Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Magnolia dalam Seribu Fragmen Rana (1)

15 Maret 2021   02:13 Diperbarui: 15 Maret 2021   05:43 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi novel Magnolia dalam Seribu Fragmen Rana. (inprnt.com)

Ia diberi kekuatan terpendam chi Dewata. Setangkai kembang Magnolia Dewata yang diturunkan dari nirwana untuk meluruskan sebagian dari sejarah manusia yang babur. Para pembatil yang mengisi bumi dengan pertumpahan darah. Dan ketika kekuasaan memporak-porandakan peradaban, maka ia hadir sebagai pahlawan. Sebuah predestinasi yang telah digariskan oleh Sang Khalik.

“Mulan….”

Putri tunggal Keluarga Fa itu berlari seperti biasa. Ditinggalkannya teko berisi teh hijau yang baru saja hendak diseduhkan untuk ayahnya. Teriakan yang lebih menyerupai lengkingan itu mesti digubris, melalaikan rutinitas pagi atas inisiatif pengabdian terhadap ayahnya. Kalau tidak, pasti ada teriakan lain yang datang susul menyusul seolah tanpa henti. Teriakan berarogansi yang lebih berisik dari sangkakala sepanjang lima depa milik para Lama Tantrayana di Kuil Potala, Tibet.

Ia masih berlari.

Dilewatinya selasar halaman tengah rumah sampai berhenti di ruang dalam rumah. Perempuan gemuk itu sudah menanti dengan wajah berkerut seperti kulit jeruk yang meringsing. Berkacak pinggang sembari menatap nanar ke kedalaman sepasang matanya.

Dilihatnya perempuan bernama Fa Li itu menggeleng-geleng kepala. Cetusan tingkah antipati tersebut sudah terbaca dalam benaknya, bahwa ibunya itu tidak senang melihat sikap seorang Fa Mulan, putri tunggalnya. Namun, sedari dulu juga perempuan itu memang begitu. Sebab, ia sadar, ia memang keras kepala lantaran tidak mau manut barang sebentar pun menjadi perempuan sesuai keinginan ibunya itu.

Nyaris sepanjang hidup, perempuan itu berharap sangat agar anak gadisnya dapat menjadi perempuan. Tetapi rupanya Dewata bergeming, mungkin begitu pikirnya. Anak gadis satu-satunya tumpuan harap jauh panggang dari api. Asanya lantak berderai. Apa yang salah pada dirinya? Mungkinkah ada benang merah kesalahan dan dosa masa lalu yang pernah dilakukannya sehingga membuahkan karma buruk pada kehidupannya sekarang?!

“Mulaaaaan!”

“Sabar sedikit, Ibu!”

Dilihatnya perempuan itu mengentakkan kakinya ke lantai. Ya, Dewata! keluhnya. Ia benci melihat hal itu. Suatu kebiasaan yang tidak terpuji. Ya, tidak terpuji. Sebab ia tahu benar, kalau sudah begitu, maka serentetan kalimat bernada sinis akan keluar dari mulut lebar ibunya tersebut.

Dan apa yang telah terbayangkan sebelumnya memang telah menjadi kenyataan. Sekedip mata kemudian perempuan bertubuh besar itu pun telah misuh-misuh serupa bunyi tutup teko tembikar akibat ruapan air mendidih di atas tungku api.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun