"Kalau begitu, apa benar hantu-hantu prajurit Belanda itu pernah menampakkan diri?"
"Kurang pasti. Tapi, beberapa penduduk kampung mengatakan pernah melihatnya. Ah, entahlah, Daeng. Mungkin juga halusinasi mereka."
"Aneh juga, ya? Bagaimana mungkin kejadian puluhan tahun silam itu masih melegenda...."
"Maksud Daeng...."
"Maksud saya, konon hantu-hantu prajurit tersebut merupakan arwah para tentara Belanda yang gugur dalam sebuah pertempuran di zaman kemerdekaan dulu. Jadi, ya aneh saja menurut saya kalau legenda itu masih menjadi momok di desa ini".
"Itulah persoalannya, Daeng. Kabar tentang pemunculan hantu-hantu prajurit yang konon sepasukan tentara Belanda itu kadang-kadang meresahkan penduduk desa. Aktivitas malam biasanya terganggu. Orang-orang jadi takut keluar malam. Kata mereka juga sih, kadang-kadang mereka mendengar suara derap-derap sepatu lars yang mengentak-entak tanah seperti barisan para serdadu di malam hari!"
"Apa mungkin...."
"Tapi sudah lama penampakan hantu-hantu itu menghilang. Namun, kadang-kadang mereka muncul lagi pada saat-saat tertentu seperti pada tengah malam Jumat Kliwon!"
Tubuh Maya mendadak menegak, duduk dari berbaring di amben. Dingin udara pagi desa sontak menghangat di tubuhnya. Kantuknya langsung tergebah. Ia masih meringkuk di dalam sarungnya dengan pikiran baur.
***
Andi Maya Hamdani mengedarkan matanya ke sekeliling. Hamparan sawah menghijau indah seperti permadani para gergasi di negeri antah berantah. Imajinasi hasil dongeng yang sering dibacanya semasa kecil. Pandangannya berhenti pada satu titik. Ada sebuah jineng berdiri di pinggir sawah. Tempat menaruh segala harapan hasil jerih payah para petani. Di sampingnya, beberapa ekor jongga merumput di dekat pematang.