Beberapa peraturan lainnya yang membicarakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sehingga ditenggarai membangun interprestasi sebagai kawasan hutan yang memandatkan "pengelolaan", padahal pendekatan dalam pengelolaan sebuah "kawasan" adalah : Â upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.
- Keppres 33 tahun 1998 tentang
Peraturan ini keluar untuk menjawab kebutuhan perlindungan Ekosistem Leuser dengan menggandeng Yayasan Leuser Internasional (YLI) sebagai mitra kerja Pemerintah dalam melakukan "pengelolaan" kawasan yang mereka sebut sebagai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Yang menariknya adalah dalam peraturan ini disebutkan lingkup kerjasama pelaksanaan pengelolaannya tidak disebutkan sebagai upaya "pengendalian pemanfaatan", padahal dalam aturan pengelolaan kawasan sifatnya adalah pengendalian pemanfaatan ruang. Â Pengelolaan yang disebutkan dalam peraturan ini adalah : perlindungan dan pengamanan, pengawetan, pemulihan fungsi kawasan, dan pemanfaatan secara lestari. Â Dapat dilihat bahwa semua lingkup "pengelolaan" tersebut overlapping dengan tupoksi dari intansi pemerintah sektoral yaitu Dinas Kehutanan, BKSDA, BPDAS.
Keppres ini sangat powerfull, sehingga mampu menganulir peraturan-peratuan pengelolaan lainnya yang berlaku di wilayah yang sama menjadi tidak berlaku lagi, bahkan Pemerintah Daerah dalam menata wilayah pemukiman penduduknya harus berkoordinasi dengan Yayasan Leuser Internasional (YLI), ini menjadi paradok dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia dimana kewenangan Pemerintah dialihkan kepada badan hukum yang lain di luar pemerintahan (badan hukum setingkat yayasan).
Untungnya Keppres 33 tahun 1998 ini tidak bertahan lama, pasca MoU Helsinski dan lahirnya UU 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, bila tidak demikian tak dapat dibayangkan betapa rumitnya "pengelolaan" kawasan hutan dalam sebutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ini.
- UU 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh
Dalam regulasi ini nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) ditemukan pada pasal 150, dalam pasal ini Pemerintah (Pusat) memberikan kewenangan besar kepada Pemerintah Aceh untuk "pengelolaan" kawasan tersebut, klausul ini memberikan dampak bahwa ada KEL sudah diberikan perspektif baru yang lebih luas dibandingkan dari awalnya hanya berupa pembatasan pemanfaatan ruang dan ini merupakan kontraproduktif dengan UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur tentang Pengelolaan Kawasan Hutan berdasarkan Fungsi.
Bila dilihat secara lebih teliti bahwa pasal 150 ini adalah miniaturnya Keppres 33 tahun 1980 dalam bungkusan yang lebih elegan (undang-undang) yang memandatkan kepada Pemerintah Aceh untuk membentuk sebuah Badan Pengelolaan.
Pasal 150 UU 11 tahun 2006 adalah pengulangan overlapping Tupoksi Kehutanan dalam melakukan tugas pokok dan fungsi sektoralnya terhadap kawasan hutan khususnya di Kawasan yang disebut Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) seperti yang pernah dilakukan melalui Keppres 33 tahun 1998, seharusnya pasca pembubaran BPKEL (Badan Pengelola Ekosistem Leuser) yang dibentuk melalui Pergub No. 052 tahun 2006 tentang Badan Pengelola Ekosistem Leuser (BPKEL) sebagai pelaksanaan amanat UU 11 tahun 2006, Pemerintah Aceh melakukan review kebijakan terkait pasal 150 karena dalam implementasi "pengelolaan KEL" oleh BPKEL tumpang tindih dengan dinas sektoral lainnya yang bekerja di bawah regulasi UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Â Implikasi dari regulasi ini adalah konflik antar lembaga pemerintah sektor terkait (kehutanan) berikut beberapa Tupoksi lainnya tentang akses dan legal formal perizinan, lebih lanjut juga menjadi beban anggaran bagi negara (pemerintah) untuk membiayai kelembagaan yang fungsi dan tugasnya tidak begitu penting, sehingga terlihat mubazir dan penghamburan anggaran uang rakyat secara percuma.
Pandangan UU 11 tahun 2006 terhadap kawasan yang disebut dengan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah sama dengan kawasan hutan (merujuk ke UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan) sehingga memunculkan kontradiksi antar Undang-Undang itu sendiri, realitasnya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) itu terdiri dari berbagai fungsi kawasan hutan yang sudah memiliki Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) baku melalui regulasi Kehutanan. Â Sayangnya substansi "pengelolaan KEL" seperti dipaksakan untuk masuk dalam UU 11 tahun 2006 tersebut, sehingga layak mengundang tanda tanya, sebenarnya nomenklatur KEL itu untuk siapa.? dan menguntungkan siapa.?
- PP 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional
Dalam PP yang berlaku sampai 20 tahun ini Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) disebutkan sebagai Kawasan Strategis Nasional dengan klasifikasi I/B/1 yaitu Sudut Kepentingan Lingkungan Hidup dengan arahan program Rehabilitasi/Revitalisasi Kawasan, kriterianya secara jelas disebutkan dalam pasal 80.Â
lalu pada pasal 9 ayat 2 disebutkan bahwa : Strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi:
- menetapkan kawasan strategis nasional berfungsi lindung;
- mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;
- membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;
- membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya;
- mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun; dan
- merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional.