Sayang Antisthenes kontradiktif. Bertolak belakang ajarannya sendiri, Ia mengikuti Kaum Sofis, memungut bayaran dalam ‘sekolah’ filsafatnya. Dimana hal itu sangat pantang bagi Socrates.
Lalu datanglah Diogenes. Murid Antisthenes. Dialah kiranya yang memegang teguh ajaran ini. Konon ia, yang hidup dalam sebuah tong, hanya memiliki sebuah mantel, tongkat, dan kantung roti.
Suatu hari, ‘The Great’ Alexander mengunjunginya dan berdiri dihadapannya. Sang maharaja kemudian menawarkan belas kasihan,
“Adakah sesuatu yang dapat kulakukan sehingga itu membantumu?”
“Ya,” jawab Diogenes.
“Bergeserlah ke samping, Anda menghalangi keindahan cahaya matahari,” lanjutnya.
Diogenes mengisyaratkan, bahwasanya tong, mantel, tongkat, dan kantung roti, tak kalah bahagianya dibanding istana dengan segala kemewahannya.
* * *
Demikian halnya;
Duhai suara itu, panggilan itu, menggoreskan cerita yang termasyhur. Tentang seorang pangeran klan Kerajaan Sakya, yang lahir di dekat kota kecil Kapilavastu, besar dalam dekapan takhta dan kekuasaan, namun mengucap sebuah ‘selamat tinggal’ yang menyesakkan dada.
Sidharta ‘Buddha’ Gautama (565 – 485 SM), pangeran berhati lembut telah menyaksikan parade kefanaan. Bahwa manusia menjadi renta, dihancurkan oleh sakit, diusung sebagai jenazah, lalu dileburkan dalam debu dan tanah. Ia terkesima akan hakikat cerita, bahwa kematian melekat erat dengan dan dalam roda-roda kehidupan manusia.
Maka lonceng pengembaraan dibunyikan. Ia pergi meninggalkan keluarga, gemerlap istana beserta segala isinya. Ia menjadi manusia pengembara, dimana langit kembali dijadikan atap rumah. Yang mengajarkan ‘darma’ kepada siapa saja pengikutnya.
Ia, Sang Sakyamuni– guru bagi orang-orang Sakya– sesungguhnya meniggalkan catatan kecil dalam ajaran Buddhisme. Bahwasanya kealpaan harta bukanlah dalih untuk membinasakan hidup dan diri sendiri. Dalam ajaran terakhir, sebelum ia menuntaskan kehidupan, ia berkata kepada para pengikutnya. *
“Kehancuran itu melekat pada seluruh benda. Usahakan keselamatanmu (kebahagiaan) sendiri dengan penuh ketekunan.”
* * *
Demikian halnya;
Legenda seorang darwish, Abu Ishaq Ibrahim Ibn Adham, seperti juga Buddha Gautama, pangeran keturunan Arab dari Kerajaan Balkh. Yang diceritakan orang-orang suci (wali), meski ‘dunia’ di bawah kekuasaannya, meski 40 pedang emas dan 40 tongkat emas selalu mengiringi depan dan belakangnya, namun semuanya urung menghalangi bisikan hatinya.