Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angpau Imlek Kali Ini

19 Februari 2021   22:28 Diperbarui: 20 Februari 2021   12:54 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya terkesiap. Satu tepukan yang menyertai kalimat tadi menyentuh cukup keras di pundak saya. Saya saput lekas airmata yang masih menggantung di pelupuk. Saya kenal baik suara itu. Kurang lebih tiga tahun saya akrabi suara bariton itu. Bersama-sama dalam suka dan duka di sekolah. Dan saya hapal betul julukan yang selalu ia tujukan kepada saya. Gadis Cina Benteng!

Gadis Cina Benteng?!

Hah, mendengar kalimat itu hati saya seperti tertikam lagi. Banyak kenangan yang melatarbelakangi panggilan artifisial tersebut bagi saya. Cina Benteng merupakan julukan bagi kebanyakan warga Tionghoa asal Tangerang. Terus terang saya kurang paham asosiasi dan makna dari kalimat itu. Tapi sudah turun-temurun julukan itu diberikan kepada warga Tionghoa asal Tangerang yang sudah berasimilasi dengan penduduk asli setempat. Jujur, saya senang dengan panggilan itu. Sebab saya tahu kalau seorang Roy Chandra pernah mencintai saya. Dan kalimat itu sering dilontarkannya dengan penuh afeksi, kelembutan dan kasih sayang. Sayang saya menampik semua kebaikannya. Lebih memilih merentangkan jarak dengan cowok berwajah khas oriental itu karena menyadari strata sosial yang jomplang di antara kami. Dan ketika kesepadanan menjadi tolok-ukur, maka retaknya hubungan antara kami tidak dapat dihindarkan lagi.

"Hei, kamu kok nangis sih, Ailing?!"

Ya, Tuhan! Please, luputkan saya dari dari tatapan matanya yang setajam elang! Sebab kalau tidak, sorot mata teduhnya itu akan memenjarakan saya dalam kenangan-kenangan lama yang, sudah lama saya kubur dalam-dalam.

"Eh, ka-kamu Roy? Kok kamu bisa berada di sini, sih?!"

"Klenteng adalah tempat ibadah untuk umum. Memangnya Roy Chandra tidak boleh kemari?"

Cowok itu mendelik, menyembulkan sederetan giginya yang gading. Ia tampak lain dengan kemeja ala Cinanya. Tidak bergaya hippies lagi seperti biasanya. Yang enjoy mengenakan kaus oblong dan celana jeans sobek-robek seperti yang saya kenal sebelumnya.

"Sudah lama di klenteng ini?"

"Baru saja datang. Eh, kamu belum jawab pertanyaan saya."

"Tentang apa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun