Ibrahim Ibn Adham– yang dikisahkan wiracarita sufisme syahid di tahun 165 H/ 782 M dalam sebuah ekspedisi laut melawan pasukan Byzantium– pada suatu tengah malam tidur di pembaringan kerajaan. Di tengah tidurnya, ia merasakan ada orang yang seolah berjalan di atas atap kamarnya.
“Siapa itu?” teriaknya.
“Seorang teman. Aku kehilangan unta, dan kini tengah mencarinya di atas atap ini,” jawab si pemilik suara.
“Dasar bodoh, engkau mencari unta di atas atap?” ujar Ibrahim.
“Orang bodoh?” tukas suara itu.
“Apakah engkau mencari Tuhan di dalam pakaian sutra dan di dalam tempat tidur emas?” sindir si pemilik suara.
Kalimat terakhir itu menyentak Ibrahim. Sesuatu terasa mengganjal dalam hatinya. Sepanjang malam ia gelisah. Hingga ketika pagi tiba, ia kembali ke singgasananya mencoba mencari makna.
Belumlah sempat ia mampu memecahkan gerangan apakah maksud perkataan semalam, seorang lelaki buruk rupa tiba-tiba memasuki ruang istananya. Karena buruknya, tak seorang pun pejabat dan pelayan yang sempat menegurnya.
“Apa maumu?” tanya Ibrahim.
“Aku singgah di penginapan ini,” kata si lelaki buruk rupa.
“Ini bukan penginapan. Ini adalah istanaku, wahai kamu yang telah gila,” teriak Ibrahim setengah marah.
“Siapa yang memiliki istana ini sebelumnya?” tanya si lelaki.
“Ayahku.”
“Sebelumnya?”
“Kakekku.”
“Dan sebelumnya?”
“Buyutku.”
“Sebelumnya lagi?”
“Ayah dari buyutku.”
“Kemana mereka semua pergi?” ujar si lelaki melanjutkan.
“Mereka telah tiada. Mereka telah wafat,” jawab Ibrahim.
“Lalu apa lagi namanya tempat ini kalau bukan penginapan, jika orang-orang hanya masuk dan kemudian pergi,” kata si lelaki buruk rupa.
Setelah berkata demikian, lelaki asing itu pun menghilang tanpa jejak. Menurut riwayat, lelaki itu tak lain Nabi Khidhr as.
Kejadian-kejadian misterius itulah, yang awalnya tak mampu dijelaskan akal Ibrahim, tapi akhirnya membuat dirinya bersimpuh meletakkan segala sesuatu yang membuatnya merasa tinggi hati.
Ketika suara itu, panggilan itu, telah paripurna dalam segenap intuisinya, ia menghampiri seorang gembala domba. Diberikannya jubah bersulam emas beserta mahkota bertahta permata, kemudian berganti mengenakan pakaian dan penutup kepala sang gembala yang terbuat dari bulu hewan.
Syahdan, saat itu semua malaikat seraya berdiri memandang Ibrahim.
“Betapa agung kerajaan yang kini dimiliki Ibn Adham,” ujar para malaikat.
“Ia telah membuang pakaian dekil duniawi, dan kini mengenakan jubah agung kemiskinan.”
Ibrahim Ibn Adham, sorang legenda sufi, memilih menghilang dari Kerajaan Balkh, dan mengembara ke arah barat untuk menjalani kehidupan sebagai pertapa (asketisisme). Dengan dan dalam kealpaan harta.