Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Humas PLN Eratkan Rangkulan terhadap Publik Melalui SosiaL Media Setelah Mendapat Pelatihan di Kompasiana

2 Mei 2016   02:29 Diperbarui: 2 Mei 2016   13:16 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sebelumnya mengadakan Blog Kompetition yang dimulai dari tanggal 8 April hingga 21 April dengan tema "Listrik untuk Kehidupan yang Lebih Baik" yang ternyata mampu menarik minat kompasianer hingga lebih dari 100 orang untuk mengulas dan memberi opini masing-masing tentang tema yang diminta, kali ini Kompasiana - PLN mengundang para Kompasianer yang tertarik untuk mengikuti Coverage Kompasiana Writing Academy, Senin 25 April 2016 dimulai pukul 09.00 WIB diadakan di PT. PLN (Persero) Usdiklat Jkt. Jl. LetJend S. Parman No. 27 Slipi, Jakarta Barat.  Di kesempatan ini, Kompasianer diberi kesempatan untuk melihat langsung proses penjurian dan diskusi panel Akademi Menulis PLN serta memberi tanggapan terhadap presentasi 20 orang pemagang praktisi PLN yang berasal dari berbagai unit di Indonesia.

Bagi saya sendiri, memutuskan mendaftarkan diri di acara ini bukan semata untuk melihat para pemagang presentasi, namun ingin merasakan langsung sensasi berbincang dengan orang-orang yang identik dengan engineer dan di mindseat saya orang-orang ini adalah pintar kelas kakap. Bayangkan betapa berharganya ilmu yang saya dapatkan dari 20 orang, 20 ORANG, LHO!! So, guess what i got? Check this out!

06.00 WIB saya sudah berada di peron khusus wanita stasiun Kranji untuk menunggu KRL menuju Jakarta Kota. Transit di Stasiun Manggarai menuju Tanah Abang. Saat itu, saya menyadari betapa pentingnya memiliki aplikasi ojek online untuk bisa bepergian dengan harga pas tanpa tipu-tipu. Pertama kali menginjakkan kaki di tanah abang dan buta dengan lokasi (saking paniknya, lupa punya gadget yang ada maps!) membuat saya mau tak mau harus bertanya karena waktu sudah menunjukkan pukul 08.15 WIB. Alangkah sayangnya kalau sampai terlambat padahal sudah bela-belain bangun jam 05.00 WIB untuk acara ini. Terima kasih banyak yang sudah membuat alarm di hp. Itu sangat membantu!

"Tau alamat ini, Mas?" Saya mendekati salah seorang tukang ojek yang menjajakan jasanya pada pengguna krl yang sudah keluar dari stasiun.

"Tau, Neng. Mau kesana? LKantor PLN kan?"

"Iya, Mas. PLN."

"40 Ribu, Neng."

"Mahal amat, Mas? 25 ya?!" 

"Engga bisa, Neng. Jauh. Harus muter dulu ke sana, trus naik fly over trus...."

"Ya udah jalan deh, Mas! Saya bayar!" Sembari naik ke motor, saya yakin sekali ini Mas Mas bohong, Ini hal pertama yang saya dapat bahkan sebelum acara. Jangan tanyakan alamat pada penjual jasa seperti ini, bersikaplah seolah mengetahui lokasi tersebut dan sering melewatinya. 

Tiba di depan kantor PLN yang ternyata jaraknya cukup dekat, saya harus merelakan 40 ribu saya untuk si Mas ojek. Hiks Hik.

Saya disambut hangat oleh seorang Security. "Dari Kompasiana, Pak." 

"Oh... Masuk aja, Mba. Itu di depan pintu cokelat ada teman, Mba juga tuh". (Belakangan saya tahu namanya Charles yang saat itu berdiri di depan pintu yang dimaksud Security).

"Oh ituu? Baik Pak. Terima kasih."

Saya masuk ke dalam gedung yang ditunjuk. Ternyata sudah ada beberapa orang Kompasianer yang sudah lebih dulu tiba bersama beberapa admin Kompasiana yang bertugas. 

Setelah mengisi absen, sekitar enam orang Kompasianer termasuk saya sendiri memutuskan untuk masuk ke dalam gedung Dewi Sartika dan menunggu Kompasianer lainnya yang belum datang sembari menikmati secangkir minuman pilihan untuk lebih mengakrabkan diri. Di dalam ruangan tersebut ternyata 20 orang dengan seragam putih hitamnya yang ingin sekali saya temui sudah duduk manis dan siap untuk "disidang".

Secangkir teh dan barisan pemagang "Siap Tempur" Foto: Dokpri

09.09 WIB versi HP saya, salah seorang admin Kompasiana, Mba Widha mengambil alih acara. Seluruh pemagang duduk tenang mendengarkan sementara sebagaian Kompasianer mulai menyibukkan diri mendokumentasikan semua hal yang menarik untuk dibahas di reviewnya masing-masing. Baik dokumentasi berupa foto, blog, maupun cuplikan kalimat yang disampaikan pemateri.

img20160425091254-5724de9b737a61970a46e3cc.jpg
img20160425091254-5724de9b737a61970a46e3cc.jpg
                                        Mba Widha Mengambil Alih Acara dengan "Kekalemannya". Sumber Foto: Dokpri

Ada beberapa kalimat yang menurut saya sangat menarik yaitu kalimat yang disampaikan oleh COO Kompasiana, Pepih Nugraha, pada saat menyampaikan kata sambutan "Tidak ada istilah terlalu tua untuk bersosial media!", dan  "Menulis adalah tentang kebaikan. Di dalamnya terdapat manfaat yang bisa diambil si pembaca. Buatlah menarik dan interaktif!"

img20160425091302-5724df740123bdfd202c7bda.jpg
img20160425091302-5724df740123bdfd202c7bda.jpg
                                                          Keduapuluh peserta magang dan Kompasianer. Foto: Dokpri

"Sudah, Bu. Tidak usah dipelajari ya. Kan Facebook itu untuk anak muda." Inilah salah satu jawaban saya setiap kali Ibu bertanya tentang apa itu facebook dan bagaimana menggunakannya. Rasanya sudah tidak pantas lagi jika seorang Ibu yang anaknya sudah sedewasa saya masih menggunakan sosial media. Takut teman saya lihat kemudian bertanya "Itu Ibumu? Kok punya Facebook? Sok Gaul!" Itu pemahaman saya yang mampu dibongkarbalikkan Kang Pepih dengan satu kalimat ampuh itu. Perlu saya akui, kalimat itu benar-benar membuat saya merasa berdosa pada Ibu.  Dan berdasarkan sambutan yang diberikan oleh Bapak Ridho dari PLN, seluruh peserta magang dihimbau untuk terus menjaga  kesehatan karena acara check point ini masih 1/3 dari acara keseluruhan.

Seusai sambutan, dan sesuai arahan yang telah disampaikan oleh Mba Widha selaku MC, pemagang dibagi dalam tiga kelompok dengan jumlah 5-5-4. Pun dengan kompasianer dibagi menjadi 3 kelompok dengan jumlah 10 orang untuk masing-masing kelompok serta tiga juri untuk masing-masing kelompok, dua juri dari Kompasiana dan satu juri dari PLN.

Saya masuk ke dalam kelompok yang ditempatkan di ruang Teuku Umar bersama dengan 9 orang Kompasianer lainnya, sementara juri yang dipercaya untuk menilai pemagang di ruangan ini adalah Bapak Imade selaku KSKOM - PT. PLN (Persero), Mas Iskandar Z dari Kompasiana serta Getar Jagatraya yang juga dari Kompas.

img20160425094245-5724e21e6723bd3a11b1953f.jpg
img20160425094245-5724e21e6723bd3a11b1953f.jpg
                       Pukul 10 kurang 10 menit ketika pertama kali menginjakkan kaki di ruang Teuku Umar. Foto: Dokpri

img20160425094221-5724e0b90d9773ef2bd0b39f.jpg
img20160425094221-5724e0b90d9773ef2bd0b39f.jpg
                                                  List Nama Pemagang, Juri serta Kompasianer di Ruang Teuku Umar

Tidak perlu menunggu lama untuk dimulainya sidang, peserta pertama memasuki ruangan Teuku Umar setelah sebelumnya mendapatkan pelatihan intensif dari suhu-suhu Kompasiana. Teknik menulis berita, straight and hard new, feature news serta opini yang dimentori oleh Kang Pepih Nugroho, mengenal dan membuat blog oleh Mas Nurulloh, penulisan online yang prinsipnya sama dengan menulis berita online yang disampaikan oleh Mas Iskandar Zulkarnain atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mas Isjet, bahasan mengenai “How To Be a Key Opinion Leader” oleh Mas Hilman serta cara pembuatan fotoblogging serta videoblogging oleh Fikria Hidayat.

1. Ibu Rosmalina

Sebagai seorang Praktisi Public Relation PLN yang bertanggung jawab membentuk opini publik serta meningkatkan kepercayaan untuk menentukan sukses atau tidaknya aktivitas dalam pelaksanaan program perusahaan, dan sesuai dengan apa yang telah diterima dari para tentor selama magang membuat beliau memutuskan untuk mengangkat topik presentasi dengan judul: “Cara Mengaplikasikan Pengalaman Magang di Kompasiana untuk Unit Kerja dan Perusahaan”

Hal yang menarik dari penampilan pemagang pertama ini tentu saja adalah cara Beliau menyampaikannya. Walau presentasi berjalan lancar, dan tepat waktu tidak bisa dipungkiri ada nada gugup pada suaranya sepanjang penyampaian materi maupun ketika menjawab pertanyaan dari tim juri dan Kompasianer. Bahkan hal ini juga diakui ketika akan keluar dari ruang Teuku Umar "Saya gugup sekali, Pak" Candanya sembari tersenyum manis dan menjabat tangan para juri.

Selama magang, Beliau berhasil menulis empat tulisan. Menurutnya, ilmu yang diperoleh selama magang akan digunakan untuk keperluan majalah internal PLN, sosial media PLN, media cetak lokal dan nasional. Baginya, ilmu yang disampaikan oleh Suhu-suhu Kompasiana mampu menjadi wadah pendekatan yang berkesinambungan dan interaksi antara PLN dengan publik.

Lanjut diakuinya, ada beberapa kelemahan yang membuatnya sedikit kesulitan selama mengikuti magang, yaitu meja kecil seperti meja di ruang kuliah, koneksi wifi yang kurang lancar, cara editing video yang belum diajari, beberapa kesulitan ketika akan menghadapi narasumber (harus ada ijin, objek belum tentu bersedia untuk diwawancarai) serta keadaan baterai smartphone yang kapan saja bisa mati setelah digunakan terus menerus untuk kepentingan pencarian informasi. Namun begitu, alasan-alasan tersebut tidak menjadi penghalang baginya untuk terus belajar lebih memahami media interaksi tanpa tatap muka ini.

Tips menarik yang saya dapatkan (dan mungkin bisa dimanfaatkan oleh Kompasianer yang lain) dari Mas Getar di sesi ini adalah bahwa pembuatan video dengan menggunakan handycam saat pengumpulan informasi kurang efisien. Penggunaan smartphone justeru lebih baik karena memiliki pilihan pause yang memberi kesempatan pada pencari informasi untuk stop merekam dan melanjutkan dengan hasil yang masih dalam satu video.

Sebagai perwakilan dari unit kerjanya, saat ditanya oleh Bapak Imade tentang bagaimana ilmu yang diperolehnya bermanfaat, berkelanjutan serta mampu mencapai target utama yaitu publik, Beliau dengan yakin menjawab bahwa apa yang diperoleh selama magang akan disampaikan kepada tim humas lainnya di sana.

Beberapa treatment yang sudah direncanakannya untuk realisasi ilmu ini juga untuk menghindari slogan lucu masyarakat "Lampu padam ingat PLN, lampu nyala lupa PLN" adalah:

1. Mengadakan talk show di radio sebanyak 3x seminggu

2. Mengadakan talk show di televisi

3. Menyampaikan setiap kegiatan PLN yang sedang berlangsung

4. Pertanyaan publik di media sosial yang cukup banyak hanya akan dijawab satu dua pertanyaan saja, selebihnya pertanyaan tersebut akan dijawab melalui talk show yang diadakan

5. Sosialisasi kelistrikan serta kerjasama di suatu acara yang melibatkan publik

6. Gathering / olahraga bersama

7. Membuat spanduk.

Biasanya ketika terjadi pemadaman listrik tanpa ada pemberitahuan dan ditanyakan oleh publik, staff PLN menyiasati hal ini dengan menjelaskan sudah sejauh apa perbaikan dan kapan kira-kira akan nyala kembali, bukan menjelaskan mengenai alasan kenapa listrik dipadamkan. Hal ini dilakukan untuk mengedukasi masyarakat tentang kinerja PLN dan bagaimana PLN bekerja untuk memaksimalkan layanan agar seluruh lapisan masyarakat tetap dapat menikmati cahaya yang dihasilkan.

Keenam trik tersebut dianggap ampuh untuk menyampaikan kinerja PLN kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga diharapkan ketika terjadi pemadaman listrik, masyarakat sudah lebih dahulu tahu dan komentar pedas tentang padamnya listrik bisa ditekan seminimal mungkin.

Di balik kepercayaan diri Beliau saat presentasi, sayangnya ada beberapa kritikan membangun yang disampaikan oleh Bapak Imade yaitu tampilan PPT yang terlalu sederhana sehingga dianggap kurang menarik untuk dilihat karena bagaimanapun slide yang disajikan memiliki andil yang sangat besar untuk menarik minat peserta dalam mendengarkan dan menikmati jalannya presentasi.

img20160425094648-5724e623ee9673a509c5e224.jpg
img20160425094648-5724e623ee9673a509c5e224.jpg
                                                           Ibu Rosmalina Ros berikut presentasinya. Foto: Dokpri

2. Bapak Bayu Asiwendi

Peserta kedua di ruang Teuku Umar. Bapak Bayu Asiwendi. Tersirat antusiasme yang tinggi di wajah Beliau ketika memasuki ruangan pun hingga presentasi berlangsung. Di slide pertama ada satu tulisan semacam janji yang cukup menarik perhatian “Suer !! Saya Akan Menulis”Betul saja, ini bisa dilihat dari jumlah tulisan beliau yang lebih banyak dibanding 4 peserta lainnya hingga tulisan ini dimuat. Satu tulisan terakhir diposting satu hari setelah acara penjurian check point usai tepatnya tanggal 26 April 2016. Sementara jika dibandingkan dengan pemagang lainnya dari ruang Teuku Umar, jumlah total tulisan belum ada yang bertambah.

img20160425102226-5724e6c9ee9673c50ac5e1fb.jpg
img20160425102226-5724e6c9ee9673c50ac5e1fb.jpg
                                                            Bapak Bayu Asiwendi saat presentasi. Foto: Dokpri

Masih dengan antusiasme nya yang tinggi, dalam materinya, Beliau menyampaikan beberapa ide yang dianggap dapat mengatasi masalah utama PLN “Listrik padam ingat PLN, listrik nyala lupa PLN” pertanyaan yang sama yang dilontarkan oleh Mas Isjet kepada kelima peserta.

