“Seorang yang bebas, harus bisa membayangkan hidup dalam situasi apapun
tanpa perlu kehilangan esensi kemanusiaannya.”
Nurcholis Madjid (1939 – 2005)
Ada suatu kepercayaan yang tidak mempercayai bahwa kegemilangan materi akan membawa ke kebahagiaan sejati.
Dulu, itu merasuki jiwa orang-orang muda di balik kelimun, hingar, dan pesona lampu-lampu kota. Mereka menggelandang, tapi bukan gelandangan. Mereka ada di sudut-sudut malam jalanan, tapi bukan melakukan kriminal, apalagi meratap meminta-minta belas kasihan.
Bohemian.
Kebanyakan mereka adalah orang-orang muda golongan menengah perguruan tinggi, yang mencoba mengungkap ekspresi ‘religius’ tentang hakikat ilahiah lewat nyanyian kemiskinan.
Dalam keadaan bernama kemiskinanlah bersemayam kesucian. Bukan selalu harus dengan ritus kemewahan, industri, apalagi hitungan untung-rugi mesin produksi.
Dibesarkan dengan kultur aksara, seni avant-garde, serta eksistensialisme. Maka baginya, jalanan adalah rumah. Hanya saja kebetulan atapnya dari langit.
Mereka, bohemian, terlanjur jatuh hati akan pengembaraan kehidupan malam. Dan dalam kegelandangan itu mereka barulah merasa ‘manusia’. Manusia yang benar-benar ‘hidup’.
Mereka inilah, yang bercommune, yang berada dibalik teriakan masyhur “Make Love, Not War” menentang Perang Vietnam. Di jalan mereka membagikan warna-warni bunga lambang cinta damai. Orang lalu menjulukinya flower power, flower children, atau yang paling kesohor flower generation.
Soal Perang Vietnam, itu hanya satu dari sekian banyak kejengkelan terhadap rusaknya kenyataan sosial yang tengah berkembang. Materialisme budaya adalah yang paling dicemooh.
Dan counter culture dilakukan. Mari bercelana jeans sobek-sobek, berkaos oblong, berkalung manik-manik, berambut gondrong, berjenggot lebat, bersandal jepit, berjaket yang disulam sendiri. Atau mari berkaftan– jubah longgar tadisional Turki yang menjuntai hingga lutut– demi membedakan kita dengan mereka yang bersetelan rapi dengan dasi.
Mari mengenakan yang berharga murah, sebab kita anti-kemapanan, anti-borjuisme, anti-militerisme, anti-senjata nuklir, anti-masyarakat fasis, bahkan anti-gereja bila memang memenjarakan fikir.
Segala yang beraroma kemandegan, keajegan, dan kesempurnaan palsu harus disingkirkan jauh-jauh. Mari memperjuangkan gerakan hak-hak azasi manusia, kesetaraan hak kaum perempuan, pelestarian lingkungan hidup. Mari mengedepankan cinta-damai, keterbukaan serta toleransi.
Ajaran ‘timur’, buddhisme, vegetarian (menghindari makanan instan), mempraktekkan pengobatan alternatif, adalah hal baik yang bisa kita terima. Retornous a la nature, kembali kepada alam kata Jean-Jacques Rousseau (1712 - 1778) di Zaman Romantik harus didengungkan kembali.
Itu Bohemian.
Legenda orang-orang muda gelandangan di sudut-sudut malam kota besar barat, yang gemar bercommune dan mereka berbincang tentang seni avant-garde ataukah filsafat eksistensialisme.
Bohemian, seperti juga dari Nietzsche dalam Thus Spake Zaratuhstra :
“Hidup bebas masih terbuka bagi jiwa-jiwa yang besar. Sesungguhnya, dia yang menguasai sedikit adalah yang sedikit pula terkuasai: terberkatilah kemiskinan yang tidak berlebihan!”
* * *
Demikian halnya;
320 tahun sebelum Masehi.
