Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angpau Imlek Kali Ini

19 Februari 2021   22:28 Diperbarui: 20 Februari 2021   12:54 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen Angpau Imlek Kali Ini. (Effendy Wongso)

Tangerang, 2000

Semua manusia memiliki masalah. Seberat apa, hanya hati masing-masing manusialah yang dapat mengejawantahkannya. Dan karena masalah itu pulalah maka saya melarikan diri ke tempat teduh ini.

Klenteng Boen Tek Bio di Tangerang sehari menjelang Imlek dipadati rimba manusia. Saya berdiri terpaku di sini. Lunglai menyaksikan hilir mudik umat yang datang silih berganti seperti tak ada henti-hentinya. Lalu menjebak dan menghimpit saya sendiri. Yang saat ini hanya dapat mengibas-ibaskan tangan menggebah asap oksidasi dupa yang memerihkan mata.

Saya tercenung setelah mengikuti ritual turun-temurun itu. Sesaat saya pandangi paidon raksasa di luar gerbang klenteng. Menatap lidi-lidi dupa yang bergeletar tertiup semilir angin serta mengembuskan asapnya hingga bergerak melingkar ke atas.

Bodohnya, saya selalu mengharap dupa yang saya tancapkan tadi dapat menyampaikan pesan pada dewata di langit. Agar segera menyudahi lara dalam keluarga saya yang seperti tidak ada habis-habisnya.

Semestinya saya tahu kalau sehari sebelum Imlek, tempat teduh ini selalu dipadati orang-orang yang khusuk memohon syukur pada Sang Khalik. Bukannya mengharap datangnya mukjizat seperti sulap, dan mengubah seorang gadis gembel menjadi Cinderela.

Semestinya saya sadar kalau besok adalah hari Imlek, Tahun Baru yang selalu menjanjikan hari-hari yang lebih baik dibanding hari-hari lalu. Bukannya mematung dengan benak baur, dan mengharap ada keajaiban yang dapat segera mengubah jalan hidup keluarga saya.

Tapi naifnya, saya selalu pesimis memandang hari-hari baru tersebut. Tak ada keceriaan dan senyum tulus kala bersilaturahmi pada sanak keluarga. Tak terlihat keindahan lampion-lampion merah yang tergantung pada langit-langit kanopi dan balkon rumah. Juga tak terdengar syahdu dendang-dendang bernuansa Imlek yang diputar beberapa warga Tionghoa di sepanjang gigir Sungai Cisadane, Tangerang. Sungguh. Saya tak pernah meresapi kebahagiaan itu. Dan anehnya, kehadiran saya serupa manekin di tempat teduh ini hanyalah merupakan kesia-siaan belaka!

Saya menggigit bibir. Airmata saya sudah bergulir. Sungguh ironi yang sangat bertolak belakang dengan kekhidmatan suasana menjelang Imlek besok. Saya ingin membendung tangis, tapi saya tidak mampu. Lara itu menguak di memori kepala saya dan membilurkan giris kenangan. Tentang nestapa masa lalu. Tentang kemiskinan dan kepedihan perjuangan hidup keluarga kami. Tentang kerasnya hari-hari yang akan terlewati tanpa Papa sebagai tiang penopang keluarga kami lagi.

"Hai, Gadis Cina Benteng!"

Saya terkesiap. Satu tepukan yang menyertai kalimat tadi menyentuh cukup keras di pundak saya. Saya saput lekas airmata yang masih menggantung di pelupuk. Saya kenal baik suara itu. Kurang lebih tiga tahun saya akrabi suara bariton itu. Bersama-sama dalam suka dan duka di sekolah. Dan saya hapal betul julukan yang selalu ia tujukan kepada saya. Gadis Cina Benteng!

Gadis Cina Benteng?!

Hah, mendengar kalimat itu hati saya seperti tertikam lagi. Banyak kenangan yang melatarbelakangi panggilan artifisial tersebut bagi saya. Cina Benteng merupakan julukan bagi kebanyakan warga Tionghoa asal Tangerang. Terus terang saya kurang paham asosiasi dan makna dari kalimat itu. Tapi sudah turun-temurun julukan itu diberikan kepada warga Tionghoa asal Tangerang yang sudah berasimilasi dengan penduduk asli setempat. Jujur, saya senang dengan panggilan itu. Sebab saya tahu kalau seorang Roy Chandra pernah mencintai saya. Dan kalimat itu sering dilontarkannya dengan penuh afeksi, kelembutan dan kasih sayang. Sayang saya menampik semua kebaikannya. Lebih memilih merentangkan jarak dengan cowok berwajah khas oriental itu karena menyadari strata sosial yang jomplang di antara kami. Dan ketika kesepadanan menjadi tolok-ukur, maka retaknya hubungan antara kami tidak dapat dihindarkan lagi.

"Hei, kamu kok nangis sih, Ailing?!"

Ya, Tuhan! Please, luputkan saya dari dari tatapan matanya yang setajam elang! Sebab kalau tidak, sorot mata teduhnya itu akan memenjarakan saya dalam kenangan-kenangan lama yang, sudah lama saya kubur dalam-dalam.

"Eh, ka-kamu Roy? Kok kamu bisa berada di sini, sih?!"

"Klenteng adalah tempat ibadah untuk umum. Memangnya Roy Chandra tidak boleh kemari?"

Cowok itu mendelik, menyembulkan sederetan giginya yang gading. Ia tampak lain dengan kemeja ala Cinanya. Tidak bergaya hippies lagi seperti biasanya. Yang enjoy mengenakan kaus oblong dan celana jeans sobek-robek seperti yang saya kenal sebelumnya.

"Sudah lama di klenteng ini?"

"Baru saja datang. Eh, kamu belum jawab pertanyaan saya."

"Tentang apa?"

"Tentang ini."

Ya, Tuhan! Saputan gegas telapak tangan saya tadi tak sempurna menghapus  airmata yang menggantung di pelupuk. Roy memegang pipi saya dengan lembut, dan menghapus titik airmata yang masih basir menempel di sana.

"Maksud kamu, airmata?"

Roy mengangguk. Kibasan rambut cat pirangnya yang sebahu tergerai mengiramai bahasa tubuhnya saat mengatakan 'ya' tadi. Saya berlagak tengil, menyandarkan tangan saya di bahunya yang lapang. Mencoba menyamarkan suasana hati yang tengah dirundung galau. Seolah tidak bermasalah dengan suasana hati.

"Bukan airmata tangis. Tapi airmata korban asap oksidasi dupa."

Saya menggigit bibir. Sebuah tindakan yang sia-sia. Sebab cowok bertubuh jangkung itu kembali menggeleng dan mengatakan 'tidak' dalam bahasa tubuh.

"Kamu jangan bohong!"

"Siapa yang bohong? Roy Chandra, Roy Chandra. Asap dupa di mana-mana. Nah, mataku tuh teriritasi asap dupa. Jadi, bukan nangis bombay seperti sangkamu tadi."

"Ailing, kalau ada masalah, kamu curhat dong!"

"Siapa juga yang punya masalah?"

"Kalau tidak ada masalah, tidak mungkin kamu nangis begitu tadi."

"Aduh, Roy. Aku tuh tidak nangis!"

Saya mengusap wajah. Roy tahu saya sedang berbohong. Tiga tahun bersamanya di SMP dulu telah mengakarkan ikatan batin yang dalam di antara kami. Ia tahu karakter saya. Sebaliknya pun begitu. Dan saya menyesali karena momen kebersamaan suatu waktu dulu itu pulalah, sehingga ia tahu betul kalau saat ini saya tengah bersandiwara.

***

"Ada masalah apa, sih?"

"Ti-tidak...."

Roy belum menanggapi kalimat saya yang tak rampung barusan. Ia masih berkonsentrasi mengemudikan BMW-nya untuk markir di area parkir sebuah mal di Lippo Karawaci. Sesaat ia tadi menarik tangan saya keluar dari klenteng tanpa mempedulikan kalimat separo protes saya, yang menolak untuk ikut dengannya barang sebentar ke pusat kota.

"Ailing, saya ingin kamu jujur. Saya tahu kamu sedang ada masalah. Masa sih sama saya kamu juga harus menutup-nutupi masalah yang tengah kamu hadapi itu?!"

"Saya tidak apa-apa, kok!"

"Siapa bilang?!" bantahnya dengan mimik tidak senang. "Airing, adik kamu yang bilang sendiri kok, kalau keluarga kalian tengah dirundung masalah!"

Ya, Tuhan!

Airmata saya merembes tanpa sadar. Airing memang comel! maki saya, gusar terhadap adik saya satu-satunya itu. Ngapain juga ia menghubungi cowok yang sudah lama tak pernah berhubungan lagi dengan saya sejak graduasi SMP kami?! Huh, pasti ia mencuri tahu nomor telepon cowok itu dari diari saya!

"Dia menelepon saya, katanya...."

***

              

Kring....

"Halo...."

"Selamat siang."

"Siang."

"Maaf. Bisa bicara dengan Roy Chandra?"

"Ya, saya sendiri."

"Kak Roy, ini Airing!"

"Airing?! Airing yang mana, ya?"

"Adik Ailing, teman Kak Roy sewaktu di SMP dulu."

"Itu, lho. Yang biasa Kak Roy panggil Gadis Cina Benteng. Saya ini adiknya."

"Ya, ampun! Airing?! Airing kok suaranya lain, sih?"

"Ya terang lain, Kak Roy. Airing sekarang kan sudah SMP. Dulu waktu Kak Roy masih sering main ke rumah, Airing masih culun. Kalau tidak salah masih kelas enam SD."

"Ya, ampun. Saya lupa kalau kamu sekarang tuh sudah gede. Eh, kamu telepon dari mana? Maksud saya, kamu sekarang di mana? Masih di Tangerang?"

"Iya. Kami masih di Tangerang, Kak Roy. Airing menelepon di wartel dekat rumah."

"Hm, bagaimana keadaan kalian? Sehat-sehat saja, kan?"

"Ya, kami sehat-sehat saja, Kak Roy. Tapi, Papa sudah meninggal enam bulan yang lalu!"

"Ya, Tuhan! Maaf, saya tidak tahu...."

"Kak Roy, Airing tidak mengganggu kan?"

"Oh, tidak, tidak. Saya malah senang bisa ngobrol lagi dengan kamu. Hm, Ailing kakak kamu sekarang di mana?"

"Di Klenteng Boen Tek Bio, Kak Roy."

"Ah ya, besok kan Imlek?"

"Iya, Kak Roy. Kak Roy, Airing pingin berterus terang. Boleh?"

"Ada apa, Airing?"

***

"... setelah berterus terang dan menceritakan masalah keluarga kalian, saya langsung cabut dari rumah dan mencari kamu di klenteng tadi."

 "Airing lancang!"

 "Jangan salahkan adik kamu, Ailing. Ini inisiatif saya untuk membantu sementara keuangan kalian, kok."

"Tapi saya bisa mengatasi masalah keluarga saya, kok!"

 "Jangan keras kepala begitu. Anggap saja ini kredit kalau kamu tidak mau terima secara ikhlas. Lagi pula, memangnya kamu dan keluarga kamu mau tinggal di kolong jembatan apa?! Ingat, rentenir Papa kamu itu tidak mau kompromi kasih kamu waktu untuk cari uang buat melunasi hutang-hutang Papa kamu. Lusa setelah Imlek, mereka pasti datang lagi dan menyita rumah gubuk kalian."

 "Tapi...."

Entah mengapa, tiba-tiba hari ini saya seperti menjadi gadis yang paling cengeng sedunia. Airmata saya kembali bergulir menanggapi kebaikan hati Roy. Setelah mendengar masalah keluarga kami dari Airing, cowok itu langsung berinisiatif membantu keuangan keluarga kami dengan melunasi hutang-hutang mendiang Papa kepada seorang tauke di Tanjung Burung. Semasa hidupnya, mendiang Papa memang pernah meminjam uang kepada rentenir tersebut untuk buka usaha kelontong di kawasan Pasar Lama, dengan agunan surat berharga kepemilikan rumah kami. Meski tidak seberapa banyak, tapi kian hari pinjaman tersebut membengkak lantaran bunganya yang tinggi berkali-kali lipat. Sewaktu Papa sakit-sakitan karena tuberculosis, usaha kelontong Papa tersebut terus menerus menurun dan akhirnya bangkrut. Meski begitu, pinjaman tersebut tetap harus dilunasi.

"Terimalah, Ailing."

Saya tepis amplop berwarna cokelat berisi uang yang disodorkan Roy kepada saya dengan sikap sedikit kasar. Amplop itu terpental di atas dashboard mobil. Roy memejamkan matanya menahan amarah yang mengubun. Dibenturkannya telapak tangannya tanpa sadar di atas kemudi. Klakson meraung memekakkan. Saya terentak kaget. Tidak menyangka cowok bermata teduh itu dapat segusar begitu.

"Te-terima kasih, Roy. Tapi maaf, saya tidak bisa menerimanya!"

"Kenapa?! Gengsi?!" Roy menggunturkan kalimatnya. "Kamu ini selalu jaim, Ailing!"

"Ta-tapi...."

"Dulu, sewaktu kita di SMP pun kamu selalu begitu. Kamu tidak mau menerima apa-apa yang saya berikan. Kado ulangtahun. Kado valentine. Semuanya kamu tolak. Heh, harga diri kamu terlalu tinggi, Ailing!"

Saya tercekat dengan kerongkongan memerih. Kenangan lama itu kembali melintas di benak saya. Memang benar. Ailing Lim yang pelajar SMP itu selalu jaga jarak dengan anak konglo Roy Chandra. Ailing Lim yang ABG itu selalu menolak ketulusan anak tunggal pengusaha garmen kaya tersebut karena tahu diri. Sampai-sampai cowok ramah serta baik hati itu merasa tersisih dan terpinggirkan. Dan menganggap seorang Ailing Lim tak pernah mencintainya. Padahal....

"Ailing, please... terimalah! Anggap saja saya membantu Mama kamu, juga Airing adik kamu!"

"Tapi...."

"Tidak ada tapi-tapian. Harus kamu terima, atau saya akan memusuhi kamu seumur hidup. Dan akan melupakan kamu selama-lamanya!"

Saya kembali menangis sampai ujung rambut saya yang sebahu lepek oleh airmata. Entah karena tidak punya pilihan dan cara lain untuk melunasi hutang mendiang Papa, akhirnya saya terima juga amplop coklat yang masih disodorkan Roy dengan paksa. Diam-diam saya melirik. Cowok itu tersenyum dengan mimik menang.

"Te-terima kasih ya, Roy. Suatu saat pasti akan saya kembalikan!"

"Oh, harus, harus. Di dunia ini mana ada sih yang gratis."

Saya mengernyit. "Maksud kamu...."

"Begini, uang ini tidak usah kamu kembalikan dalam bentuk cash. Tapi, anggap saja gaji kamu selama menemani saya JJS sehari-harian ini."

"Hei...."

"Eit, jangan ngeles! Kamu sudah menerima uang, berarti sekarang kamu harus patuh bekerja menuruti majikan."

"Hei...."

"Nah, sekarang ikut saya borong-borong di mal. Tenaga kamu saya perlukan untuk gotong-gotong belanjaan."

"Un-untuk apa?"

"Untuk Imlek besok. Memangnya kamu, Airing, dan Mama kamu tidak perlu...."

"Ja-jangan...."

"Tidak boleh membantah majikan. Ayo, cepat!"

Saya terkikik melihat tingkah Roy yang lucu. Rasanya keajaiban telah diturunkan dewata dari langit untuk saya. Tiba-tiba saya serasa menjadi Cinderela. Gadis gembel yang paling beruntung di dunia karena dianugerahi seorang Pangeran yang tampan rupawan.

Thank's God! Terima kasih telah memberikan saya angpau yang paling indah di hari Imlek besok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun