Alam desa masih membuainya. Kesederhanaan yang mengakrabinya empat hari belakangan ini membersitkan secuil rasa damai. Tidak ada pikuk metropolis yang senantiasa mengirimkan atmosfer penat. Di sini segalanya beda. Ia merasa lebih dekat dengan mahakarya Sang Khalik.
Lingga masih menyertainya di pematang. Di sana ia menceritakan percakapan wanita pemilik rumah mereka menginap dengan seorang lelaki yang direkanya, mungkin kerabat dari jauh ibu tiri Lingga itu.
"Aku tidak percaya!"
"Jangan takabur, Ling! Kamu bisa kualat kalau kebetulan hantu-hantu itu mendengarmu!"
Pertentangannya dengan Lingga sampai pada titik debat. Fragmentasi yang tertunda. Akumulasi dari persaingan mereka di sekolah. Ia nomor satu atau Lingga nomor dua. Begitu pula sebaliknya.
"Orang kampung memang begitu. Masih percaya takhayul."
"Pasti ada sebabnya kalau mereka meyakini sampai ke level legenda."
"Hihihi. Kamu cocok jadi cerpenis khusus kisah seram!"
"Kamu...."
"Sorry, bukannya aku ngeledek. Di zaman mutakhir ini, kamu yang makan sekolahan masih percaya hantu?!"
"Bukan masalah percaya atau tidaknya! Tapi, mana bisa ada asap kalau tidak ada api!"