Ada seseorang bernama Diogenes dari Sinope. Ia murid dari Antisthenes. Sementara Antisthenes adalah murid dari Socrates.
Melalui Socrates, Antisthenes mengembangkan filsafatnya di Atena dan diberi nama Gymnasium Kynosarges. Ajarannya yang utama, bahwa “Budi adalah satunya-satunya yang baik.” Di luar itu, tak ada lagi kesenangan hidup yang lain.
Itu diperoleh Antisthenes, tatkala ia mendengar Socrates berucap di depan sebuah kedai yang menjual bermacam-macam barang.
“Betapa banyak benda yang tak kuperlukan,” kata Socrates.
Antisthenes kemudian memahami, bahwa budi adalah kebahagiaan sejati. Dan itu tidak terletak pada kelebihan lahiriah, kemewahan materi, atau kekuasaan politik.
Sayang Antisthenes kontradiktif. Bertolak belakang ajarannya sendiri, Ia mengikuti Kaum Sofis, memungut bayaran dalam ‘sekolah’ filsafatnya. Dimana hal itu sangat pantang bagi Socrates.
Lalu datanglah Diogenes. Murid Antisthenes. Dialah kiranya yang memegang teguh ajaran ini. Konon ia, yang hidup dalam sebuah tong, hanya memiliki sebuah mantel, tongkat, dan kantung roti.
Suatu hari, ‘The Great’ Alexander mengunjunginya dan berdiri dihadapannya. Sang maharaja kemudian menawarkan belas kasihan,
“Adakah sesuatu yang dapat kulakukan sehingga itu membantumu?”
“Ya,” jawab Diogenes.
“Bergeserlah ke samping, Anda menghalangi keindahan cahaya matahari,” lanjutnya.
Diogenes mengisyaratkan, bahwasanya tong, mantel, tongkat, dan kantung roti, tak kalah bahagianya dibanding istana dengan segala kemewahannya.
* * *
Demikian halnya;
Duhai suara itu, panggilan itu, menggoreskan cerita yang termasyhur. Tentang seorang pangeran klan Kerajaan Sakya, yang lahir di dekat kota kecil Kapilavastu, besar dalam dekapan takhta dan kekuasaan, namun mengucap sebuah ‘selamat tinggal’ yang menyesakkan dada.
Sidharta ‘Buddha’ Gautama (565 – 485 SM), pangeran berhati lembut telah menyaksikan parade kefanaan. Bahwa manusia menjadi renta, dihancurkan oleh sakit, diusung sebagai jenazah, lalu dileburkan dalam debu dan tanah. Ia terkesima akan hakikat cerita, bahwa kematian melekat erat dengan dan dalam roda-roda kehidupan manusia.
Maka lonceng pengembaraan dibunyikan. Ia pergi meninggalkan keluarga, gemerlap istana beserta segala isinya. Ia menjadi manusia pengembara, dimana langit kembali dijadikan atap rumah. Yang mengajarkan ‘darma’ kepada siapa saja pengikutnya.
Ia, Sang Sakyamuni– guru bagi orang-orang Sakya– sesungguhnya meniggalkan catatan kecil dalam ajaran Buddhisme. Bahwasanya kealpaan harta bukanlah dalih untuk membinasakan hidup dan diri sendiri. Dalam ajaran terakhir, sebelum ia menuntaskan kehidupan, ia berkata kepada para pengikutnya. *
“Kehancuran itu melekat pada seluruh benda. Usahakan keselamatanmu (kebahagiaan) sendiri dengan penuh ketekunan.”
* * *
Demikian halnya;
Legenda seorang darwish, Abu Ishaq Ibrahim Ibn Adham, seperti juga Buddha Gautama, pangeran keturunan Arab dari Kerajaan Balkh. Yang diceritakan orang-orang suci (wali), meski ‘dunia’ di bawah kekuasaannya, meski 40 pedang emas dan 40 tongkat emas selalu mengiringi depan dan belakangnya, namun semuanya urung menghalangi bisikan hatinya.
