"Tentang ini."
Ya, Tuhan! Saputan gegas telapak tangan saya tadi tak sempurna menghapus  airmata yang menggantung di pelupuk. Roy memegang pipi saya dengan lembut, dan menghapus titik airmata yang masih basir menempel di sana.
"Maksud kamu, airmata?"
Roy mengangguk. Kibasan rambut cat pirangnya yang sebahu tergerai mengiramai bahasa tubuhnya saat mengatakan 'ya' tadi. Saya berlagak tengil, menyandarkan tangan saya di bahunya yang lapang. Mencoba menyamarkan suasana hati yang tengah dirundung galau. Seolah tidak bermasalah dengan suasana hati.
"Bukan airmata tangis. Tapi airmata korban asap oksidasi dupa."
Saya menggigit bibir. Sebuah tindakan yang sia-sia. Sebab cowok bertubuh jangkung itu kembali menggeleng dan mengatakan 'tidak' dalam bahasa tubuh.
"Kamu jangan bohong!"
"Siapa yang bohong? Roy Chandra, Roy Chandra. Asap dupa di mana-mana. Nah, mataku tuh teriritasi asap dupa. Jadi, bukan nangis bombay seperti sangkamu tadi."
"Ailing, kalau ada masalah, kamu curhat dong!"
"Siapa juga yang punya masalah?"
"Kalau tidak ada masalah, tidak mungkin kamu nangis begitu tadi."