"Hm, yang aku dengar pagi tadi di balik kamar sih tidak jauh-jauh dari asas praduga tak bersalah. Maksudku, masih dalam kausa praduga. Jadi, belum ada kesimpulan pasti tentang penampakan hantu-hantu prajurit Belanda itu. Tapi, beberapa penduduk desa sih pernah melihat penampakan itu. Namun Ibu Tirimu itu bilang, kalau dia lebih percaya kalau semua itu hanya halusinasi penduduk desa saja."
"Makanya, sejak mula aku tidak percaya pada legenda hantu-hantu itu."
"Itu asumsimu. Tapi, bukankah kata pebijak kalau kehidupan kita ini tidak terlepas dari unsur gaib?"
"Unsur gaib?!"
"Yah, salah satunya adalah adanya makhluk-makhluk halus. Seperti hantu-hantu itu."
"Tapi, lebih baik berpikir rasional, Maya! Apa jadinya dunia ini kalau semua penghuni planet bumi percaya pada hal-hal irasional. Meski desa ini merupakan tanah para leluhurku, tapi bukan berarti praktis aku harus percaya. Tidak semua legenda yang berasal dari sini dapat keterima dalam benakku sebelum melalui seleksi nalar. Ayahku pun punya prinsip yang sama. Bahkan Ibu Tiriku yang tinggal beranak pinak di sini, juga tidak serta merta dapat menerima legenda hantu-hantu prajurit itu."Â
"Tapi...."
"Jangan bikin skenario horor lagi, Maya. Kalau tidak, acara liburan kita yang jarang-jarang ini bakal terecoki dengan kisah beralur babur itu."
"Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian lagi! Sekarang, kita pulang. Ikan asin gorengan Ibu Tiriku sudah tercium dari sini. Perutku tiba-tiba lapar!"
Andi Maya Hamdani mengurai simpul bibir. Tersenyum mendengar opsi ringan penyegar suasana. Ia mengekor seperti pitik. Perutnya juga sudah keroncongan.