Adapun ide yang dianggap dapat menjadi solusi sekaligus jawaban dari pertanyaan Mas Isjet adalah “Change Agent Comunication”. Untuk merealisasikan ide tersebut, pemagang yang berasal dari unit KalSel dan KalTeng ini berencana untuk membuat boot camp,membuat aplikasi PLN mobile (sudah dibuat sejak Maret lalu dan siap launching di bulan Mei 2016), serta mengadakan awarding untuk tulisan yang pantas diapresiasi setiap enam bulan sekali. Berbeda dengan Ibu Rosmalina, bagi Pak Bayu alasan di balik padamnya listrik perlu disampaikan kepada masyarakat.

Walau mengaku blog adalah hal baru baginya, tapi dua dari total 5 tulisan yang sudah dilahirkannya masuk dalam Headline Kompasiana. Salah satu tulisan yang menarik bagi saya sendiri adalah tulisan berjudul “Masa Bodoh dengan Headline”. Sebuah pemilihan judul yang menggoda pembaca untuk mengulik apa kira-kira yang diulas dalam judul tersebut. Memegang pesan yang disampaikan oleh Mas Hilman, tulisan yang masuk headline adalah bonus. Hal yang paling penting dari sebuah tulisan adalah manfaat yang disebarkan kepada seluruh pembaca.

Lagi-lagi saya mendapatkan kiat jitu untuk menulis berdasarkan kelemahan Pak Bayu disesi kedua ini. Salah satu yang menjadi kelemahannya saat menulis adalah perfectionist dalam menulisdan menurut juri dari Kompasiana, mind maping merupakan salah satu cara untuk mengatasinya

Berbeda dengan Pak Imade, beliau menyambut baik antusias Pak Bayu saat presentasi. Namun Beliau menghimbau kepada seluruh pemagang untuk tidak memukul balik PLN dengan ilmu baru yang dimiliki. Artinya, pemagang diharapkan tidak memukul balik dan tidak ikut menuliskan opini negatif mengenai perusahaan karena bagaimanapun, perusahaan sudah kenyang dengan komentar pedas dari para pelanggan. Pemagang diharapkan mampu menjaga kualitas tulisan dengan bahasa yang baik dan cerdas.

3. Bapak Mustafrizal 

img20160425105950-5724e86c07b0bde80a6e5554.jpg
img20160425105950-5724e86c07b0bde80a6e5554.jpg
                                          Bapak Mustafrizal saat mempresentasikan hasil magangnya. Foto: Dokpri

Dengan durasi yang sama, 10 menit presentasi dan 40 menit sesi tanya jawab peserta ketiga memasuki ruangan sidang dan siap untuk menyampaikan materinya.

Melahirkan total 4 tulisan selama magang, lagi-lagi saya tergelitik dengan satu judul yang ternyata menyimpan banyak sekali kisah perjuangan pegawai PLN. Judul tersebut adalah “Demi Nias Benderang, Operator PLN Rela Tidur Di Masjid”. Dalam tulisan tersebut menjelaskan sebanyak 95 orang petugas PLN dari wilayah seluruh Sumatera datang ke Nias dengan sebutan relawan hingga tidur di masjid kantor karena tidak tertampung lagi di hotel dan penginapan.

Berdasarkan pengetahuan yang saya dapatkan di Kompasiana, dari Mas Isjet di salah satu acara Nangkring Kompasiana yang saya ikuti, Judul tulisan adalah pintu gerbang yang menjadi penentu apakah pembaca tertarik untuk masuk ke dalamnya atau tidak. Menempatkan diri sebagai pembaca, judul ini membuat saya penasaran hingga memunculkan satu pertanyaan.