Ibrahim Ibn Adham– yang dikisahkan wiracarita sufisme syahid di tahun 165 H/ 782 M dalam sebuah ekspedisi laut melawan pasukan Byzantium– pada suatu tengah malam tidur di pembaringan kerajaan. Di tengah tidurnya, ia merasakan ada orang yang seolah berjalan di atas atap kamarnya.
“Siapa itu?” teriaknya.
“Seorang teman. Aku kehilangan unta, dan kini tengah mencarinya di atas atap ini,” jawab si pemilik suara.
“Dasar bodoh, engkau mencari unta di atas atap?” ujar Ibrahim.
“Orang bodoh?” tukas suara itu.
“Apakah engkau mencari Tuhan di dalam pakaian sutra dan di dalam tempat tidur emas?” sindir si pemilik suara.
Kalimat terakhir itu menyentak Ibrahim. Sesuatu terasa mengganjal dalam hatinya. Sepanjang malam ia gelisah. Hingga ketika pagi tiba, ia kembali ke singgasananya mencoba mencari makna.
Belumlah sempat ia mampu memecahkan gerangan apakah maksud perkataan semalam, seorang lelaki buruk rupa tiba-tiba memasuki ruang istananya. Karena buruknya, tak seorang pun pejabat dan pelayan yang sempat menegurnya.
“Apa maumu?” tanya Ibrahim.
“Aku singgah di penginapan ini,” kata si lelaki buruk rupa.
“Ini bukan penginapan. Ini adalah istanaku, wahai kamu yang telah gila,” teriak Ibrahim setengah marah.
“Siapa yang memiliki istana ini sebelumnya?” tanya si lelaki.
“Ayahku.”
“Sebelumnya?”
“Kakekku.”
“Dan sebelumnya?”
“Buyutku.”
“Sebelumnya lagi?”
“Ayah dari buyutku.”
“Kemana mereka semua pergi?” ujar si lelaki melanjutkan.
“Mereka telah tiada. Mereka telah wafat,” jawab Ibrahim.
“Lalu apa lagi namanya tempat ini kalau bukan penginapan, jika orang-orang hanya masuk dan kemudian pergi,” kata si lelaki buruk rupa.
Setelah berkata demikian, lelaki asing itu pun menghilang tanpa jejak. Menurut riwayat, lelaki itu tak lain Nabi Khidhr as.
Kejadian-kejadian misterius itulah, yang awalnya tak mampu dijelaskan akal Ibrahim, tapi akhirnya membuat dirinya bersimpuh meletakkan segala sesuatu yang membuatnya merasa tinggi hati.
Ketika suara itu, panggilan itu, telah paripurna dalam segenap intuisinya, ia menghampiri seorang gembala domba. Diberikannya jubah bersulam emas beserta mahkota bertahta permata, kemudian berganti mengenakan pakaian dan penutup kepala sang gembala yang terbuat dari bulu hewan.
Syahdan, saat itu semua malaikat seraya berdiri memandang Ibrahim.
“Betapa agung kerajaan yang kini dimiliki Ibn Adham,” ujar para malaikat.
“Ia telah membuang pakaian dekil duniawi, dan kini mengenakan jubah agung kemiskinan.”
Ibrahim Ibn Adham, sorang legenda sufi, memilih menghilang dari Kerajaan Balkh, dan mengembara ke arah barat untuk menjalani kehidupan sebagai pertapa (asketisisme). Dengan dan dalam kealpaan harta.
Demikian tentang manusia pengembara.
* * *
Kampung Pettarani, Makassar 1 Desember 2006.
______________
* Seperti dikisahkan Goenawan Mohamad, dalam kolom Catatan Pinggir, majalah TEMPO edisi 39/XXXV/20-26 November 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H