Dalam regulasi ini tidak ada satu pun klausul yang berbicara tentang "pengelolaan" karena yang dikehendaki adalah pembatasan pemanfaatan ruang, karena "pengelolaan" merupakan domainnya sektor terkait kawasan hutan dan sudah diatur dalam regulasi pengelolaan sesuai dengan fungsi kawasan hutan (UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan).
- Qanun Nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh.
(sedikit catatan : Sebagai turunan peraturan sektoral tentang Kehutanan, dari sisi prosesnya Qanun ini tidak cukup baik, dari sisi cakupan pengelolaan hutan yang tidak mengikuti paradigma nasional terutama tentang Perhutanan Sosial (PS), kemudian dari sisi proses penyusunan kurangnya partisipasi publik, dan hasil eksaminasi oleh akademisi dan masyarakat sipil tidak menjadi bahan pertimbangan oleh legislatif dalam forum RDPU qanun tersebut.)
Tentang substansi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ditemukan pada Pasal 21, ada beberapa hal baru yang dapat kita lihat antara lain munculnya beberapa nomenklatur baru yang tidak terdapat dalam beberapa regulasi sebelumnya seperti tentang Kawasan Inti dan Kawasan Penyangga. Nomenklatur baru ini akan mengundang polemik lainnya ketika dilakukan pengaturan aplikasi pembatasan pemanfaatannya, yang jelas tidak boleh bertentangan dengan peraturan nasional (Norma Standar Prosedur dan Kriteria).
Sebagai KSN, KEL ini harus disusun tata ruangnya yang merupakan kewajiban pemerintah pusat dan penambahan nomenklatur baru tanpa melalui proses penataan ruangnya menunjukkan KSN KEL ini belum cukup matang dari sisi konsep, namun tetap saja dipaksakan di dalam regulasi.
Mengenai istilah pengelolaan yang yang disebutkan dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang disebut dengan pengelolaan hutan itu mencakup kegiatan :
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
d. perlindungan hutan dan konservasi alam.
Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan pengelolaan hutan yang memiliki keterkaitan dan saling melengkapi antar satu dan lain, sehingga tidak ada kegiatan yang tidak ada nomenklaturnya dalam pengelolaan hutan (UU No. 41 tahun 1999), lebih lanjut untuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tidak terdapat "kegiatan pengelolaan spesifik" yang berbeda dengan UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Bias "pengelolaan" juga terlihat berada pada UU 11 tahun 2006 yang mereplikasi Keppres 33 tahun 1998 yang menyebutkan klausul "pengelolaan" untuk Kawasan Ekosistem leuser (KEL), yang berakibat seolah-olah KEL sebagai nomenklatur fungsi hutan yang baru sehingga harus dikelola, padahal realitasnya tidak demikian. Â Seharusnya tidak boleh terjadi kontraproduktif di dalam regulasi yang akan menghasilkan keambiguan dalam pelaksanaannya di lapangan. Â Bukan saja menghasilkan konflik kepentingan antara sektor juga sangat merugikan negara dari sisi pembiayaan kelembagaan (Badan Pengelola) yang menggunakan uang rakyat (jadi sia-sia).