Membaca judul ini, sebagai pembaca yang belum mengetahui informasi teraktual, hal pertama yang terbersit adalah “Terus, kalau harus tidur di masjid kenapa? Bukankah itu tanggungjawab mereka?” Bagi saya sendiri, kasarnya judul ini sebagai salah satu cara PLN untuk mencari perhatian masyarakat dengan menjelaskan pengorbanan yang mereka lakukan.

Usut punya usut, tulisan ini menjelaskan mengenai integritas pegawai PLN terhadap masyarakat. Bahkan kisah perjuangan para relawan yang sebenarnya di dalam tulisan ini pun tidak begitu diulas, hal yang paling penting untuk di up adalah bagaimana caranya agar gelap bisa terusir dan masyarakat bisa menikmati kembali cahaya.

Ketika saya sendiri masih sibuk mencari pilihan judul yang mungkin lebih tepat untuk menggantikan judul tersebut (setidaknya menurut saya) sembari mendengarkan penjelasan Beliau, kesibukan benak saya sirna saat itu juga setelah mendengarkan kisah yang sebenarnya. Tidak pelak kisah yang disampaikan oleh Beliau mendapatkan sambutan tepuk tangan yang meriah dari Kompasianer dan juri di ruang Teuku Umar.

Setelah dipaparkan panjang lebar, saya sendiri setuju dengan pemilihan judul tersebut. Sudah selayaknya masyarakat mengetahui bagaimana perjuangan PLN untuk melayani. Dengan demikian masyarakat tidak begitu enteng untuk mengeluarkan komentar pedas saat listrik padam.

Integritas yang dikisahkan juga mendapat apresiasi dari Bapak Made. Menurut Beliau kualitas PLN saat ini sudah lebih baik dari sebeluimnya, sehingga bisa sedikit “tebar pesona” namun tetap menjaga integritas tersebut.

Saat ditanya pertanyaan yang sama oleh Mas Isjet mengenai menghilangkan slogan yang beredar di masyarakat, beliau memiliki jawaban yang sama dengan Bapak Bayu, yaitu memberi tahu publik tentang fakta teraktual di lapangan dan tidak berhenti untuk melayani. Konsep menulis selama ini yang menurutnya seperti kebakaran jenggot berubah drastis dengan ilmu yang diterima Beliau selama magang.

Walau mendapatkan apresiasi mengenai tulisan Beliau yang sudah tayang di Kompasiana dari Juri Kompasiana, Bapak Mustaf juga mendapatkan masukan membangun mengenai penulisan opini dari orang yang sama. Hal ini juga berlaku dan dapat diterapkan oleh Kompasianer yang sedang belajar menulis opini termasuk saya sendiri. Hindari memaparkan apa yang tengah terjadi di lapangan, siasati dengan menjelaskan rencana dan progress ke depan.

4. Bapak Asep Irman 

Seusai santap siang, aura muda pemagang , masih di ruang Teuku Umar kembali terpancar. Kali ini Bapak Asep Irman.

img20160425130431-5724e968af7e61e30b316a1d.jpg
img20160425130431-5724e968af7e61e30b316a1d.jpg
                                              Bapak Asep saat presentasi. Foto: Dokpri

Masih sama dengan peserta yang lain, Beliau berhasil membuat empat tulisan selama magang. 1 tulisan opini, 1 esai foto serta 2 tulisan features.

Berdasarkan pengalamannya selama magang, satu hal yang dibagikannya mengenai ilmu baru ini kepada Kompasianer adalah bahwa di Kompasiana, pemagang diajarkan untuk menyampaikan pesan lewat video. Sederhana kedengarannya, tapi sangat berarti. Karena selama ini bagi saya sebuah video itu bertujuan untuk dokumentasi semata, sekedar untuk membantu mengingatkan memori ketika menontonnya kembali walau sebenarnya di dalamnya sudah tersirat banyak pesan namun tidak pernah begitu saya pikirkan.

Sama halnya dengan dua Bapak pemagang yang telah lebih dahulu presentasi, Pak Asep juga menyampaikan hal yang sama, yaitu ada atau tidaknya pemadaman, menurutnya alangkah lebih baik jika publik juga diberitahu mengenai informasi aktual tentang kualitas dan pelayanan PLN, serta penyampaian alasan di balik padamnya listrik.

Ketika ditanya oleh Pak Made tentang keberlanjutan ilmu ini dan bagaimana realisasinya diunit tempat Beliau bertugas, dengan mantap Pak Asep menjawab akan melakukan sharing dengan staff dan humas di area, serta memilih teman yang muda untuk terjun langsung ke dunia kepenulisan.

Salah satu tulisan Beliau yang berjudul Cici Lim, Kartini Pelepas Dahaga Warga Kompas Grup di Kantin Palmerah mendapat apresiasi dari Mas Isjet. Menurutnya, tidak semua orang bisa menuliskan artikel mengenai kesederhanaan di sekelilingnya. Walau sudah sering bertatap muka, Mas Isjet sendiri mengaku bahwa baru mengetahui nama tersebut setelah membaca artikel yang dituliskan oleh Pak Asep.

5. Bapak Suargina

Peserta terakhir di ruang Teuku Umar. Pak Suargina yang mengaku 2 tahun lagi akan pensiun. Pemagang paling gokil, lucu dan jujur. Tanpa malu-malu beliau menyampaikan bagaimana gapteknya dirinya mengenai sosial media. Menurutnya satu hal yang baru saja disadarinya setelah magang adalah walau sudah tua ternyata saya memiliki potensi tersembunyi dalam diri saya sendiri, yaitu menulis, ujarnya bangga.

Ketika dituntut untuk membuat video dan tugas lainnya, Beliau menyadari bahwa hp yang ada padanya saat magang dimulai tidak memiliki aplikasi untuk melakukan hal tersebut. Malam hari, tanpa pikir dua kali, beliau langsung membeli smartphone baru yang lebih memungkinkan Beliau untuk melakukan semua tugas yang diembankan serta mampu mengikuti perkembangan jaman.

Benar saja, smartphone tersebut ditunjukkan kepada seluruh Kompasianer yang terdapat di ruang Teuku Umar dan sontak mengundang gelak tawa. Bagaimana tidak? Label hp sengaja tidak dicabut untuk membuktikan kata-kata Beliau.

Mendapati teman-temannya sudah menyelesaikan hingga dua tulisan dan dirinya sama sekali belum menyelesaikan satupun tulisan membuat Beliau sedikit panik. Mau tidak mau, beliau memaksakan diri untuk menyelesaikan tugas tersebut. Dan ketika tulisan pertama sudah terposting, Beliau memberitahu hal tersebut pada istri dan anaknya. “Nih, Nak. Papa udah bisa (menulis) kamu juga harus bisa!” Ujarnya sembari tersenyum.

Beliau juga mengaku baru membuat akun facebook. Menurutnya, semua hal yang bersifat IT dan sosmed tidak peduli dengan usia. Hal tersebut bisa dipelajari diusia senja. 

Dari kelima pemagang yang telah menyelesaikan presentasinya, hal yang pertama bisa saya simpulkan adalah bahwa semua orang sejatinya bisa menulis, dan setuju dengan ungkapan COO Kompasiana “Tidak ada istilah terlalu tua untuk menggunakan sosial media.”

Usai sudah presentasi di ruang Teuku Umar pun di kedua ruang lainnya. Semua peserta, Kompasianer, juri serta admin Kompasiana kembali ke ruang Dewi Sartika. Saatnya melakukan penilaian terhadap performa semua pemagang. Dan setelah pengumuman pemenang tiga pertanyaan terbaik dari masing-masing ruangan serta pengumuman pemenang live tweet competition, Ibu Emmilia Tobing dinobatkan sebagai pemagang terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun