dapat disuplai lagi karena Jenderal Gau Ming lebih memilih menghemat dinamit tersebut untuk dipergunakan mempertahankan Ibu Kota Da-du dari serangan musuh suatu saat.

Pandangannya mengabur oleh tabir uap salju yang mengkristal di hamparan bukit Tung Shao. Tenda-tenda masih berdiri, dinding-dindingnya yang terbuat dari kulit kempa lembu tampak hitam keperakan disinari cahaya bulan, yang muncul separo simetris di atas kepalanya. Disandarkannya matanya ke istal tenda. Beberapa ratus ekor kuda prajurit mungkin juga sudah terlelap karena kelelahan.

Ia menghela napas pendek.

Banyak kuda yang mati terkena tombak pasukan pemberontak Han yang sepanjang ular sawah. Senjata sederhana namun sangat efektif melumpuhkan lawan dari jarak jauh pada saat bertarung jarak dekat.

Bagaimanakah keadaan Khan?

Ia mengusap wajah.

Khan sudah cukup menderita selama ini. Khan merupakan pahlawan keluar-ganya. Ia telah banyak berjasa menyertai beberapa peperangan yang dilalui ayahnya selama menjadi prajurit kekaisaran dari generasi kedua Yuan. Dan sekarang, Khan-lah yang menyertainya membela Kekaisaran Yuan dari generasi ketiga. Mengiringi langkahnya ke mana saja. Bersamanya dalam suka dan duka.

Setelah ayahnya, Khan kuda tuanya itu merupakan makhluk yang paling dicintainya. Bahkan melebihi ibunya! Kuda hitam itu telah berjasa menyertai perjalanan hidupnya. 

Selama ia masih kanak-kanak sampai ia menjadi prajurit wamil. Ah, entah kapan Khan dapat beristirahat dengan tenang, dan tidak terlibat dalam medan peperangan lagi!

Dan....

"Siapa bilang begitu?!" Fa Mulan berkacak pinggang seperti kebiasaannya. Mengurai senyum semringah. Ada satu keyakinan teguh yang terpancar di wajah tirusnya. "Tentu saja kita tidak akan mati sia-sia!"

"Maksud Anda?!"

Entah dari mana datangnya ide taktik yang secerlang gemintang di langit. Ia masih tampak tercenung dengan wajah semringah. Seolah tidak percaya atas apa yang melintasi benaknya sendiri barusan. Sama sekali tidak menyangka akan mendapat ilham agung dari Dewata. Rupanya, para leluhur Fa masih menyertai langkahnya!

Ayah juga masih mendoakan keselamatannya!

"Bao Ling, sekarang kamu kebut kudamu ke Istana Da-du! Minta Jenderal Gau Ming untuk mengumpulkan semua kuda yang ada di Ibu Kota Da-du dan sekitarnya. Kalau perlu suruh Jenderal Gau Ming menyisir semua istal dan peternakan kuda yang ada di perbatasan Mongolia. Setelah itu, kirim segera kemari. Secepatnya!"

"Un-untuk apa?!"

"Jangan banyak tanya! Cepat laksanakan! Ini perintah atasan!"

"Tapi...."

"Eit, tunggu!"

Fa Mulan berlari masuk ke tendanya. Di dalam, ia langsung menggabruk rehal untuk menulis manuskrip yang akan disampaikan Bao Ling kepada Jenderal Gau Ming. Dirogohnya sebuah kotak persegi panjang dari tas kulit rusanya. Dikeluarkannya asbak tinta yang terbuat dari batu granit, juga pit dan selembar kertas berwarna putih kekuning-kuningan.

Dalam penerangan pelita berbahan bakar minyak samin di sebuah wadah perak berbentuk teratai, tangkas tangannya yang jenjang membubuhkan huruf kanji di atas kertas setelah mencelupkan pit ke asbak tinta. Ia tersenyum setelah selesai menuliskan pesan untuk Sang Jenderal. Keluar dengan wajah semringah. Diceritakannya taktik kamuflase yang akan menjadi penangkal serbuan musuh begitu tiba di hadapan Bao Ling.

Hanya beberapa patah kata saja, Bao Ling sudah dapat menangkap makna siasat yang membutuhkan banyak kuda tersebut. Ia mengangguk paham. Diam-diam mengagumi kecerdikan Fa Mulan.

"Saya tidak ingin membuang-buang waktu untuk menjelaskan siasat apa yang menjadi gagasan saya ini kepada para atase militer di Ibu Kota Da-du. Kita sudah terdesak. Nanti saya akan menjelaskan segalanya. Jadi, sekarang tugas kamu adalah mengirim kawat ini segera," jelas Fa Mulan sembari mendesak, dan menyodorkan gulungan kawat yang ditulisnya barusan begitu tiba di hadapan Bao Ling, yang masih berdiri dengan rupa terlongong. "Tolong sampaikan cepat! Ini menyangkut nyawa ratusan ribu prajurit Yuan. Juga jutaan rakyat Tionggoan!"

"Tapi...."

Tak ada gubrisan sebagai tanggapan. Hanya kibasan tangan Fa Mulan yang terayun, dan membungkam kalimat Bao Ling yang separo terlontar.

"Nah, berangkatlah! Hati-hati!"

Prajurit kurus bertubuh tinggi itu memacu kudanya seperti terbang. Derap-derap langkah kaki kudanya terdengar riuh membelah keheningan dini hari di Tung Shao. Menjauh dan menghilang ketika horizon di belahan timur sudah menjingga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun