Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Legenda Hantu Prajurit Belanda

8 Maret 2021   23:47 Diperbarui: 9 Maret 2021   00:01 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maya menggeliat malas di dalam balutan sarung Bugisnya. Selembar sarung pinjaman yang sudah mendekil karena tidak pernah menyentuh air. Dikucek-kuceknya mata. Sedikit merasa asing dengan dunianya yang sekarang. Amben khas dusun terasa keras menyangga punggungnya. Tidak seperti biasa.

Kali ini mau tidak mau ia harus berbaring di sana. Merelakan kemanjaannya menguap barang sebentar di desa ini. Sebuah desa pedalaman di Sulawesi Selatan. Kurang lebih makan waktu empat jam transportasi darat dari Makassar hingga mencapai dusun yang bernama Tompo Ladang di Kabupaten Bone ini.

Ada suara gaduh di pepagian. Masih fajar sebenarnya. Tapi tentu bukan kebiasaan baru dari para pedusun. Pukul lima merupakan ritual mula aktivitas. Lewat dari jam itu lima menit pun berarti kesiangan.

"Bagaimana, Daeng betah di dusun ini?"

"Hm, lumayan. Sudah lama saya tidak kemari. Sudah banyak perubahan. Tapi, legenda tentang hantu-hantu prajurit Belanda itu masih sering dibicarakan penduduk desa."

"Oh, legenda itu memang sudah mendarah-daging di desa ini, Daeng."

Suara bariton yang dipanggil dengan 'Daeng' itu pasti bukan penghuni rumah sederhana mereka menginap sekarang. Sudah empat hari, tapi tidak ada satu pun makhluk dari kaum Adam di sini -- di sini berarti di rumah sederhana ini.

Setahunya, wanita tiga puluhan yang menampung mereka -- wanita itu merupakan ibu tiri Lingga, sahabatnya -- tidak memiliki sanak keluarga di kampung ini. Sebab ia merupakan wanita peranakan Bugis perantauan dari Kalimantan. Lalu beranak pinak dua putri hasil pernikahannya dengan ayah Lingga yang saat ini sudah berpoligami tiga istri. Wanita itu merupakan istri kedua.

Ia paham sedikit bahasa Bugis. Meski tidak menggunakannya sebagai bahasa pengantar di rumah, tapi ia mengerti dari percakapan dan dialog kedua orangtuanya yang asli Bugis Bone. 

Namun, ia sama sekali tidak bisa menulis huruf Lontara lagi. Huruf Lontara adalah huruf kuno masyarakat suku Bugis. Jarang dipakai lagi selain orang-orang tua dan sesepuh desa.

"Kalau begitu, apa benar hantu-hantu prajurit Belanda itu pernah menampakkan diri?"

"Kurang pasti. Tapi, beberapa penduduk kampung mengatakan pernah melihatnya. Ah, entahlah, Daeng. Mungkin juga halusinasi mereka."

"Aneh juga, ya? Bagaimana mungkin kejadian puluhan tahun silam itu masih melegenda...."

"Maksud Daeng...."

"Maksud saya, konon hantu-hantu prajurit tersebut merupakan arwah para tentara Belanda yang gugur dalam sebuah pertempuran di zaman kemerdekaan dulu. Jadi, ya aneh saja menurut saya kalau legenda itu masih menjadi momok di desa ini".

"Itulah persoalannya, Daeng. Kabar tentang pemunculan hantu-hantu prajurit yang konon sepasukan tentara Belanda itu kadang-kadang meresahkan penduduk desa. Aktivitas malam biasanya terganggu. Orang-orang jadi takut keluar malam. Kata mereka juga sih, kadang-kadang mereka mendengar suara derap-derap sepatu lars yang mengentak-entak tanah seperti barisan para serdadu di malam hari!"

"Apa mungkin...."

"Tapi sudah lama penampakan hantu-hantu itu menghilang. Namun, kadang-kadang mereka muncul lagi pada saat-saat tertentu seperti pada tengah malam Jumat Kliwon!"

Tubuh Maya mendadak menegak, duduk dari berbaring di amben. Dingin udara pagi desa sontak menghangat di tubuhnya. Kantuknya langsung tergebah. Ia masih meringkuk di dalam sarungnya dengan pikiran baur.

***

Andi Maya Hamdani mengedarkan matanya ke sekeliling. Hamparan sawah menghijau indah seperti permadani para gergasi di negeri antah berantah. Imajinasi hasil dongeng yang sering dibacanya semasa kecil. Pandangannya berhenti pada satu titik. Ada sebuah jineng berdiri di pinggir sawah. Tempat menaruh segala harapan hasil jerih payah para petani. Di sampingnya, beberapa ekor jongga merumput di dekat pematang.

Alam desa masih membuainya. Kesederhanaan yang mengakrabinya empat hari belakangan ini membersitkan secuil rasa damai. Tidak ada pikuk metropolis yang senantiasa mengirimkan atmosfer penat. Di sini segalanya beda. Ia merasa lebih dekat dengan mahakarya Sang Khalik.

Lingga masih menyertainya di pematang. Di sana ia menceritakan percakapan wanita pemilik rumah mereka menginap dengan seorang lelaki yang direkanya, mungkin kerabat dari jauh ibu tiri Lingga itu.

"Aku tidak percaya!"

"Jangan takabur, Ling! Kamu bisa kualat kalau kebetulan hantu-hantu itu mendengarmu!"

Pertentangannya dengan Lingga sampai pada titik debat. Fragmentasi yang tertunda. Akumulasi dari persaingan mereka di sekolah. Ia nomor satu atau Lingga nomor dua. Begitu pula sebaliknya.

"Orang kampung memang begitu. Masih percaya takhayul."

"Pasti ada sebabnya kalau mereka meyakini sampai ke level legenda."

"Hihihi. Kamu cocok jadi cerpenis khusus kisah seram!"

"Kamu...."

"Sorry, bukannya aku ngeledek. Di zaman mutakhir ini, kamu yang makan sekolahan masih percaya hantu?!"

"Bukan masalah percaya atau tidaknya! Tapi, mana bisa ada asap kalau tidak ada api!"

"Peribahasamu bagus. Aku pikir, jangan menggantang asap kalau baranya pun sudah padam! Hihihi...."

"Linggarjati Jamaluddin Amran!"

"Sorry."

"Bagaimanapun juga, benar atau tidaknya legenda hantu-hantu tentara Belanda itu, kita mesti menganalisis detail...."

"Maksudmu, kita selidiki apakah hantu-hantu itu ada seperti dalam The Ghostbuster?"

"Nih, anak! Tentu saja bukan begitu. Maksudku, kalau kisah itu ternyata tidak benar dan hanya semacam metafora orang-orang kampung, apa salahnya kisah tragis dari masa lalu itu dijadikan legenda pengacu moral. Bahwa manusia harus belajar dari sejarah, agar lembaran hitam kemanusiaan tidak terulang lagi di kemudian hari!"

"Hihihi... kamu lucu."

"Kenapa ketawa, dan apa yang lucu?!"

"Don't be angry. Kamu lebih mirip mualim ketimbang mahasiswi yang lagi vakansi."

"Huh, kamu...."

"So, kelanjutan tentang legenda hantu-hantu itu bagaimana?"

"Hm, yang aku dengar pagi tadi di balik kamar sih tidak jauh-jauh dari asas praduga tak bersalah. Maksudku, masih dalam kausa praduga. Jadi, belum ada kesimpulan pasti tentang penampakan hantu-hantu prajurit Belanda itu. Tapi, beberapa penduduk desa sih pernah melihat penampakan itu. Namun Ibu Tirimu itu bilang, kalau dia lebih percaya kalau semua itu hanya halusinasi penduduk desa saja."

"Makanya, sejak mula aku tidak percaya pada legenda hantu-hantu itu."

"Itu asumsimu. Tapi, bukankah kata pebijak kalau kehidupan kita ini tidak terlepas dari unsur gaib?"

"Unsur gaib?!"

"Yah, salah satunya adalah adanya makhluk-makhluk halus. Seperti hantu-hantu itu."

"Tapi, lebih baik berpikir rasional, Maya! Apa jadinya dunia ini kalau semua penghuni planet bumi percaya pada hal-hal irasional. Meski desa ini merupakan tanah para leluhurku, tapi bukan berarti praktis aku harus percaya. Tidak semua legenda yang berasal dari sini dapat keterima dalam benakku sebelum melalui seleksi nalar. Ayahku pun punya prinsip yang sama. Bahkan Ibu Tiriku yang tinggal beranak pinak di sini, juga tidak serta merta dapat menerima legenda hantu-hantu prajurit itu." 

