Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Biru dari Leiden

23 Februari 2021   00:02 Diperbarui: 23 Februari 2021   01:09 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen Surat Biru dari Leiden. (gis.edu.mv)

Heidy yang manis,

Mungkin suatu saat aku akan keluar dari neraka ini. Aku sadar tidak dapat meninggalkan lelaki itu. Aku butuh dia melebihi yang kamu kira selama ini. Melebihi kapasitas sebagai suami manapun dari istri-istri yang ada di dunia ini! Hiperbolis? No! Ini kenyataan yang tidak bisa disangkali. Dan seandainya bisa disangkali, maka aku merupakan perempuan yang paling beruntung di dunia!

Why? Karena aku diangkatnya dari lumpur yang paling belepotan di dunia ini? Karena dia pula, coreng-moreng malu yang telah aku saput di wajah kedua orang tuaku dapat terhapus seketika. Aku punya utang nyawa yang sampai kiamat pun mungkin tidak dapat terlunasi.

Hehehe. Ini bukannya cerita roman pengantar tidur! Yang beralkisah tentang seorang Pangeran dari Negeri Kahyangan yang datang menjemput Putri dari Negeri Marjinal, memboyong lalu mengawininya di istana atas awan. Selanjutnya, hidup bahagia everafter!

Hal itu hanya dongeng klasik pengantar bobo belaka. Pada kenyataannya, happy ending yang selalu menjadi cerita pamungkas dari dongeng-dongeng tersebut tidak pernah mengejawantah dalam hidupku. Padahal, itu merupakan impianku yang paling tinggi. Yang tidak pernah kudapat dari seorang Antonius Frank Rijkers!

Lalu silih berganti makhluk yang bernama laki-laki masuk dalam kehidupanku. Aku kembali terpuruk ke dalam mimpi buruk. Menghadirkan serangkaian memori apatis, bahwa di planet biru yang hangat ini ternyata tidak ada tersisa satu pun laki-laki dengan sepasang sayap di hatinya. Semuanya iblis berwajah tampan!

Aku tidak mengerti kenapa bisa jatuh ke duniaku yang lama itu, Heidy. Aku merasa, aku tidak pantas hidup dalam bayang-bayang kelam berselubung dosa itu!

Ooh-ooh!

Memang sudah sepantasnya kalau aku diganjar tamparan bahkan berkali-kali untuk kelakuanku yang rendah menyusur tanah begitu.

Tapi, pantaskah semua kesalahan ini dilimpahkan kepadaku? Sementara Anton memiliki benang merah sehingga terajut kisah duka lara itu! Tahu tidak, dia bukan kucing jantan manisnya Profesor Agnes Nathasa Rijkers lagi. Dia sudah berubah menjadi beruang kutub yang tinggal menunggu hari hingga mencabik-cabik habis tubuhku.

Sejak gagal menghadiahinya seorang anak, kucing manis itu mulai bertingkah. Dia tidak romantis lagi. Mulai apatis dengan cinta semanis tebu yang dulu melatarbelakangi perkawinan kami. Apalagi, kucing manis itu juga telah dihasut sepoi-sepoi angin dari bibir dosen kita tercinta, Profesor Agnes Nathasa Rijkers. Sehingga hanya dalam bilangan hari saja sepoi-sepoi angin itu sudah menjadi topan puting-beliung mengerikan yang memporak-porandakan rumah tangga kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun