“Sudahlah, Ibu. Jangan meratap-ratap seperti anak kecil begitu lagi. Percuma. Dewata tidak akan menggubris tangisan Ibu. Dewata pasti tahu kelakuan Ibu yang tiran sejak dulu terhadap saya!”
Ya, Dewata!
Setiap hari perempuan bertubuh besar serupa guci air itu marah-marah. Seolah-olah seorang Fa Li sedang melakoni satu peran sebagai ibu tiri dalam sebuah opera. Dan seorang Fa Mulan adalah anak tirinya yang mesti ditimpali dengan amarah. Entah karma apa yang telah ditanamnya pada masa lampau sehingga menuai ironi di masa sekarang.
“Mulan! Tega-teganya kamu bersikap begitu terhadap Ibu!”
Dilihatnya perempuan separo baya itu berlari ke sudut ruang. Mengempaskan pinggulnya yang besar ke bangku, serta menelungkupkan kepalanya yang sebesar lampion ke atas meja kayu. Ia tersedu. Menangis sesenggukan tanpa airmata.
Ia mencibir dari belakang. Ibunya selalu begitu. Kalau sudah terdesak, maka ia pasti mengeluarkan airmata, meraung-raung seperti bayi. Lalu skenario berikutnya, ia akan menjerit-jerit dan memukul-mukul dadanya sembari menyebut sederet nama leluhur Keluarga Fa. Leluhur Keluarga Fa yang sudah mengembara ke alam baka. Leluhur Keluarga Fa dari generasi pertama sampai mutakhir.
Herannya, perempuan itu dapat menghapal ratusan bahkan ribuan nama berantropologi Fa! Jadi kalau sudah begitu pula, ia pasti mendengar seorang Fa Li merunut nama sesepuh Fa satu per satu, seperti malaikat penjaga kubur sedang membaca daftar nama orang yang sudah meninggal, yang antri hendak ke nirwana!
“Oh, para leluhur Keluarga Fa! Karma apa yang saya perbuat hingga putri kandung saya sendiri, Fa Mulan, berani menentang saya?! Oh, dosa dan kesalahan apa yang telah saya perbuat pada kehidupan yang lalu sehingga ditimpakan kesengsaraan ini?!”
“Sudahlah, Ibu! Tidak usah bermain opera begitu! Toh Ibu tidak bakal terpilih lagi sebagai protagonis. Sekarang, Ibu bukan lagi Dewi Purnama. Ibu sudah tua!”
Perempuan itu semakin meraung-raung seperti bayi. Ya, Dewata! Entah apa yang harus ia perbuat kini. Rasa-rasanya, ia sudah tidak sanggup menghadapi tingkah kekanak-kanakan ibunya itu meski ia tahu, semua tingkahnya tersebut hanya pura-pura. Sekian belas tahun diakrabinya kelakuan tengil ibunya sehingga tahu aktualitas dan kebohongan yang hanya setipis sebilah rambut. Apologis dan pembantahan hanya akan merunyamkan masalah. Lalu pada akhirnya, bukannya menyudahi kelakuan tengilnya, perempuan itu malah semakin menjadi-jadi. Ia akan memukul-mukul papan meja dengan kedua belah telapak tangannya dan sesekali membentur-benturkan kepalanya di atas papan meja, pelan.
Ia tahu, akar permasalahannya bermuasal dari sini. Karena ia perempuan. Bukan laki-laki. Ya, Dewata! Sepele memang. Namun efek yang ditimbulkan dari genderisasi tersebut telah menjadikannya orang yang terbuang dari Keluarga Fa.