"Tapi...."

"Jangan bikin skenario horor lagi, Maya. Kalau tidak, acara liburan kita yang jarang-jarang ini bakal terecoki dengan kisah beralur babur itu."

"Tapi...."

"Tidak ada tapi-tapian lagi! Sekarang, kita pulang. Ikan asin gorengan Ibu Tiriku sudah tercium dari sini. Perutku tiba-tiba lapar!"

Andi Maya Hamdani mengurai simpul bibir. Tersenyum mendengar opsi ringan penyegar suasana. Ia mengekor seperti pitik. Perutnya juga sudah keroncongan.

***

Terdengar suara lolongan anjing serupa tangisan. Ada burung-burung malam berkelebat di atap rumah. Entah, mungkin kelelawar. Maya meringkuk lebih dalam ke dalam sarungnya. Ia masih dihantui bayangan ilusinya sendiri tentang hantu-hantu korban revolusi, sepasukan prajurit asing yang mati dalam perang di desa ini.

Gelap di sekeliling. Hanya ada penerangan kecil dari lampu teplok di tengah rumah. Lingga di sampingnya. Mendengkur dalam nada nyenyak. Ia menggigit bibir. Ada suara gaduh di luar, seperti derap-derap langkah sepatu lars para serdadu. Sontak tubuhnya menggigil. Dahinya mulai diembuni noktah-noktah keringat dingin.

Dipejamkannya mata rapat-rapat. Suara itu masih terdengar, menderas jelas mengarah di samping rumah. Hantu-hantu prajurit! Hantu-hantu penasaran yang berasal dari arwah-arwah tentara yang meninggal secara tidak wajar! Yang mati dalam sebuah pertempuran kemerdekaan puluhan tahun silam!

Ia masih menggigil ketakutan, lalu berdoa dengan pikiran balau meski suara gaduh itu sudah menjauh dan menghilang seperti tertiup angin. Satu salakan anjing menyudahi segalanya.

"Kamu kenapa?!"

Ada suara sember melonjakkan badannya. Bibirnya bergetar dengan wajah memucat. Lingga menatapnya dengan rupa bingung.

"Han... hantu itu...!"

"Tidak ada hantu!" sergah Lingga kesal.

"Ta... tapi, ak-aku jelas-jelas mendengar derap-derap langkah mereka tadi!"

"Kamu bermimpi!"

"Demi Tuhan, tidak! Ak... aku ti... tidak sedang bermimpi!"

"Berarti kamu salah dengar."

"Tidak! Itu langkah para serdadu...."

"Serdadu?! Apakah kamu melihatnya sendiri?!"

Gadis yang tengah ketakutan itu menggeleng.

"Nah, bagaimana kamu tahu kalau suara itu adalah hantu para serdadu kalau kamu tidak melihatnya?!"

"Ta... tapi, derap-derap sepatu lars mereka...."

"Belum tentu derap-derap sepatu lars! Jangan ngaco, ah!"

"Tapi...."

"Itu mungkin suara derap langkah serombongan kerbau. Kadang-kadang petani di desa ini memang membuka kandang kerbau mereka malam-malam, agar kerbau-kerbau itu dapat merumput sampai pagi di pinggir-pinggir pematang!"

"Tapi, legenda itu...."

"Legenda. Just a legend! Untuk apa dipikirkan seribet itu?! Legenda merupakan mitologi khazanah moralitas. Siang tadi kamu juga bilang begitu, kan? Nah, apa lagi yang kamu pikirkan? Hei, aku tidak mau bertanggung jawab pada kedua orangtuamu kalau pulangnya tahu-tahu kamu sudah jadi gila, lho!"

Maya masih meringkuk dengan tubuh gemetar di dalam balutan sarungnya. Sama sekali tidak berminat menanggapi guyonan Lingga. Digigitnya bibir. Mencerna semua kalimat subtil yang disampaikan sahabatnya barusan. Mungkin Lingga benar. Mungkin juga salah.

Selayaknya ia memang yang harus memutuskan sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun